Beberapa hari aku lewati bersama Chris, cinta yang aku rasakan semakin besar. Aku semakin yakin untuk memilih Chris untuk menjadi cinta terakhirku.
Chris membantuku sedari pagi buta, pagi ini aku berseliweran ke kamar mandi karena hari ini aku merasa tidak enak badan. Selama berjam – jam aku merasa mual, aku hampir tidak bisa memakan sarapan pagiku.
“Kamu harus minum teh hangat dulu,” ucap Chris seraya memegang segelas teh hangat.
Aku menegakkan badanku dan menyandar di tempat tidur, aku mengambil segelas teh hangat tersebut dari tangan Michael, “thanks ya.”
Chris duduk di sampingku, ia memperhatikanku meneguk teh hangat yang ia buat untukku, itu membuatku dilanda rasa gugup, “kenapa kamu ngeliatin aku gitu?”
Chris tersenyum seraya menunduk, “gak apa – apa kok.”
Sorotan mata Chris memancarkan cahaya cinta, matanya yang agak sipit dan alisnya yang tebal mempertegas tatapannya membuat jantungku berdegub kencang.
“Kok aku tiba – tiba mau makan strawberry ya?” ujarku.
“Oh ya? Kamu lagi ngidam strawberry ya, ayo deh kita beli strawberry dulu sebelum ke apartment baru kamu,” balasnya, lalu ia menyusun koper – koperku di dekat pintu keluar. Kemudian Chris memegang lenganku untuk membantuku beranjak dari tempat tidur.
Aku mengenakan baju yang paling nyaman hari ini, aku hanya memakai dress casual bermotif bunga. Aku sudah tidak betah memakai celana jeans, karena membuatku sesak.
“Lokasi rumah kamu udah dishare loc kan tadi sama agentnya?” tanya Chris.
“Sudah kok,” jawabku singkat.
Aku dan Chris berjalan keluar dari kamar hotelku, ia berjalan pelan seraya memegang lenganku dan di tangan kirinya ia membawa koperku.
Aku dibuat salah fokus dengan perhatian yang Chris berikan sampai – sampai aku tersandung dengan kakiku sendiri.
Chris dengan cekatan menahan bahuku agar aku tidak terjatuh, “hati – hati dong kalau jalan.”
“maaf, aku gak fokus,” ucapku.
“Kamu harus lebih hati – hati sekarang, karena kamu udah membawa sesuatu yang berharga di dalam diri kamu.”
Aku mengangguk, “iya.”
Setelah kami Check – out dari hotel, aku dan Chris langsung menuju ke rumah yang berlokasi di center of Manhattan. Rumah yang aku beli dari uang tabunganku, di sana aku akan memulai hidup baru bersama calon anakku. Untuk kali ini aku tidak akan membebankan Chris dan Michael untuk menjalankan hidup baruku.
Sesampainya di apartment aku disambut ramah dengan agent real estate yang sudah aku temui sebelumnya, “hai selamat siang Michelle dan Chris, ketemu lagi ya kita.”
“Siang mbak,” sapaku.
“Ayo silahkan masuk,” agent real estate itu mempersilahkan kami masuk ke dalam rumah yang berbentuk seperti ruko khas New York.
Di rumah ini terdapat 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi di dalam kamarnya. Rumah yang cocok untuk keluarga kecil seperti aku dan anakku kelak.
House tour kami dimulai dari ruang keluarga yang terletak di sebelah kanan pintu depan. Terdapat tv lcd dan perabotan seperti sofa, nakas, coffee table yang sudah aku beli bersamaan dengan rumah ini.
Salah satu perabotan yang menarik perhatianku adalah sofa panjang yang berwarna putih dengan 3 bantal bermotif abstrak yang berada di atasnya. Aku menduduki sofa tersebut, rasa nyaman yang aku rasakan membuatku tidak menyesal merogoh kocek dalam untuk rumah ini.
Chris ikut mencoba sofa ini dan duduk di sampingku, “sofa ini nyaman banget.”
Aku tersenyum seraya melihat perabotan di sekitarku, “iya aku senang banget sih.”
“Ayo kita lanjut melihat ke dapurnya,” ajak sang real estate agent.
Kami berjalan menuju dapur melewati lorong yang pendek yang dihiasi lukisan gadis kecil.
“Karena kemarin kalian sudah melihat rumah ini tapi belum tau dengan furniture yang kami letakkan di sini, jadi apakah kalian suka?” tanya wanita berjas abu – abu itu.
“Aku suka furniturenya, cocok kok.” Jawabku.
Dapur yang berukuran luas menjadi tambah mewah dengan kitchen set berlapiskan marmer putih. Kitchen set ini mengingatkanku pada rumah yang aku tempati dengan Michael di Huntington Beach.
“Kok melamun?” tanya Chris membuyarkan bayanganku akan rumah Michael.
Aku menggelengkan kepala, “ha? Enggak melamun kok.”
Setelah kami selesai melihat – lihat furniture, akhirnya wanita real estate agent tersebut memberiku kunci rumah dan beberapa dokumen rumah ini sebelum akhirnya ia pergi.
Chris meletakkan koper – koperku di kamar utama yang terletak di lantai 2, sedangkan aku duduk di sofa ruang keluarga seraya memakan strawberry yang aku beli tadi.
“Koper kamu udah aku letakkan di kamar utama ya, jadi abis ini kita ngapain?” tanya Chris seraya duduk di sampingku.
“Hmm, gimana kalau kita pesan pizza with extra cheese?” ujarku dengan nada semangat.
“Kamu mau pizza? Gak mau yang lain?”
“Aku cuma mau makan pizza,” jawabku seraya cemberut.
Chris mengelus kepalaku, “oke, aku pesan pizza untuk kita.” Lalu ia mengeluarkan hpnya dari saku celana.
Selagi aku menunggu pizza pesanan kami datang, aku mengecheck media sosialku. Michael mengirimkanku 10 pesan chat, ia bertanya tentang keberadaanku. Aku membalas pesannya dan mengirimkan lokasi rumah baruku.
“Siapa? Michael ya?” tanya Chris tampak penasaran.
“Iya, dia nanya aku ada dimana.”
Chris menyentuh perutku yang sudah membuncit sedikit, ia mengelus – elus dengan penuh kasih sayang layaknya anak sendiri, “aku udah gak sabar untuk ketemu dia.”
“Aku juga,”
“Pasti bakalan cantik kayak maminya,” Chris menatapku dan memberikan senyuman manis kepadaku.
Tidak perlu memakan waktu lama untuk pizza pesananku datang, aku langsung bersemangat dan menghabiskan pizza tersebut sampai 4 potongan besar.
“Sejak kamu hamil nafsu makan kamu meningkat ya,” ujar Chris seraya melahap pizza.
“Iya, makanya aku jadi takut gemuk.”
Chris menggeser duduknya sehingga hanya beberapa cm saja jarak di antara kami, “mau kamu gemuk, kurus atau apalah kamu itu tetap cantik.”
“Makasih ya, kamu muji aku terus.”
“Karena kamu memang pantas untuk dipuji,” balas Chris. Kemudian ia mendekatkan wajahnya kepadaku, namun ciuman yang hendak aku berikan kepadanya tertunda akibat bel pintu depan yang berbunyi.
“Biar aku buka,” kata Chris, lalu ia berjalan dan membuka pintu.
“Oh, hai Chris,” sapa Michael.
Aku langsung menoleh ke arah pintu depan dan menghampiri Michael yang baru saja sampai di rumah baruku.
“Michael, kamu ke sini ya,” kataku.
“Iya, aku gak tau kalau kamu dengan Chris.” Ucap Michael.
“Eh, ngomong – ngomong aku bawakan sesuatu buat kamu,” timpal Michael, lalu ia memberiku satu kotak cheese cake kesukaanku.
Aku mengambil cheese cake tersebut, “wah, makasih ya. Ayo masuk ke dalam.”
“Oke,” balas Michael singkat, lalu ia melangkahkan kaki ke dalam rumahku.