Part 2

1056 Words
“Selamat ya sayang, nilai kamu bagus semua.” Ucap ibunya saat Giska menyerahkan lembar sementara hasil ujiannya. “Gimana, kamu udah nentuin mau lanjut kuliah atau enggaknya?” tanya ibunya lagi yang tampaknya masih mengharapkan Giska merubah keputusannya untuk menunda kuliah. “Belum Ma, Giska belum nentuin.” Jawab Giska dengan lirihnya. “Kenapa gak lanjut kuliah?” Pertanyaan itu muncul dari kakak laki-lakinya—satu-satunya—yang muncul entah darimana dan mengacak rambut Giska seenaknya yang membuat gadis itu melotot marah. “Apaan sih, ini kepala berharga tahu!” ucapnya dengan kesal seraya mengusap kepalanya sendiri dan merapikan rambutnya yang sebenarnya tidak kenapa-kenapa. “Alah, berharga apaan. Kalo berharga mestinya ya dihargain. Berapa? Seribu? Dua ribu? Apa lima ribu?” tantang kakaknya seraya membalik piring dan mengisinya dengan nasi. “Itu kelapa kali, goceng per butir.” Jawab Giska seraya mencebik. “Lagian kenapa gak lanjut kuliah? Nilai kamu anjlok?” tanyanya lagi dengan nada mengejek. Giska mendelik pada kakaknya dan kemudian mengibaskan rambut panjangnya di depan sang kakak seraya mencebik. “Sorry ya, Giska tuh otaknya encer. Jadi nilainya juga bagus. Lewat jalur beasiswa juga bisa kalo emang pengen.” Ucapnya dengan lantang yang membuat kakaknya mencibir seraya memutar bola mata mengejek. “Gak percaya, nih lihat!” Giska meraih kertas yang tadi diletakkan ibunya di di atas meja dan dengan sengaja menempelkannya di wajah Andra—kakaknya. “Isshh, apa-apan sih!” Ucap Andra seraya melepaskan kertas di wajahnya dan melihat nilai adiknya. “Trus kalo nilai loe bagus, kenapa gak mau kuliah?” tanya kakaknya seraya kembali meletakkan kertas di samping sikut ibunya. “Siapa bilang gak mau? Cuma bilang ‘belum mau’.” Ralatnya dengan penuh penekanan. “Iya, terus kenapa belum mau? Memangnya kamu nungguin apa? Nunggu tua baru mau daftar kuliah?” tanya kakaknya lagi dengan nada mengejek. “Emang salah gitu kalo mau istirahatin otak dulu?” ucapnya dengan nada lesu yang membuat ayah, ibu dan kakaknya mengernyit bingung. “Istirahat?” tanya kakaknya yang dijawab Giska dengan anggukkan. “Kalo otaknya istirahat, itu sama aja minta lumpuh Giska!” ucap kakaknya dengan nada mengejek. “Lagian sekarang apa nanti apa bedanya. Makin cepat kuliah, makin cepat lulus makin baik. Kalo kebiasaan istirahat otak, lama-lama malah jadi males. Sekarang istirahat, kuliah tahun depan. iya kalo kuliah kelar di tahun ke empat, kalo jadi mahasiswa abadi?” tanya kakaknya yang dijawab Giska dengan tubuh bergidik ngeri. “Trus abis lulus kuliah, bilangnya mau istirahatin otak dulu sebelum lanjut ke S2 atau kerja. Lah, yang ada keburu tua. Orang lain udah jadi direktur, ini masih jadi karyawan.” Lanjut kakaknya dengan nada mengejek yang membuat Giska cemberut kesal. “Kakak kamu bener.” Ucap ayahnya yang membuat Giska semakin terdiam. “Tak apalah kalo kamu memang mau istirahat dulu. Tapi jangan kelamaan.” Saran ayahnya lagi. “Lagipula kan, masa masuk kuliah masih ada beberapa bulan lagi. Jadi sampai waktu itu, kamu bisa istirahat.” Giska memandang ayahnya dalam diam sebelum kemudian mengangguk. “Oke, Giska mau refreshing, jalan-jalan. Habis itu baru deh Giska lanjut kuliah.” Ucapnya yang dijawab anggukkan tiga orang anggota keluarganya. “Tapi kalo Giska belum puas dan belum siap kuliah tahun ini. jangan dipaksa, ya?” pintanya pada orangtuanya yang hanya dijawab keduanya dengan gelengan kepala bingung. Giska memang anak perempuan mereka satu-satunya, tapi kelakuannya dan kekeraskepalaannya jauh lebih sulit daripada Andra. “Tua sendiri nanti kamu di kampus. Kiki sama Raia udah pada kejar skripsi dan siap kerja, kamu malah ngerengek buat minta ditemenin ke mall.” Ledek kakaknya yang membuat Giska kembali mendelik ke arahnya. Namun ucapan kakaknya itu hampir mirip dengan ucapan Anda padanya tempo lalu. Bagaimana bisa dua orang itu punya pemikiran yang sama? Tanyanya dalam hati. ***** Giska mendudukkan tubuhnya pada bangku taman yang berada di bawah naungan pohon yang rindang. Matahari bersinar sangat terik, namun angin yang membelainya terasa menyejukkan. Ia memilih untuk meluruskan kakinya, sedikit memajukkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya pada punggung kursi dengan kepala berbantal punggung kursi dan mendongak ke langit. Suara gemerisik pelan membuat Giska menoleh dan melihat sosok pria yang berdiri tak jauh dari hadapannya. Tubunya tinggi tegap dengan punggung menghadap matahari dan menghalau cahaya sehingga Giska tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Tangan kanan pria itu terulur, menunggu Giska untuk menyambutnya. “Aku sengaja datang kesini buat jemput kamu.” Dalamnya suara laki-laki itu membuat jantung Giska berdebar kencang tak beraturan. Dia mengenal suara itu, suara yang selama ini sering menemaninya setiap kali ia butuh teman untuk berbincang. “Kamu juga nunggu aku, kan?” tanya pria itu yang hanya Giska jawab dengan kebisuan. “Selama ini, aku selalu berharap bisa ketemu sama kamu. Apa kamu juga begitu?” Giska hanya menganggukkan kepala dan pada akhirnya mengulurkan tangan kanannya untuk menyambut tangan pria itu. Tangan besar dan hangat itu menggenggam tangannya dan menariknya untuk berdiri sehingga kini jarak mereka cukuplah dekat. Giska mengernyit, berusaha memfokuskan pandangannya untuk bisa melihat wajah pria itu. Namun yang masuk ke dalam matanya hanyalah bias cahanya yang meyilaukan. Tangan kanan pria melepas tangan Giska dan terangkat menyentuh sisi wajahnya, mengusap rahang Giska dengan ibu jarinya yang membuat Giska terpana. “Cantik.” Ucap pria itu lirih. “Aku mencintaimu, Gina. Lebih mencintaimu dari apa yang selama ini kamu tahu. Berjanjilah untuk menungguku. Dan berjanjilah bahwa kamu tidak akan pernah lari ketika akhirnya aku menemukanmu.” Tuntut pria itu dengan ambigu. Giska merasakan tenggorokannya teramat kering sehingga ia bahkan tak sanggup mengeluarkan satu patah kata pun. Lidahnya begitu kelu. Saat kemudian laki-laki itu mengangkat wajah Giska dan kembali menangih janjinya, Giska hanya bisa menganggukkan kepalanya pelan menandakan kesanggupannya. Lama setelahnya Giska terbangun. Mimpi apa itu? Tanya Giska dalam hati. Giska bangkit dari tidurnya dan menurunkan kakinya, tepat disaat ia mendengar getaran ponsel lamanya. Anda? Kenapa pria itu muncul dalam mimpinya? Giska meraih ponselnya dan melihat pemberitahuan pesan masuk. Ia menekan tombol buka, dan seperti biasa pesan berisi pertanyaan “Sudah subuh?” ia terima. “Baru bangun. Dan aku mimpiin kamu.” jawab Giska apa adanya. “Iyakah? Mimpi apa?” “Entahlah, kurang jelas. Kamu bilang kamu bakal nemuin aku.” Jawab Giska lagi di pesannya. “Memang.” Jawab pria itu lagi. “Aku bakal balik ke kota kelahiranku gak lama lagi.” Jawab pria itu yang membuat Giska hanya menatap layar abu di depannya dengan shock.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD