Sejak pukul 7 hingga 8 malam Bella mengurung diri di dalam kamar dan mengabaikan ketukan pintu yang berulang kali terdengar di telinganya.
Selain ketukan pintu juga terdengar suara memanggil-manggil namanya.
Suara itu berasal dari ibunya dengan nada penuh kekhawatiran. Namun, Bella mempertahankan diri untuk tidak menyahut sembari memperhatikan kebaya putih di atas ranjang.
Harusnya, sejak awal Bella menaruh curiga pada seluruh keluarga besarnya. Biasanya, mereka pulang setelah 3-7 hari menginap. Tetapi kali ini, mereka seolah betah.
Mereka juga terlihat sibuk hari ini. Kalau tahu begitu, Bella tidak akan pulang. Taruhannya adalah masa depannya sendiri.
Bella membanjiri pipinya dengan air mata. Penglihatannya buram karena kelopak matanya bengkak, hidungnya berubah seperti hidung badut. Kesedihan Bella masih berlanjut, tapi air matanya sudah kering. Ia hanya bisa meratapi akhir kisah percintaannya yang berakhir tragis.
TOK! TOK! TOK!
Bella bergeming seperti sebelumnya. Menunggu orang-orang di luar lelah dengan apa yang mereka lakukan.
“Kak Bella, ini aku Evelyn. Tante Ella nyuruh aku untuk rias muka Kakak.”
Suara itu mengingatkan Bella untuk segera siap-siap. Kalau tidak, ia akan menemui calon suaminya dengan keadaan mengenaskan seperti ini. Sebenarnya, dengan keadaan seperti ini jauh lebih bagus. Calon suaminya juga harus menolak perjodohan ini.
“Kak Bella di dalam, kan?”
Bella menoleh ke arah pintu bewarna cokelat tua itu. Lalu, tatapannya beralih ke arah cermin rias. Kalau laki-laki itu akan datang malam ini bersama keluarganya, lalu Bella juga harus memakai kebaya dan dirias, artinya lamaran itu akan dilakukan malam ini. Cepat sekali, seperti berkedip.
“Kak Bella nggak kabur, kan?” tanya sepupu Bella yang usianya 19 tahun itu.
Bagaimana Bella bisa kabur? Jendela di kamarnya dipalang dari luar dengan kayu. Mereka tahu kalau Bella pasti akan melakukan itu untuk menolak perjodohan ini.
“Kak Bella mau dirias atau nggak, sih? Nanti keburu keluarga laki-lakinya datang dan Kak Bella masih dekil!”
Mendengar itu Bella melangkah dan membukakan pintu untuk adik sepupunya bernama Evelyn itu.
“Gitu dong dari tadi!” gerutu perempuan berwajah blasteran dengan rambut cokelat sepunggung. Dia terdiam sembari memperhatikan Bella setelah menutup pintu.
“Astaga mata Kak Bella sampai bengkak gitu. Kak Bella nangis? Kenapa harus nangis? Kayak anak kecil, aja."
“Kamu tanya kenapa?” tukas Bella agak kesal. “Kalau kamu ada di posisi Kakak pasti bakal nangis juga.”
Sebelum Evelyn kembali protes, Bella langsung duduk di depan cermin rias.
“Kenapa harus nangis cuma karena dijodohkan?”
“Jangan sok kamu! Coba bayangkan, kamu dijodohkan sama orang yang nggak kamu cintai, bahkan kamu nggak kenal orang itu siapa? Rasanya, hidup kamu pasti hancur saat itu juga, Ev.”
Evelyn mengangguk-anggukan kepala. Dia memperhatikan ekspresi Bella dari pantulan cermin.
“Bener sih, Kak. Tapi, kadang-kadang apa yang kita sukai, cintai belum tentu itu yang terbaik buat kita.”
Bella bergeming. Anak kecil di belakangnya ini kenapa justru menceramahi nya?
“Pilihan orang tua selalu jadi yang terbaik, Kak. Mungkin karena Evelyn pernah merasa jadi anak yang durhaka.”
Evelyn mengambil alih kotak riasan di atas meja dan mulai mengambil beberapa bedak yang akan dipoleskan di wajah Bella.
“Lah, kenapa gitu? Kamu pernah bentak orang tua kamu, ya?” Seketika, pikiran Bella teralihkan.
“Waktu aku masih SMA, aku pernah jadian sama teman kelas ….”
Bella menegakan kepalanya saat Evelyn mulai mengoleskan bedak di wajahnya sembari menceritakan tentang pengalamannya.
“Nah, cowok itu punya penampilan dan karakter yang nggak banget walau kadang-kadang agak imut, sih. Hehe...."
“Maksud kamu ‘nggak banget’?”
Evelyn mengambil jeda sebentar setelah berhasil mengoleskan bedak di wajah Bella. Dia mengamati wajah Bella dan berpikir tahap apa yang selanjutnya akan dia lakukan.
“Kalau di sekolah penampilannya awut-awutan kayak preman. Celananya robek-robek, terus gayanya petakilan gitu. Satu sekolahan juga udah pada tahu kalau dia itu cowok Playboy dan pembuat onar di sekolah. Aku juga tahu, sih, hehe.” Evelyn menampilkan deretan gigi dan ekspresi polosnya.
“Aneh. Kamu udah tahu dia kayak begitu, tapi kenapa masih kamu terima?”
Sekarang Evelyn beralih ke bagian mata Bella. Sehingga, Bella sesekali harus memejamkan matanya.
“Teman-teman Evelyn bilang nggak boleh menilai seseorang dari luarnya. Di samping penampilan dan minim akhlak, cowok itu sebenarnya baik dan agak perhatian. Oh dan satu lagi, dia tajiiiiiiir banget, Kak!"
Bella hendak memutar bola matanya, tetapi ia sedang memejamkan mata sehingga hanya berdecak sebagai bentuk respon.
“Hehe … dia juga waktu itu janji nggak akan selingkuhin aku.” Nada suara Evelyn berubah seperti ada kekecewaan di dalamnya.
“Terus, apa hubungannya sama orang tua kamu?”
“Mereka tahu kalau aku pacaran sama cowok itu dan mereka nggak setuju.”
“Wajar sih kalau mereka nggak setuju. Kakak juga nggak setuju kalau anak baik-baik kayak kamu pacaran sama cowok itu.” Lambat laun, pikiran Bella teralihkan. “Kakak tahu ya, kamu itu anak baik-baik. Jadi, kalau kenal cowok kayak gitu ya siapa, sih yang nggak khawatir? Orang tua kamu pasti khawatir makanya ngelarang.”
Bagian mata Bella sudah selesai di rias, dan selanjutnya Evelyn beralih ke bagian yang lainnya termasuk rambut Bella.
“Dan bener, sih Kak. Beberapa bulan setelah dilarang sama orang tua, aku baru tahu kalau aku diselingkuhi dan ya ... aku sakit hati banget sampai nggak mau makan dan berat badanku turun drastis. Akhirnya, aku sadar orang tuaku benar soal cowok itu.”
Ekspresi Evelyn berubah. Ada kesedihan di wajahnya, namun dia masih bisa tersenyum.
“Jadi, itu alasan kamu bilang kalau Kakak harus turuti kata orang tua?” Bella menatap Evelyn di belakangnya lewat pantulan cermin.
“Ya nggak cuma itu sih, daripada nanti Evelyn nggak nikah? Hahaha!”
Bella melirik kesal sepupunya itu.
“Kamu tahu nggak laki-laki yang mau dijodohkan sama Kakak itu orangnya kayak apa?”
Sejak tadi, Bella was-was tentang calon suaminya itu. Apakah dia lebih baik dari Seno atau mungkin sebaliknya? Apakah dia orang yang enak untuk diajak ngobrol atau justru orang yang kaku?
Sayangnya Evelyn menggeleng. “Yang pasti bukan duda, sih.”
Akhirnya, Evelyn selesai merias wajah Bella. Hanya riasan tipis tapi itu bisa membuat Bella tampak semakin cantik.
“Astaga, mata Kak Bella udah kayak disengat tawon, hahaha!”
Bella lagi-lagi melirik kesal sepupunya itu.
“Ev, menurut kamu gimana kalau Kak Bella kabur aja?”
Tiba-tiba, perasaan Bella semakin berkecamuk. Ia ingin menghancurkan acara malam ini, namun tidak ingin mengecewakan keluarganya.
“Boleh, tapi Kak Bella akan mengecewakan banyak orang. Dan susah loh untuk mengembalikan kepercayaan.”
Evelyn menutup kotak riasan dan meletakannya ke atas meja.
“Masalahnya, pernikahan itu hal yang sakral dan cuma satu kali dalam hidup. Kak Bella takut nggak bisa jadi istri yang baik dan malah jadi durhaka. Lagian, buat apa menjalin hubungan kalau nggak ada cinta di dalamnya?”
Bella mencerca dirinya sendiri. Mengapa ia harus menjadi orang yang lemah dan membiarkan orang lain mengikat lehernya, menarik ke arah yang mereka suka?
“Gimana ya? Masalahnya, Evelyn selalu percaya cinta itu akan tumbuh kalau sering berinteraksi.”
Bella tidak ingin menjalani kehidupan rumah tangga tanpa cinta. Bahkan ia tidak ingin pura-pura mencintai seseorang atau bahkan membuat surat kontrak seperti yang ada di novel-novel. Itu terlalu membuang waktu. Meski selama ini, ia juga selalu membuang waktu untuk mencintai Seno tanpa akhir yang jelas.
“Apapun itu, Evelyn rasa keputusan keluarga udah yang terbaik. Mereka nggak mungkin menjodohkan Kakak dengan orang yang nggak baik.”
Itu benar. Tapi, Bella masih merasa kurang yakin dan takut.
Karena riasan Bella sudah selesai. Evelyn memutuskan untuk keluar kamar setelah mewanti Bella agar tidak kabur.
DRRTT....
Bella mengambil ponsel di atas meja rias dengan tergesa. Ia penasaran, siapa yang akan menyelamatkan hidupnya malam ini setelah Bella mengirim kabar memilukan tentang perjodohannya ini pada Gita dan Galih.
Tapi, pesan itu bukan dari Galih atau Gita, melainkan pesan dari Seno.
Terlambat. Pikir Bella.
Saat-saat Bella mengharapkan Seno datang seperti pangeran berkuda yang akan menyelamatkan hidupnya, laki-laki itu justru hilang bagai ditelan gunung berapi.
SENO [Kabar baik! Setelah saya pikir, saya bisa bantu kamu. Tapi, saya nggak bisa datang malam ini. Masih bisakan kalau besok malam, Bell?]
Bella menggerakkan jemari tangan di atas layar ponsel dengan gerakan lambat. Tidak bertenaga. Tidak pula ingin tahu mengapa Seno tidak bisa datang malam ini.
BELLA [Kabar baik sekali, Pak. Tapi, saya juga punya kabar buruk. ;(]
Hanya butuh lima detik Bella menerima balasan Seno.
SENO [Apa, Bell? Kamu nggak kenapa-kenapa, kan?]
BELLA [Saya tetap akan dijodohkan, Pak. Jadi, Bapak datang malam ini atau besok malam juga akan percuma.]
SENO [SERIUSAN KAMU?]
Bella dapat merasakan keterkejutan Seno dari cara pria itu menulis balasan pesan.
BELLA [Kenapa saya mau bohongin Bapak, sih? ;( Dunia saya hancur, Pak!]
Setelah membalas itu, Seno tidak membalas lagi. Seno mungkin tidak tertarik lagi.
DRRRRT….
Secepat kilat Bella mengambil ponsel yang ia letakan di atas meja.
Pesan masuk dari Seno.
SENO [Belum! Yakinkan ke orang tua kamu kalau saya akan datang besok malam. Jelasin ke mereka, Bella. Kamu harus berjuang untuk diri kamu sendiri!]
Sudut bibir Bella tertarik walau sedikit. Ia suka bagaimana Seno selalu menyemangatinya.
BELLA [Susah, Pak. Keputusan mereka sudah bulat dan permohonan saya akan sia-sia.]
Akan sulit menyakinkan mereka. Intinya, inilah akhir dari kisah cintanya.
TOK! TOK! TOK!
Suara itu membuat Bella tersentak. Ia lantas menoleh ke arah pintu sembari memasang wajah kesal. Perasaan Bella berubah dalam sekejap. Apapun tentang keluarganya, saat ini sedang tidak membuatnya baik-baik saja.
“Bella cepetan keluar! Itu tamunya udah datang!”
DEG!
Seolah ada benda keras yang menghantam d**a Bella. Napasnya sesak seketika.
Bella menghela napas gusar mendengar suara salah satu tantenya. Ia menatap dirinya di depan cermin.
“Selamat datang hidup yang suram.”
....
Suara deru kendaraan memasuki halaman rumah Bella. Tiga mobil bewarna; putih, merah dan hitam serta dua motor besar terpakir dengan rapi. Bella menyambut tamu tersebut bersama keluarga besarnya. Terlihat seperti demonstran sementara tamu yang datang hanya berjumlah belasan orang.
“Loh, tamunya kok sedikit sekali?” tanya salah satu Tante Bella kepada Ella (Ibu Bella).
Sejak tadi, d**a Bella sudah terasa sesak. Sekarang, Bella hampir tidak bisa bernapas. Ia ingin kabur dan berlari melewati belasan orang itu, tetapi Evelyn dan ibunya mengapit masing-masing lengannya.
Detik demi detik Bella kehilangan semangat hidupnya. Napasnya tersengal karena rasa cemas dan marah. Ia hanya bisa menundukkan kepala berusaha tegar.
“Kamu harus terima kenyataan ini, Bella. Kamu pasti akan bahagia.”
Bella mendengar bisikan ibunya. Itu sama sekali tidak mengubah apapun.
“Bella, tegakan kepala kamu. Sambut keluarga calon suami dengan baik,” bisik salah satu tante Bella yang berdiri di belakangnya. “Jangan lupa senyum manis.”
“Kak, mereka semakin dekat.” Evelyn menyenggol lengan Bella.
Dengan malas-malasan Bella menegakkan kepala dan melakukan persis apa yang tantenya minta.
Kening Bella berkerut saat salah satu laki-laki dari belasan orang itu berjalan ke arahnya. Seluruh keluarganya berbisik-bisik, bertanya-tanya siapa laki-laki itu karena seharusnya dia tak mendahului yang lainnya.
“Pak Seno?!” pekik Bella dengan mata membulat.
Laki-laki dengan pakaian batik itu menatap Bella tak kalah terkejutnya.
“Bella? Ternyata kamu orangnya?”
Kenapa ada Seno di sini? Dan kenapa Seno datang bersama rombongan itu?
Astaga! Apakah mungkin Seno adalah orang yang akan dijodohkan dengannya?