Hari ini adalah hari dimana aku kembali ke kota asalku New York. Kota dimana semua hal di dalam hidupku terjadi. Susah, sedih, senang semuanya berawal dari sana. Tidak pernah terlintas di dalam benakku untuk kembali ke sana bersama Chris, laki – laki yang menolongku dari preman berandalan malam itu.
Aku menatap langit yang indah melalui jendela pesawat. Cuaca yang cerah tidak mengambarkan suasana hatiku, aku masih cemas dengan keadaan Michael. Ia tidak membalas pesan chatku sejak 2 hari lalu.
Chris menyadari kegundahanku, ia menggenggam tanganku, “kamu mikirin Michael?”
Aku menghela nafas sejenak, “iya, aku gak bisa berhenti untuk mencemaskan keadaannya.”
“It’s okay, aku yakin dia baik – baik aja kok.”
“Iya aku tau, tapi aku masih penasaran kenapa dia pergi begitu aja dan gak kasih aku kabar. Dia gak pernah kayak gini sebelumnya,” balasku.
Chris memelukku, “semuanya akan baik – baik aja kok.”
‘semoga saja’ batinku.
Penerbangan ini membuatku mual, aku menyandarkan kepalaku dan memejamkan mataku. Tetapi usahaku untuk menghilangkan rasa mual ini belum cukup, mual yang aku rasakan semakin parah dari sebelumnya.
Chris memberikanku kantung muntah, “ini kantung muntahnya, kamu mual kan?”
Aku mengangguk pelan. Chris sangat peka terhadap orang di sekitarnya, aku senang dengan perhatian yang ia berikan kepadaku.
Setelah menggunakan kantung muntah, aku kembali beristirahat sampai kami berdua sampai di kota impian semua orang, New York.
“Michelle, kamu tunggu di ruang tunggu aja, biar aku yang ambil barang – barang kamu,” ujar Chris.
“Oh, oke. Aku duduk di sana ya,” kataku.
Aku menunggu Chris di ruang tunggu. Selagi aku menunggu Chris yang sedang mengambil barang, aku mencoba untuk menelfon Michael. Tetapi ia tetap tidak mengangkat telfonku.
“Michelle, udah nih. Ayo pulang,” ajak Chris seraya mendorong troli.
Aku langsung beranjak dari tempat duduk dan ikut bersama Chris ke dalam mobilnya.
Aku akan diantar ke rumah ibuku oleh Chris, aku ingin memberikan kejutan kepada ibu.
“Kamu bisa tau rumah mom dari mana Chris?” tanyaku penasaran.
“Kan mom nikah sama om aku, masa aku gak tau rumah mereka.”
Aku menghela nafas dan melirik Chris, “ya mungkin aja kamu gak tau, aku sendiri gak tau rumah mom dimana.”
Chris membelai kepalaku, “aku selalu berharap hubungan kamu dan mom akan baik – baik saja.”
Aku menyentuh tangannya yang sedang memegang perseneling, kemudian aku menatap matanya serentak dengan ia yang juga menatapku. Chris memberhentikan mobil seiring dengan lampu lalu lintas yang berubah menjadi warna merah.
Chris memegang pipiku dengan lembut, ia mendekati wajahku. Sekarang hanya 4 centimeter jarak antara wajah kami, ia mencium bibirku sesaat aku memejamkan kedua mataku.
Entah setan apa yang merasukiku, aku tau aku tidak bisa melakukan ini tetapi cintaku pada Chris lebih besar ketimbang rasa cintaku kepada Michael. Walaupun aku sedang mengandung anak dari Michael, itu tidak membuatku bisa memiliki rasa yang besar kepadanya.
Aku membuka mataku saat Chris selesai menciumku, Chris menghela nafas dengan cukup berat, “aku minta maaf, gak seharusnya aku mencium kamu.”
Aku memalingkan wajah, “aku juga minta maaf, entah kenapa aku gak bisa nolak kamu.”
Chris memelukku dari samping, “aku gak bisa untuk ngelawan rasa cinta aku sama kamu, meskipun aku tau bahwa kamu sedang hamil anak dari sahabatku.”
“Oh Chris, aku juga gak bisa untuk bohongin diri aku sendiri kalau aku memiliki rasa yang lebih besar sama kamu,” ucapku. Air mataku mengalir, aku tidak kuasa menahan gejolak di dadaku. Aku mencintai laki – laki di hadapanku ini.
Tiba – tiba klakson mobil mengejutkanku, tanpa disadari kami terbawa suasana haru sampai lupa akan hal yang nyata. Dengan segera Chris menancapkan gas dan langsung menjalankan mobilnya.
Akhirnya kami sampai di rumah ibu, rumah yang mewah dengan 3 lantai berlapis warna putih terletak di pinggir jalan pusat kota New York. Model rumah khas New York sama seperti rumahku dulu tetapi rumah ibu sekarang jauh lebih mewah.
Aku dan Chris berjalan dan menaiki tangga, “gimana kalau kamu antar aku aja ke hotel, aku ragu untuk tinggal dengan mom.”
Chris merangkul bahuku, “ini kan cuma sementara aja, paling hanya beberapa hari aja sampai kamu dapet apartment yang terjangkau.”
Aku menghela nafas dengan berat, “iya memang cuma sementara, tapi mom aja gak mau ketemu sama aku.”
“Itu kan mom, kamu gak boleh untuk membalas dia. Kamu harus coba dulu untuk mulai hubungan baik dengan mom.”
“Oke,” aku mengambil nafas sebelum akhirnya aku memencet bel.
Tidak lama kemudian ibu membuka pintu depan, ia membelalak ketika melihatku berada di hadapannya, “Michelle? Ngapain kamu di sini?”
“Untuk bertemu mom, boleh kan?” aku membalikkan pertanyaan.
“Tentu boleh dong, ayo silahkan masuk kalian berdua.”
Aku dan Chris masuk setelah ibu mempersilahkan kami masuk ke dalam rumahnya.
Rumah ibu tampak lebih mewah ketimbang rumah kami dulu, terdapat patung – patung dan pajangan antik yang kelihatannya bernilai tinggi, serta sofa yang besar berwarna cream yang sangat nyaman untuk diduduki.
“Ada acara apa ya kalian datang ke sini?” tanya ibu.
Pertanyaan yang dilontarkan oleh ibu membuatku terkejut. Ia sama sekali terlihat tidak bahagia dengan kehadiranku.
“Untuk tinggal dengan mom sementara waktu,” jawabku.
“Oh, berapa hari?”
“Hmm, paling satu atau dua minggu. Aku mau mencari apartment di sini,” balasku.
Ekspresi wajah ibu mudah dibaca, ia tampak tidak nyaman dengan keberadaanku sekarang, “ada yang ingin mom bicarakan.”
“Apa itu mom?”
“Sebenarnya kamu bukan anak kandung mom,” jawab ibu dengan suara yang berat.
Aku terkejut bukan main mendengar perkataannya tersebut. Masalahku belum selesai, sekarang ditambah lagi dengan informasi yang tidak mengenakkan untuk aku ketahui.
“Apa? Mom bercanda ya?” tanyaku.
Aku memajukkan tubuhku, seluruh badanku bergemetar. Chris menggenggam tanganku untuk menenangkanku.
“Iya Michelle, kamu bukan anak mom,” balas ibu.
“Kenapa baru kasih tau aku sekarang mom?”
Ibu hendak mendekatiku, tetapi aku langsung bangkit dari sofa dan menjauh darinya, “ternyata ini jawabannya kenapa mom selalu menghindar dari aku sejak mom nikah,” lanjutku.
“Michelle, bisa mom jelaskan dulu,” kata ibu seraya memegang lenganku.
Aku menarik tanganku, “cukup mom, cukup.”