Giska kembali ke kamar Raia setelah Kiki pergi, melakukan hal yang mereka suka sampai mereka mendengar panggilan dari ibu Raia.
"Kapan orangtua kamu pulang?" Tanya ayah Raia saat Raia dan Giska berada di dapur dan membantu ibu Raia untuk menyiapkan makan malam. Atau lebih tepatnya membuat kericuhan karena ibu Raia jelas tak membutuhkan bantuan keduanya untuk memasak sebab sudah ada asisten rumah tangga yang bekerja.
"Gak tau juga, Om. Katanya Papa masih ada kerjaan disana, jadi gak tahu kapan bisa pulang." Jawab Giska apa adanya.
"Trus, sekarang kamu berdua aja sama Andra?" Tanya ibu Raia ingin tahu.
"Berdua aja udah cukup, Tan. Sama mas Andra itu serasa tinggal sama lima orang di rumah. Cerewetnya itu, udah ngalahin emak-emak komplek." Jawabnya dengan ekspresi kesal yang ditanggapi dengan tawa keluarga Raia, termasuk Sandy.
"Kakak loe itu kelihatannya aja kalem, padahal.."
"Ngeselin?" Giska memotong ucapan Raia. "Gak usah malu-malu. Emang gitu dia mah orangnya." Jawab Giska ketus.
"Jadi dia masih begitu aja? Kirain dah berubah." Jawab Sandy begitu saja.
Giska memandang kakak sahabatnya itu dan menganggukkan kepala. "Dia itu diemnya kalo ada cewek yang dia suka doang." Jawab Giska yang membuat Sandy tiba-tiba tertawa terbahak. Seolah mengingat sebuah momen yang lucu.
Mereka terus berbincang dan setelahnya makam malam bersama. Giska mengatakan dia merasa menyesal karena membiarkan kakaknya sendirian. Tapi setelah dia ingat lagi, kakaknya tidak berada di rumah, jadi rasa bersalahnya berkurang.
"Kalo gitu sekarang kamu di rumah sendirian?" tanya ibu Raia lagi. Giska menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Nginep disini aja kalo gitu." Tawarnya namun Giska menggelengkan kepala.
"Gak ah, Tan. Bosen tidur sama Raia. Dia itu tidurnya..." Giska melirik Raia dan Raia melirik sahabatnya dengan pelototan di matanya yang membuat Giska balas tersenyum sinis. "Gue ambil tas dulu." Giska menepuk paha sahabatnya dan tanpa permisi lagi naik ke lantai atas menuju kamar Raia untuk mengambil barang-barangnya.
"Loe mau balik sekarang?" Tanya Raia dengan suara lantang. Giska menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tak lama setelahnya ia kembali turun dengan tas yang tadi ia kenakan. "Loe balik naik apa?"
"Gue pesen ojek online aja." Jawab Giska santai seraya membuka aplikasi di ponselnya.
"Ojek?!" Serempak orangtua Raia memandangnya heran. Giska memandang keduanya bergantian dan menganggukkan kepala. "Kenapa ojek, Ka? Kenapa gak taksi?" Tanya ibu Raia heran.
Giska terkekeh dan menggaruk belakang telinganya. "Irit, Tan." Jawabnya malu-malu.
"Udah-udah. Sandy aja yang anterin kamu." Ucap ayahnya Raia menentang. "Malu Om nanti sama Papa kamu kalo biarin anak gadis satu-satunya pulang ke rumah naik taksi." Decih ayah Raia sedikit kesal.
"Lah, kayak papanya Giska punya CCTV aja. Papa gak bakal tahu Giska pulang darimana pake apa. Pulang naik odong-odong juga gak bakal dipermasalihn, Om." Jawab Giska menolak. Namun ayah Raia bersikukuh supaya Giska pulang dengan diantar Sandy. Giska sendiri memandang Sandy karena takut pria itu marah atas keputusan sepihak yang dilakukan ayahnya. Tapi pria itu terlihat sudah siap dengan kunci mobil di tangannya.
Giska mengedikkan bahu. Menyalami orangtua Raia dan kemudian mengikuti Sandy menuju parkiran.
Canggung. Itulah yang Giska rasakan saat berduaan dengan Sandy.
Giska memang bisa dikategorikan sebagai orang yang supel, tapi dia biasa bersikap seperti itu pada orang-orang yang ia kenal setelah beberapa kali pertemuan dan perbincangan intens. Dan bersama Sandy, meskipun ia sudah beberapa kali bertemu, mereka tidak pernah ada pembicaraan intens yang membuat mereka bisa menjadi dekat satu sama lain.
Mereka tidak memiliki latar belakang yang sama. Usia mereka juga katakanlah cukup jauh. Ibarat jama, mereka terlahir di generasi yang berbeda. Karena itulah, Giska merasa tidak punya bahan pembicaraan. Sehingga di perjalanan ia memilih untuk diam. Sampai kemudian pria itu yang lebih dulu bersuara.
"Andra apa kabarnya?" Tanyanya dengan nada datar dan lembut.
Giska berusaha untuk menghilangkan kecanggungannya dan menjawab. "Baik. Sangat baik kayaknya." Jawab Giska ambigu. Sandy menoleh dan memandangnya dengan senyum geli.
"Dia udah punya pacar?" Tanya Sandy lagi ingin tahu.
Giska mengedikkan bahu. "Kayaknya sih, lagi masanya." Jawabnya lagi ambigu.
"Masanya apa?" Tanya Sandy bingung.
"Masanya gak laku." Jawab Giska seraya terkekeh sendiri. Sandy entah bagaimana ikut terkekeh.
"Dia? Jomlo?" Tanyanya tak percaya yang dijawab Giska dengan anggukkan. "Tumben, biasanya dia gak pernah sampe kosong kayak gitu." Ucapnya heran yang lagi-lagi Giska jawab dengan kedikan bahunya.
"Mas Andra lagi sibuk sama pekerjaan barunya."
"Hmm.. dia udah mulai ngurusin perusahaan papa kamu?" Tanya Sandy lagi yang kembali dijawab anggukkan Giska.
"Belum sepenuhnya ambil kontrol. Masih dalam pengawasan Papa." Jawab Giska yang lagi-lagi ditanggapi anggukkan Sandy.
Keheningan kembali terjadi selama beberapa menit. Sampai kembali, Sandy membuka percakapan.
"Raia, dia udah punya pacar?" Tanya Sandy ingin tahu.
Giska melirik Sandy dengan mata menyipit curiga. "Kepo atau lagi cari mata-mata?" Tanyanya menuduh.
Sandy terbelalak dan kemudian pria itu tergelak tawa. "Cuma mau tahu aja." Jawab Sandy dengan santai.
"Kalo Cuma mau tahu, Giska jawab dia udah punya pacar. Tapi kalo Abang nyuruh aku buat mau mata-matain dia, aku gak mau." Tolak Giska ketus yang membuat Sandy kembali terkekeh.
"Enggak. Abang Cuma mau tahu aja. Kalo kamu mau ngasih info tambahan ya gak apa-apa. Abang terima." Jawab pria itu dengan nada membujuk yang membuat Giska memutar bola matanya. "Nama cowoknya siapa?"
"Rommy." Jawab Giska datar. "Dia senior kami, semester tujuh sekarang." Jawabnya lagi yang lagi-lagi ditanggapi Sandy dengan anggukkan kepala.
"Kalo Kiki?"
'Ahh... ini tujuan utama pertanyaan basa-basi itu.' Ucap Giska dalam hati. 'Siapa sih yang gak mau tau tentang Kiki?' ketusnya dalam hati. Entah kenapa, Giska merasa kesal begitu saja. Padahal biasanya ia tidak seperti ini. "Kiki, kalo pacarnya siapa aku gak tahu." Ucap Giska jujur yang dihadiahi Sandy dengan tatapan tak percaya. "Tapi kalo yang suka sama dia banya." Lanjutnya untuk menjawab pertanyaan tak terucap Sandy itu. "Dia itu popular, banyak fansnya."
Sandy lagi-lagi menganggukkan kepala. "Trus, kalo kamu?" Tanyanya lagi seraya melirik Giska dengan ekspresi ingin tahu.
"Aku?" Tanya Giska seraya menunjuk dirinya sendiri. Sandy menganggukkan kepala. "Abang lagi ngeledek aku?" Tanya Giska dengan ekspresi kesal dan nada ketus.
"Kok ngeledek? Abang nanya." Jawab pria itu bingung.
Giska menyipitkan matanya sejenak lalu kemudian memalingkan mukanya. "Jelas Giska rangking tiga kalau disandingkan sama Kiki dan Raia." Jawabnya dengan lirih.
"Maksudnya?" Tanya Sandy bingung.
"Ya maksudnya, pilihan pertama itu Kiki. Setelah itu Raia. Baru setelahnya aku." Jawab Giska dengan nada kesal. Ia seperti gadis labil yang merasa cemburu pada sahabatnya sendiri, padahal sahabatnya tidak melakukan apa-apa. "Kiki gak punya pacar, tapi dia popular. Raia itu imut-imut dan sayangnya dia udah punya Rommy. Sementara aku? Aku gak popular, gak juga cantik. Jadi ya..."
Sandy hanya memandang gadis itu dengan ekspresi yang sulit diartikan. Rasa-rasanya, keluhan itu pernah Sandy dengar di kupingnya, tapi... Sandy menggelengkan kepalanya.
Mereka sampai di depan gerbang rumah Giska. Giska melepas sabuk pengamannya dan menghadap Sandy sementara tangan kirinya sudah memegang pintu.
"Aku gak nawarin Abang masuk ya. Soalnya Mas Andra lagi gak ada dan ini udah malam juga." Ucapnya yang dijawab Sandy dengan anggukkan. Giska kemudian tersenyum, dengan sangat manis yang membuat jantung Sandy tiba-tiba berdetak kencang begitu saja. Kata 'Cantik' bergaung dalam kepalanya dengan sangat keras. Dan Sandy bisa kembali sadar dari keterpukauannya setelah pintu mobil kembali ditutup.