Giska menekan bel rumah Raia untuk yang kedua kalinya dengan tak sabar. Ini hari minggu dan Raia memintanya untuk main ke rumahnya. Padahal Giska sudah mengatakan kalau dia tidak mau pergi kemana-mana. Tapi dengan segala bujuk rayunya, akhirnya Giska memutuskan juga untuk pergi ke kediaman sahabatnya itu karena ia tidak mau di rumah sendirian.
Ya, orangtuanya baru saja pergi ke Singapore karena urusan bisnis. Sementara kakaknya pergi ke Bandung untuk urusan kampus. Jadi tinggallah Giska di rumah sendirian.
Giska kembali menekan bel pintu dan beruntungnya seseorang membukanya dari dalam. Itu adalah Sandy. Terlihat segar dengan rambut basah sehabis keramas, mengenakan kaus lengan pendek dan celana olahraga pendek.
"Hai!" Sapa Sandy dengan ramah. Dalam hatinya, pria itu berpikir kalau Giska akan bersikap ketus seperti kali pertama mereka bertemu tempo lalu. Tapi...
"Hai juga, Bang." Sapanya dengan senyum super manis—yang sebenarnya karena kesal sebab lama pintu tidak dibuka—yang membuat Sandy hampir saja melongo di tempatnya.
Cantik. Bisikan itu masuk ke kepala Sandy begitu saja saat melihat senyum yang gadis itu berikan padanya untuk pertama kalinya.
"Raia ada?" Tanya Giska karena Sandy tidak juga menggeser tubuhnya dari ambang pintu.
"A-ada. Masuk aja. Dia di kamar, udah ada Kiki juga kok." Ucap pria itu seraya menggeser tubuhnya dan membiarkan Giska masuk begitu saja.
'Kiki, ada disini?' Pertanyaan itu hanya ada dalam kepala Giska. Pasalnya, selama ini sangat sulit untuk mengajak Kiki bermain ke rumah Raia, apalagi jika itu hari minggu. Kiki orang yang super sibuk. Jika dia tidak berada di butik ibunya di akhir pekan, maka gadis itu akan pergi berkencan dengan entah berapa banyak teman kencannya yang selalu saja silih berganti.
"Om sama Tante kemana, Bang?" Tanyanya ingin tahu. Biasanya ibu Raia itu tidak pernah tidak ada di rumah saat akhir pekan. Ibu sahabatnya itu adalah wanita penganut family time. Jadi jika semua keluarga bisa berkumpul, dia tidak mau ada acara lain diluar.
"Mama sama Papa lagi belanja ke supermarket." Jawab Sandy seraya kembali menutup pintu. Giska hanya menganggukkan kepala dan setelah ijin—sebagai sopan santun pada Sandy si pemilik rumah—ia melangkah naik menuju tangga yang akan membawanya ke kamar Raia.
Tanpa mengetuk pintu, Giska membuka pintu kamar Raia dan ia cukup shock kala melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Raia tengah berbaring sambil memandangi majalah dengan telinga ditutup headset sementara Kiki tengah bermain ponsel di sofa panjang yang ada di dekat jendela kamar Raia.
"Loe pada, gak denger kalo gue mencet bel berkali-kali?!" Tegurnya seraya menarik headset dari telinga Raia yang membuat gadis itu terbelalak seketika seolah Giska adalah penampakan setan.
"Loe dateng?" Tanya gadis itu pura-pura terkejut.
"Loe sengaja ya bikin gue kesel? Pake gak bukain pintu segala?" Tuduh Giska lagi kesal.
"Yaelah, loe kayak siapa aja. Biasanya juga kan nyelonong boy gak pake ketok-ketok atau pencet bel segala. Satpam di depan gak bakalan buka pintu gitu aja kalo dia gak kenal siapa orang yang masuk." Ucap Raia lagi.
Dan memang biasanya Giska cukup mengetuk pintu sekali, mengucap salam dan masuk ke rumah begitu saja seolah dia adalah bagian dari keluarga Raia. Tapi posisi sekarang sudah berbeda, karena ada Sandy disana. Giska tidak mau dianggap orang yang tidak beretika.
Mengalihkan pembicaraan pada masalah bel, Giska menatap sahabatnya yang lain. "Tumben loe minggu gak sibuk?" Tanyanya yang kini sudah melepas tas selempangnya dan bersila di atas tempat tidur Raia sambil melirik apa yang sedang Raia baca.
"Dia lagi berantem sama emaknya, jadi gak mau pergi ke butik." Raia bantu menjawab.
Giska melirik sahabatnya dan tak bisa berkata apa-apa. Sudah tidak aneh lagi bagi mereka untuk mendengar Kiki yang bertengkar dengan ibunya. Semenjak orangtua sahabatnya itu bercerai, Kiki tinggal dengan ibunya. Dan setelah ibunya menikah lagi, selalu saja ada masalah diantara mereka berdua. Dan jika Kiki bertengkar dengan ibunya, gadis itu selalu datang ke rumah Giska atau Raia untuk numpang tidur. Dan bahkan bisa sampai berhari-hari. Kiki bilang, dia tidak menyukai ayah tirinya. Dan pergi ke kediaman ayahnya, ia juga tidak bisa karena ayahnya tinggal di luar kota.
Dan hubungan Kiki dengan ibu dan ayah tirinya semakin memburuk kala ibunya memberikannya seorang adik dari pernikahan barunya itu.
Waktu berlalu, tidak banyak yang mereka lakukan di kediaman Raia. Mereka tidak pergi kemanapun karena rasa malas dan 'bokek' menjadi alasan. Alhasil, mereka memilih untuk mencari film yang bisa mereka tonton di televisi.
"Gue balik ya." Ucap Kiki secara tiba-tiba.
Saat Giska dan Raia asyik memperhatikan film, Kiki masih betah duduk di sofa yang ada di dekat jendela. Entah memperhatikan apa. Kiki memang tidak memiliki kegemaran yang sama dengan Giska dan Raia. Gadis itu seolah memiliki dunia yang berbeda yang tak bisa Giska dan Raia masuki. Dan jika orang bertanya kenapa mereka bisa bersahabat dengan banyaknya perbedaan itu, Giska hanya bisa menjawab 'Karena bersahabat tidak berarti kalian harus sama dalam segala hal. Bukankah Indonesia juga memegang prinsip Bhineka Tunggal Ika?'
"Kok balik, bukannya mau nginep?" Tanya Raia pada sahabatnya.
Kiki menggelengkan kepala. "Enggak ah. Gue balik aja. Takut kesorean juga." Jawabnya seraya mengambil tasnya yang ia letakkan di atas meja belajar Raia.
Raia dan Giska mau tak mau ikut berdiri. "Trus loe mau balik pake apa? Pake taksi lagi?" Tanya Raia saat mereka sudah berada di luar kamar dan tengah menuruni tangga.
"Mmm..." Kiki tidak menjawab.
"Ya udah, gue minta Mang Udin buat anterin loe aja ya." Ucap Raia dan tanpa menunggu jawaban Kiki langsung mengeluarkan ponselnya.
Bertepatan dengan itu, Sandy masuk ke dalam rumah. Kaus dan celana yang dikenakan pria itu tampak basah. Giska mengingat kembali saat tadi ia datang ke rumah. "Abang mandi lagi?" Tanyanya dengan ekspresi bingung.
Sandy yang tadinya hendak menuju dapur menghentikan langkahnya dan menatap ke arah tangga dimana Raia, Kiki dan Giska berada. "Eh, enggak. Baru beres nyuci mobil." Ucap pria itu dengan senyum manisnya. "Kalian mau kemana?" Tanyanya ingin tahu, tatapannya mengarah pada Kiki yang tengah memegang erat tas selempangnya. "Kamu mau pulang?"
Kiki meremas tali tasnya semakin erat. Kepalanya mengangguk pelan.
"Mau Abang antar?" Sandy menawarkan.
Namun sebelum Kiki sempat menjawab, Raia berkata. "Dia pulang diantar Mang Udin. Mang Udin udah otw ke depan juga."
Kiki memandang sahabatnya itu dengan tatapan yang jika diartikan 'Biarin gue balik sama Bang Sandy aja.' Namun Raia memilih mengabaikan tatapan itu dan terus menuju pintu yang masih terbuka.
"Tunggu bentar, Mang!" Teriak Raia pada supir keluarganya. Pria berusia lima puluh tahun itu hanya menganggukkan kepala dan menunggu Kiki dengan sabar di samping pintu kemudi.
"Ya udah, gue balik ya." Ucapnya yang dijawab anggukkan Raia dan Giska. Kiki melihat ke bagian dalam rumah, bermaksud untuk mengucap salam perpisahan pada Sandy, tapi pria itu sudah tidak tampak batang hidungnya.