Menjadi anak tunggal dan cucu paling tua itu seperti dua hal yang selalu ada dalam hidup manusia. Suka dan Duka.
Saat anak-anak, hidup Bella dipenuhi oleh kisah-kisah penuh suka. Sampai-sampai rasanya seperti menampung air dengan satu ember di saat hujan deras.Airnya tumpah-tumpah. Kasih sayang dan perhatian bertebaran dari seluruh keluarga besar untuknya. Bella seperti ratu kerajaan yang tidak boleh dibuat menangis, marah atau perasaan lainnya selain bahagia.
Beranjak dewasa, Bella harus terbiasa dengan perubahan dalam hidupnya. Hujan tidak lagi sederas saat kecil dan air di ember mulai terkuras.
Apalagi, Bella menjadi satu-satunya anak yang dimiliki orang tuanya itu seperti beban berat di pundaknya yang tidak bisa dibuang begitu saja.
Bella mendorong gerbang besi setinggi dua meter itu dengan tenaga lemah bersamaan dengan napas hangat keluar dari mulutnya. Sehangat cuaca saat matahari mulai menepi ke barat.
Langkah Bella seperti dihalangi oleh sesuatu. Ia menatap lurus dengan kelopak mata bergetar pemandangan di bawah pohon mangga di halaman rumah bergaya kontemporer.
Tiga laki-laki duduk di dipan dengan mulut tersumpal biskuit. Bahu mereka bergetar, mata tinggal segaris. Entah apa yang lucu.
Kalau ada jalan pintas atau ada portal yang bisa membawanya ke kamar daripada melewati tiga sepupunya itu. Bella berusaha tidak menyapa atau tidak berpas-pasan untuk menghindari rasa sakit. Tapi, kalau lama-lama mematung Bella akan menghabiskan detik demi detik dengan sia-sia.
“Kak Bella!” Mereka langsung berseru memanggil Bella. Menelan semua makanan di dalam mulut dan juga megelap bibir dari sisa remahan biskuit.
Salah satu dari mereka bersuara lagi, “Mana nih calon suaminya?” Dia terkekeh seolah itu adalah lelucon.
Bella menampilkan dua garis wajah di sudut bibirnya. Tiga laki-laki yang satu di antara dua itu adalah anak SMA dan dua yang lainnya masih SMP masih saja cekikikan. Bella seperti lelucon untuk mereka.
Itulah mengapa Bella berandai-andai punya portal atau punya jalan pintas. Ia tahu seperti apa tabiat para sepupunya.
“Kalian sore-sore begini bukanya mandi malah masih nongkrong. Sana mandi.” Bella memilih mengganti topik daripada harus mendebat mereka. Tidak akan ada untungnya.
“Waduh, udah ganteng begini masa disuruh mandi lagi?” Salah satu sepupu SMP menjawab sambil menyisir rambut hitamnya dengan jari tangan.
Bella mengangguk-angguk saat tahu mereka ternyata sudah mandi.
“Kita cuma belum ganti baju aja, Kak. Soalnya takut nanti pakaiannya kotor waktu tamu datang,” jelas sepupu Bella yang SMA. Suaranya terdengar lebih sopan.
Bella meneleng ke arah mereka. Bertanya-tanya dalam hati apa maksud dari kata tamu?
Namun, terlalu sore untuk Bella menghabiskan waktu dengan para sepupunya. Bella meninggalkan mereka yang kembali cekikikan saat Bella berlalu. Tidak perlu memakai pengeras suara, mereka terdengar meledek Bella dengan sengaja.
Apakah tidak punya pacar atau memilih sendiri itu sebuah aib?
“KAK BELLA!”
“ASTAGA!”
Tubuh Bella refleks terjingkat mendapati dua anak perempuan berusia 10 tahun tiba-tiba muncul di depannya saat pintu terbuka. Bella mengelus d**a sambil komat-kamit.
“Kenapa harus muncul pas di depan pintu, sih?” Bella menyayangkan aksi dua bocah itu. “Memangnya ada apa sampai ngagetin Kak Bella?” Meski kesal Bella masih bisa melembutkan suaranya.
“Maaf udah bikin Kak Bella kaget.” Bella mengangguk memaafkan, mereka juga menampilkan mata berkaca-kaca. Jadi, Bella tidak tega. Cara yang manjur.
Bella menyipitkan matanya. “Kalian … pakai make up punya siapa?”
Wajah dua anak itu penuh dengan riasan. Kelopak mata mereka penuh dengan warna biru dan hijau, sementara pipi mereka sudah seperti menghantam tembok. Oh, dan jangan lupakan bibir bewarna merah tua itu.
Dua anak itu menampilkan giginya, tawa mereka terdengar sangat renyah.
“Pakai punya Kak Bella, dong!” jawab mereka dengan lantang. Mereka sepertinya berpikir Bella akan memuji hasil karya mereka. “Make upnya bagus banget, Kak! Kalau kena air nggak langsung luntur!”
Mata Bella berkedut, lubang hidungnya melebar. Jari-jari tangan Bella terkepal kuat bersamaan dengan deru napas berat yang terdengar. Bella mengalihkan wajahnya ke langit-langit berusaha menahan air mata.
Di mana membeli stok rasa sabar atau di mana toko yang bersedia menukarkan barang dengan para sepupu?
Menjadi yang paling dewasa di antara yang lainnya itu memang tidak enak. Bella harus membendung amarahnya bukan karena tidak bisa marah melainkan ibu dua anak itu memerhatikannya dari arah jauh. Tatapannya mengancam.
Bella menahan diri untuk tidak marah.
Lagi-lagi, Bella memilih meninggalkan dua anak itu daripada merasa sakit hati karena make up miliknya sudah dipindah tempat ke wajah mereka.
"Bella." Seseorang memanggil Bella ketika ia tepat berdiri di depan pintu kamarnya. Bella menoleh ke belakang. “Kenapa, Pa?” Bella menurunkan tangannya dari knop pintu. Menunggu dengan penasaran dan gegabah karena ingin segera memeriksa riasan miliknya.
"Ada sesuatu penting yang mau kami bicarakan sama kamu.”
Bella yakin itu suara yang penting dan mungkin sangat penting karena ayah Bella juga membawa nenek serta ibunya untuk menghadapnya. Bella menatap nenek dan ibunya secara bergantian.
"Sekarang, Pa? Boleh Bella mandi dulu?"
"Mandinya nanti aja, Bell,” kata ibu Bella. “Kita tunggu di ruang keluarga, ya? Jangan lama!”
Bella kembali menghela napas berat. Padahal, ia sudah merasa tak nyaman dengan tubuhnya sendiri dan dengan seluruh atsmosfer di rumah ini. Oh, Bella juga penasaran dengan seluruh make up bermerek mahal di kamarnya!
...
Di ruangan dengan banyaknya bingkai foto yang terpajang di dinding. Foto bergambarkan Bella dan kedua orangtuanya saat Bella wisuda, momen lebaran saat Bella berusia 10 tahun dan beberapa foto keluarga lainnya---Bella duduk di sofa berbahan kulit sintesis menghadap tiga orang dengan otot wajah tegang.
Walau sudah ditegur oleh ibunya, Bella tidak bisa menghentikan gerakan kedua kakinya. Bergerak naik turun. Sebelum masuk ke ruangan ini, semua tante dan om serta beberapa sepupu yang dewasa menakut-nakutinya. Dan sekarang, Bella beranggapan ruangan ini seperti wahana rumah hantu. Kemudian, firasat Bella mengatakan sesuatu buruk akan terjadi.
“Ada apa ya sampai Nenek, Papa dan Mama mau bicara sama Bella?” Jantung Bella seolah dipompa dengan cepat. Tapi, ia berusaha menetralkan ekspresinya. Meski sejak tadi terus bermain dengan jari-jari tangan yang berkeringat dingin.
"Kamu tetap akan dijodohkan."
"Apa?!"
Satu kalimat itu berhasil menjatuhkan jantung Bella dari tempatnya.
“Bella nggak mau!” Bella menggeleng keras. “Bella bisa cari suami sendiri. Pokoknya Bella nggak mau.” Dia menyilangkan tangan di d**a sembari menarik tubuhnya ke belakang sampai berhasil bersandar pada sofa.
Beni menatap Bella tanpa ekspersi. “Ini bukan soal kamu mau atau nggak. Keputusan sudah bulat dan kamu tetap harus menerima perjodohan itu dengan alasan apapun.”
Bella baru akan membuka mulutnya untuk kembali melayangkan protes, tapi sosok di antara ayah, ibunya itu segera berbicara.
“Bella cucu Nenek yang paling besar dan paling Nenek sayang … kamu harus dengarkan apa yang dibilang sama Papa kamu, ya? Kami semua sudah merundingkan keputusannya.”
“Nek ….” Bella menatap nenekya dengan mata berkaca-kaca. Bibirnya bergetar.
“Bella sayang kan sama sepupu-sepupu Bella? Sayang juga kan sama orang tua dan sayang juga kan sama Nenek?”
Bella menundukan pandangan kemudian mengangguk pelan. Satu air mata menetes dari mata kanannya. Dengan cepat, Bella mengelap itu dan berusaha menguatkan hatinya.
“Bella sayang sama kalian. Tapi, Bella sudah besar dan sudah bisa membuat keputusan sendiri. Berapa kali Bella bilang kalau sampai kapanpun nggak akan pernah mau dijodohkan?”
Tidak. Bella tidak melihat adanya rasa iba dari tiga orang yang duduk di hadapannya dan itu terasa seperti ada yang meremas hatinya.
Bella mengambil napas sembari memejamkan mata, lalu menghembuskannya dengan sangat berat. Namun, masih saja sesak bersarang di dadanya. Bella mungkin harus melakukan ini… hal yang juga dilakukan dua bocah yang mengambil make upnya tanpa izin.
Saat Bella berdiri, ketiga orang itu langsung menatap penuh tanda tanya dan juga tatapan penuh protes. Mereka mungkin berpikir Bella akan pergi dengan tidak sopan.
Tidak.
Bella melipat kedua kakinya ke belakang ditindih oleh p****t, kemudian menyatukan telapak tangan di depan d**a, memasang ekspresi memohon dengan mata berkaca-kaca. Dia terlihat seperti b***k zaman kuno yang meminta pada raja agar dibebaskan dari hukuman.
“Apa yang kamu lakukan, Bella?” Beni terkejut.
"Bella mohon … jangan jodohkan Bella sama siapapun. Sedikit aja kasihan sama Bella.” Bella menggerakan tangannya ke depan dan ke belakang. Seolah-olah semakin cepat gerakannya maka semakin besar kemungkinan mereka akan iba.
"Bella, Papa nggak akan bilang berkali-kali kenapa kami semua memaksa kamu untuk segera menikah. Kamu pikir, kami membuat keputusan ini tanpa pertimbangan?”
Satu gumpal air liur menyumbat tenggorokan Bella. Mengapa ayahnya tampak seratus kali lipat menyeramkan saat berada pada mode serius?
“Bella menghargai keputusan yang sudah kalian buat. Tolong, kasih waktu Bella sedikit lagi.”
“Jangan mengulur-ulur waktu, Bell. Ini bukan permainan!”
Tubuh Bella tersentak mendengar bentakan itu. Dia menunduk, matanya terasa panas. Ia memutuskan kembali duduk ke sofa saat ibunya itu mengusap pundak ayahnya. Mungkin bermaksud menenangkan.
Bella mengalihkan wajahnya ke arah lain. Suasana di luar tampak gelap, itu terlihat lewat kaca jendela. Gelap dan suram seperti hidupnya. Dalam sekejap, Bella menginginkan terlahir dari keluarga yang lain.
"Kamu menaruhkan masa depan keluarga, Bell. Jangan anggap kutukan itu bukan sesuatu yang serius."
"Kita nggak akan pernah tahu kutukan itu sesuatu yang nyata atau cuma mitos. Sampai sekarang, belum ada yang melanggar, kan?"
"Siapa yang mengajari kamu membantah perkataan orang tua, Bell?”
Bella susah payah menelan air liurnya. Dia hanya berusaha mengeluarkan apa yang ada di kepala dan sedikit rasa kesal yang menggumpal di hatinya.
“Bella, daripada kamu membuang waktu untuk menolak. Sekarang, lebih baik kamu menerima keputusan kami. Sebelumnya, kami juga sudah menceritakan ke kamu alasan kenapa kutukan itu ada.”
Bahkan ibunya pun tidak berada di pihaknya. Bella meremas tangannya, sementara tiga orang itu tampak tenang.
"Pasti ada penangkalnya, kan? Cara supaya kutukan itu hilang."
Tiga orang itu tidak bersuara. Bella menatap penuh harap.
Ya! Pasti ada penangkal untuk kutukan itu selain harus menikah. Misalnya, Bella harus memberi makan seseorang selama kurun waktu tertentu atau mungkin harus mandi dengan kembang 7 rupa.
"Kamu tetap akan menikah dengan orang yang sudah kami pilih.” Beni bangkit dari duduknya dan meninggalkan Bella yang baru akan melayangkan protes lagi. Seolah-olah itu adalah keputusan akhir.
Jadi, solusi satu-satunya adalah tetap menikah sebelum 28 tahun?
Bella hampir menjambak rambutnya frustasi. "Bella nggak mau dijodohkan, Ma!” Kali ini Bella hanya bisa merengek pada ibunya. Tapi, perempuan kurus berambut sebahu itu hanya bisa menatapnya dengan senyum penuh rasa kasihan.
Sekarang semua keputusan seolah ada pada ayah Bella. Ibunya pun tidak bisa melakukan apapun. Situasi yang sangat berbeda saat Bella masih kecil. Dulu, pembelaan ibunya selalu berhasil menyelamatkannya dalam kondisi apapun.
Bella pindah duduk di samping ibunya sembari melingkarkan tangan di lengan wanita itu.
“Ma, tolongin Bella, ya? Masa Mama tega lihat Bella nikah sama orang yang nggak Bella suka?”
Ibu Bella bergeming.
“Nek. Tolongin Bella.” Sekarang Bella di sebelah neneknya. Memohon sampai ia berhasil membujuk mereka. Tetapi, hasilnya tetap sama saja. Tidak ada yang peduli.
“Kalian nggak sayang sama Bella, ya?” Bella mulai terisak.
“Mau bagaimana lagi? Sekarang, cepat mandi dan siap-siap karena keluarga dari laki-laki itu akan datang malam ini.”
“APA?!”
Oh, jadi itu sebabnya para sepupu dan seluruh om dan tante tampak sibuk menyiapkan sesuatu?
KUTUKAN SIALAN!