“Dijaga kehamilan istrinya ya, Pak. Berikan makanan yang sehat dan bergizi. Jangan lupa vitamin juga. Terus istirahat yang cukup. Boleh beraktivitas seperti biasa saja, yang penting tidak terlalu capek.” Dokter menjelaskan pada Ilham.
“Baik, Dokter. Saya enggak ngasih istri saya kerjaan yang berat-berat kok. Ada lagi yang lainnya, Dok?”
“Sementara ini konsultasinya dua minggu sekali ya, Pak. Terus untuk masalah hubungan suami istri tidak ada larangan, cuma jangan berlebihan saja karena usia kandungannya juga masih muda ya, masih rawan terjadi apa-apa.”
“Oh, ya, Dok. Terima kasih untuk penjelasannya.”
“Anak pertama ya, Pak? Semoga istrinya sehat dan kehamilannya lancar.”
“Aamiin.”
Selesai konsultasi dengan dokter kandungan, Ilham mengajak Indira pulang ke rumah. Sebagai tanda rasa syukur, malam besoknya pria itu memesan makanan untuk semua pembantu dan pelayan yang ada di rumah itu yang berjumlah sekitar 10 orang.
“Doakan kehamilan Dira lancar dan Dira selalu sehat.” Ilham meminta pada pembantu dan pelayannya.
“Aamiin, Tuan. Selamat untuk kehamilan Nyonya Dira, semoga sehat dan lancar sampai lahiran.” Pembantu dan pelayan di rumah itu kompak berdoa.
Selama tiga bulan pertama kehamilan Indira, Ilham pergi ke luar kota untuk mengerjakan bisnisnya di luar kota. Selama itu pula Indira harus merasakan mual dan muntah. Perempuan itu kehilangan nafsu makan karena setiap kali makan, semua makanannya keluar semua. Tidak ada yang tersisa. Indira merasa tersiksa di tiga bulan kehamilannya itu.
Rania yang ditugaskan Ilham untuk menemani Indira ikut berpikir soal makanan apa yang bisa dimakan majikannya itu. “Kamu enggak ada ngidam makanan apa gitu, Dira?”
Indira menggeleng. Tubuhnya terasa lemas dan dia hanya bisa berbaring sambil menahan rasa mual.
“Mungkin aja kamu kangen makanan masa kecil yang suka dimasakin almarhuman mama kamu dulu gitu. Aku mau masakin kok.”
“Enggak, Ran. Kayaknya makanan apa pun yang masuk, semuanya keluar lagi. Aku harus gimana ya?” Indira meminta saran.
“Minum s**u mau? Kan ada s**u ibu hamil yang enggak bikin mual. Aku cariin di supermarket deh.”
“Coba deh, Ran. Kalau enggak bikin mual, aku mau.”
“Ok, aku pergi sekarang ya.”
Indira memberikan kartu ATM yang diberikan Ilham padanya untuk membeli s**u seperti yang disarankan Rania tadi. Dia sendiri tidak tahu berapa isi kartu ATM itu karena dia tidak pernah keluar rumah untuk belanja atau perawatan.
Setelah menerima kartu ATM dari Indira, Rania pergi ke supermarket bersama supir. Tiba di supermarket, Rania memilih s**u ibu hamil yang katanya tidak akan menyebabkan mual. Selain itu, dia juga membeli barang lain yang dia inginkan.
“Anggap aja ini bayaran dari Dira karena aku sudah membelikannya s**u. Lagian tuan Ilham juga enggak ngasih duit, cuma nyuruh jagain Indira doang.”
Rania membeli skincare, alat make up hingga beberapa snack untuk dia makan di rumah nanti. Perempuan itu membawa kantong besar yang isinya mayoritas barang milik Rania. Perempuan itu pun kembali ke rumah.
Sampai di rumah, dia tidak langsung menemui Indira, tetapi masuk ke kamarnya dulu untuk menyimpan barang yang dia beli pakai uang milik Indira.
“Dapet duit dari mana kamu bisa belanja sebanyak ini?” tanya Rohimah yang juga pembantu di rumah itu.
“Ada deh, Mbak. Penasaran aja deh. Jangan bilang-bilang ke yang lain ya.”
“Alah, paling kamu minta duit kan sama si Dira?”
“Dih, Mbak Rohimah kepo deh.”
Kemudian, Rania membawa kotak-kotak s**u yang dia beli untuk Indira dan dia tinggalkan Rohimah begitu saja tanpa penjelasan menuju kamar Indira.
“Dira, ini s**u buat kamu, mau aku bikinin enggak?”
“Mau deh, yang anget ya, Ran.”
“Ok, tunggu sebentar ya. Oh ya, ini kartu ATM kamu.” Rania mengembalikan kartu ATM Indira yang dia letakkan di atas nakas.
Rania menuju dapur untuk membuat segelas s**u untuk Indira. Dia berikan s**u hangat itu pada majikannya. “Ini minum dulu!”
Indira minum s**u buatan Rania. Rasanya sebenarnya tidak jauh beda dengan s**u lainnya. Setelah minum s**u itu dia tidak merasakan mual yang hebat seperti biasanya.
“Ternyata s**u ini enggak bikin mual. Makasih ya, Ran sudah kepikiran s**u ini. Kayaknya sementara ini aku minum ini dulu deh sampai mualnya berkurang.”
“Nah, kan bener yang aku bilang tadi. Eh ya, Dira, kamu enggak pengen jalan-jalan gitu. Shopping atau perawatan gitu. Pasti tuan Ilham ngasih kamu uang yang banyak. Aku mau kok nemenin kamu jalan-jalan.”
Rania tadi sempat mengintip saldo di kartu ATM Indira yang jumlahnya 300 juta. Jiwa miskin Rania pun meronta-ronta melihat uang sebanyak itu.
“Enggak, ah. Buat apa sih shopping sama perawatan?”
“Ya buat membahagiakan suami lah, Dira. Kamu sudah dikasih modal, muka tuh dirawat. Kamu tuh cantik, tapi kalau dirawat cantiknya bisa maksimal.”
“Apaan sih, Ran. Begini aja sudah cukup.”
“Masa Nyonya majikan penampilannya sama dengan pembantu lain? Emang kamu enggak ngaca?”
Dalam hatinya Indira berkata, “Buat apa ke salon dan tampil cantik di depan tuan Ilham kalau aku cuma dijadikan alat untuk melahirkan anaknya, bukan jadi istrinya.”
“Ya enggak apa-apa, kan?”
“Enggak boleh dong. Pokoknya kamu harus berubah.”
“Entar aja kapan-kapan.”
“Pokoknya kalau kamu berubah pikiran, cari aku ya. Aku siap menemani kamu ke mana saja.” Rania pun keluar dari kamar Indira dengan membawa gelas.
Ilham telah pulang ke rumah. Pria itu sangat merindukan Indira. Dia pun minta Indira menemaninya pada malam hari di peraduan mereka. “Saya mau kamu malam ini, Dira.”