Bab 5. Mau ke Luar Negeri

894 Words
Ilham sangat memperhatikan kehamilan Indira sejak kepulangannya dari luar kota. Mulai dari sarapan, makan siang hingga makan malam. Dia juga mengatur jam istirahat Indira. Dia ingin anak dalam kandungan Indira tumbuh dengan sehat. “Kamu harus makan tiga kali sehari ya, Dira. Makanan kamu akan saya atur yang banyak gizinya. Camilan juga saya yang tentukan. Kamu tinggal minta sama Rania. Dia akan menyiapkan semuanya buat kamu.” “Baik, Tuan.” Indira tidak akan membantah karena dia tahu semua demi kesehatan bayi dalam perutnya. Perempuan itu rela mengandung yang penting setelah melahirkan dia bisa keluar dari rumah itu. “Tuan, apa saya boleh minum s**u khusus ibu hamil?” Jika Ilham melarang, dia akan membuang semua s**u itu dan akan diam karena sudah minum s**u itu. “Sepertinya boleh saja. s**u itu bagus untuk ibu hamil. Jadi, tidak masalah.” “Oh ya, baik, Tuan.” “Kamu lagi pengen makan sesuatu enggak, Dira? Mangga muda atau rujak? Yang saya tahu ibu hamil suka makan makanan asam seperti itu.” “Enggak, Tuan. Saya lagi enggak mau makan mangga muda atau rujak.” “Oh. Kalau kamu mau makanan itu, saya bisa carikan. Saya mau berangkat kerja dulu. Kamu jangan lupa makan dan istirahat.” “Iya, Tuan.” Ilham pun berangkat ke kantor. Selesai sarapan, Indira menuju taman belakang. Dia ingin menyiram bunga di sana. Rania menghampiri perempuan itu tak lama kemudian. “Dira … kenapa sih kamu tuh enggak bisa duduk aja gitu atau istirahat aja? Ini kan bukan kerjaan kamu lagi. Kamu udah jadi nyonya di rumah ini. Daripada kamu sibuk ngerjain kerjaan pembantu, mending kamu jalan di mall. Nyalon kek, beli baju yang bagus kek atau jalan ke mana gitu. Jangan diem aja di rumah.” Indira cuek mendengar ucapan Rania karena dia tidak merasa sebagai nyonya di rumah itu. Hanya dinikahi untuk melahirkan anak setelah itu dia akan pergi dari sana. Indira tersenyum. “Enggak ah. Aku lebih suka di rumah. Lihat rumah rapi dan bersih aku suka.” “Ah, kamu mah emang mental pembantu sih. Sudah dinikahi majikan kaya raya, tapi enggak bersyukur.” “Enggak bersyukur gimana sih?” tanya Indira heran. “Ya gitu, dikasih kelebihan harta malah enggak dimanfaatkan. Kalau aku jadi kamu, aku pasti setiap hari pergi, ke salon, perawatan, beli baju yang mahal, makan yang enak-enak, tapi kamu enggak. Emang kamu tuh aneh ya, Dira.” Rania memang iri pada Indira. Terkadang dia berpikir jika nasibnya tidak sebagus Indira yang mendadak dinikahi majikan kaya raya. Kemudian, Rania pun pergi meninggalkan Indira karena dia merasa kesal. Indira hanya bisa geleng-geleng kepala melihat temannya itu. Selesai menyiram tanaman, Indira berkeliling rumah membawa lap. Perempuan itu mengelap meja atau lemari yang terlihat berdebu di matanya. *** Pada malam hari, hampir jam sembilan malam, tiba-tiba saja Indira ingin makan makanan asam. Namun, dia tidak berani meminta pada Ilham yang sedang duduk di ranjang bersamanya sambil memeriksa ponsel. Keinginannya itu semakin lama semakin kuat sehingga Indira memberanikan diri bicara pada Ilham. “Tuan ….” Indira menarik lengan baju Ilham. “Hm … kenapa?” “Saya boleh minta tolong?” Ilham memutar badan agar menghadap Indira. Dia merasa ada hal serius yang ingin dikatakan perempuan itu. “Kamu mau minta tolong apa, Dira?” “Tuan, bisa enggak carikan saya makanan yang asem-asem, kayak rujak gitu, Tuan? Tapi, sekarang sudah malam sih.” Indira meragu Ilham akan pergi mencarikan permintaannya. Wajah Ilham terlihat sumringah. “Kamu mau rujak? Saya bisa carikan buat kamu. Tunggu di sini ya, saya pergi dulu sebentar.” Ilham turun dari ranjang lalu menuju kamarnya. Di sana dia mengganti pakaian lalu pergi bersama supir mencari rujak untuk Indira. “Malam-malam begini cari rujak di mana ya, Pak?” tanya Ilham pada supirnya. “Kalau malam begini tukang rujak sudah enggak jualan, Tuan. Gimana kalau kita ke tukang buah, terus beli buah untuk dibuat rujak, nanti bumbunya minta tolong bibi saja yang buatkan. Rujaknya buat Nyonya Dira ya, Tuan?” “Iya. Ya sudah kalau begitu kita beli buahnya saja. Tolong antarkan saya ke sana!” Supir mengantarkan Ilham ke tukang buah yang masih buka. Di sana dia membantu Ilham mencari buah yang masih muda atau mengkal untuk dibuat rujak. Ilham membeli mangga muda, jambu air, nanas dan pepaya muda. Selesai membeli buah mereka pulang ke rumah. Tiba di rumah, supir membawa semua buah ke dapur untuk dikupas dan meminta bibi untuk membuat rujak. Tidak perlu menunggu lama, rujak pesanan Indira pun sudah jadi. Mereka berikan pada Ilham lalu pria itu membawa ke kamar Indira. “Ini rujak buat kamu. Makan ya!” Ilham meletakkan piring buah dan bumbu rujak di meja. Indira mendekati meja lalu mencoba rujak itu. “Rasanya enak, Tuan, terima kasih sudah mau repot-repot.” Indira tersenyum. Dari wajahnya terlihat jika dia sangat menikmati rujak itu. “Sama-sama. Semua kan buat janin dalam perut kamu. Pokoknya kamu mau minta apa saja akan saya kabulkan.” “Oh ya, Tuan, kalau saya minta yang lain lagi apa boleh?” “Tentu saja boleh. Kamu mau minta apa, Dira? Saya bisa kabulkan semua permintaan kamu.” Indira diam sejenak sambil berpikir apakah dia harus mengatakannya atau hanya memendamnya. Namun, dorongan keingina n itu sangat kuat. Akhirnya Indira pun bicara. “Saya pengen jalan-jalan ke luar negeri, Tuan. Satu kali saja dalam hidup saya, tapi misalnya enggak bisa pun enggak apa-apa.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD