Kebenaran yang sebenarnya

1136 Words
Aku berjalan cepat keluar dari rumah ibu, aku sudah tidak sanggup melihat wajahnya yang begitu baik tetapi menyimpan seribu kebohongan, “Sudahlah mom, I don’t wanna talk to you anymore.” Ibu mengejarku, ia berusaha menarik tanganku lagi, Aku membalikkan badan dan menatap tajam mata ibu, “ibu bisa jelasin semua ini ke kamu, kamu yang sabar dong,” ucap ibu. “Mom, sudah cukup ya. Kalau memang kemauan mom untuk gak berhubungan dengan aku lagi, oke aku turutin kemauan mom,” kataku, lalu aku lanjut berjalan masuk ke dalam mobil. Chris mengikutiku dan masuk ke dalam mobil, ia menatapku sekilas. “Chris ayo pergi dari ini,” ajakku. Chris menancapkan gas dan menjalankan mobilnya menjauh dari rumah ibu. Aku terisak, air mata mengalir membasahi pipiku. Aku menyandarkan kepalaku di bangku seraya menatap keluar jendela. Chris mengelus kepalaku. Aku langsung memelukknya erat, menyandarkan kepalaku di d**a bidangnya. Aku menangis sekencang – kencangnya, dan itu membuat Chris meminggirkan mobilnya. Ia mengangkan kepalaku, “nangislah kalau memang kamu ingin menangis, aku akan selalu ada buat kamu.” Lalu ia mendaratkan kecupan di keningku. “Chris, aku gak mau lagi ketemu dengan mom,” kataku kepada Chris. Chris membelai kepalaku, “iya, gak apa – apa kalau saat ini kamu belum mau untuk ketemu dengan mom. Tenangkan diri kamu dulu, jangan pikir yang macam – macam. Kamu harus mementingkan kehamilan kamu dulu.” “Aku gak mau anak ini lagi,” ucapku. Ketika aku hendak memukul perutku Chris langsung menahan tanganku. “Jangan kamu benci sama calon bayi yang gak bersalah ini Michelle,” larang Chris. Aku kembali menundukkan kepalaku, aku menutup wajahku karena aku merasa malu pada diriku sendiri. Aku merasa diriku hina dan beban bagi semua orang termasuk bagi Michael dan Chris. “Antar aku aja ke hotel,” pintaku dengan nada suara pelan. “Kamu yakin mau sendirian di hotel? kamu gak mau di rumah aku dulu?” Aku menggelengkan kepala, “gak usah Chris, aku bisa sendirian kok.” Chris mengangguk, “oke kalau gitu, aku antar kamu ke hotel.” Aku menolak ajakan Chris untuk menginap di rumahnya karena aku tidak mau bergantung kepadanya lagi. Chris memarkirkan mobilnya di depan sebuah hotel. Hotel yang tidak terlalu buruk dengan harga terjangkau. Kami berdua masuk ke dalam dan melakukan check – in. “1 kamar ya,” ucapku. Seorang resepsionis wanita langsung mengambilkan kunci kamar untukku, “untuk berapa hari?” “3 hari aja,” jawabku singkat. “Baik, di kamar 14 ya. Silahkan.” Aku dan Chris berjalan menyusuri lorong hotel, kemudian kami masuk ke dalam kamar. Kamar hotel ini lumayan bagus untukku. Tempat tidur yang cukup besar dengan lemari dan ac yang dingin. “Kamu yakin mau sendirian di sini?” tanya Chris dengan ekspresi wajah khawatir. Aku tersenyum untuk menenangkan kecemasannya, “aku yakin 100 persen.” Chris duduk di sofa, lalu ia menatapku dengan tatapan ragu, “gimana kalau aku temani kamu di sini?” Aku memiringkan kepala, “kamu yakin?” Chris menegakkan badannya, lalu ia duduk mencondong ke depan dengan kedua tangan bertopang di lututnya, “aku yakin.” “Aku bisa sendirian kok, aku gak lemah.” Chris tegak dan memelukku erat, “aku tau kamu adalah perempuan kuat, tapi biarkan aku untuk menemani kamu.” Aku terlena dengan kenyamanan yang ia berikan kepadaku, “oke. Kalau kamu betah tinggal di hotel senderhana ini, apa boleh buat.” Chris langsung bersemangat, ia melepaskan pelukkannya dan tersenyum lebar, “kalau gitu, gimana kalau kamu mandi dulu dan istirahat. Aku akan ambil barang – barang aku dan kembali lagi ke sini.” “Tapi ingat ya, aku gak ada maksa kamu untuk menemani aku di sini,” balasku. “Iya Michelle,” jawab Chris, lalu ia keluar dari kamar dan pergi untuk mengambil barang – barangnya. Selagi menunggu Chris, aku membersihkan badan dan menukar pakaianku. Aku melihat pantulan diriku di cemin seraya mengusap rambutku yang basah dengan handuk. Tidak lama kemudian Michael menelfonku, “Halo.” “Halo, kamu kemana aja Michael?” tanyaku dengan perasaan cemas. “Maaf aku gak ngasih kabar ke kamu kalau aku balik ke New York.” jawabnya. “Gak apa – apa kok.” “Gimana keadaan kamu? Apa baik – baik aja?” tanya Michael yang terdengar khawatir. “Aku baik – baik aja kok. Ada Chris juga di sini.” Jawabku. “Baguslah kalau gitu, aku yakin Chris akan menjaga kamu.” “Iya, lagian aku bisa kok untuk menjaga dirku sendiri,” kataku. “Hmm, kalau gitu nanti aku telfon lagi ya.” Ucap Michael, lalu ia langsung menutup telfon tanpa menungguku untuk membalas pembicaraannya. Aku menghela nafas saat Michael menutup telfon. Tidak biasanya ia seperti ini, Aku yakin kalau Michael sedang menyimpan sesuatu dariku. Tiba – tiba perutku terasa lapar, aku keluar dari hotel dan pergi ke restoran terdekat. Salah satu restoran cina menarik perhatianku, aku memasuki tempat makan tersebut dan memesan makanan. Tanpa diduga – duga, Michael menghampiriku dan duduk di depanku, “Michelle,” sapa Michael. Aku mendelik, “Michael?” Michael tersenyum tipis kepadaku, “aku kangen kamu.” Aku terdiam sejenak mendengar perkataannya tersebut. Aku heran dengan Michael, kenapa ia tiba – tiba datang menghampiriku dan mengatakan bahwa ia merindukanku padahal beberapa hari terakhir ia sulit untuk dihubungi. “Maaf karena aku gak angkat telfon kamu kemarin, ada urusan penting yang harus aku tangani,” sambungnya. “Kamu kok bisa ada di sini juga?” tanyaku kebingungan. “Tadi aku lagi lewat sini dan aku lihat kamu jalan masuk ke restoran ini. Jadi aku memutuskan untuk menghampiri kamu,” jawab Michael. Aku diam sejenak, lalu aku memakan makanan yang aku pesan. Entah kenapa aku merasa malas untuk berbicara dengan Michael. Michael memperhatikan aku yang sedang menyantap makanan, kemudian ia memegang tangan kiriku, “kamu marah ya sama aku?” “Enggak kok. Kenapa harus marah?” aku membalikkan pertanyaan kepada Michael. “Kamu boleh marah sama aku karena udah menghilang beberapa hari lalu, tapi tolong jangan diam seperti ini,” ucap Michael dengan nada sendu. Aku meletakkan sendok dan garpu di piring makanku, aku menatapnya tajam, “aku sekarang sedang hamil anak kamu, kenapa kamu hilang gitu aja?” “Aku kan udah bilang tadi, aku ada urusan mendadak di sini,” “Urusan apa? Aku yakin orang tua kamu maksa untuk kamu pulang ke sini kan?” tanyaku. Michael menghela nafas pelan dan menyandarkan badannya di bangku, “iya, kamu benar. Mereka meminta aku untuk tidak bertemu dengan kamu lagi.” Aku mengangguk dan tersenyum sarkas, “aku sudah tau itu, jadi kamu mau menelantarkan anak ini?” tanyaku seraya menunjuk ke arah perutku yang sudah mulai membuncit. “Bukan gitu, aku gak akan menelantarkan anak kita yang ada di kandungan kamu. Aku juga gak akan pergi gitu aja dari kamu Michelle,” jelas Michael.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD