Bab 3. With Ruby

2082 Words
Plak! Emerald tertegun, belum menatap lagi. Sadar apa yang dilakukannya, Crystal sangat menyesal dan mencoba memegang tangan Emerald lagi, meski ditepis. “Maaf, Al.” Emerald berlalu karena melihat Morgan sudah tertawa kecil karena aksi tamparan itu. 'Udah dikhianati pacar sendiri, ditampar pula? Bisa bayangin malunya segede apa? Di depan gue, sang adik iparnya Crystal pula tuh. Great!' Morgan tertawa dalam hati. Morgan mengacungkan ibu jarinya untuk Crystal. “Dih, keren banget lo!” Crystal bertampang kesal, lalu pergi saja meninggalkan Morgan. Crystal menampar Emerald. Berita itu sampai juga ke telinga Intan. Belum lagi sembuh luka di hati Emerald akibat pertunangan itu, sekarang malah menambah luka baru. 'Apa si Crystal sadar ngelakuin semua itu? Korslet nih si Crystal!' gumam batin Intan. Lagi, Intan hanya diam di bangku saat melihat di sudut ruangan, Crystal terus meminta maaf pada Emerald. "Al, please maafin gue, ya." “Oh, kali ini maaf untuk apa? Untuk aksi pertunangan lo, atau tamparan kemarin? Hebat, ya. Baru juga dua minggu, tapi cinta lo udah lebay banget sama si cowok tampang Korea itu. Sampai-sampai lo tega nampar gue,” protes Emerald kesal. Crystal tak bisa bicara lagi, sedikit berjinjit dan memeluk bahu Emerald. Dia sadar, amarah begitu besar di dada mantan pacarnya itu. Emerald terdiam sesaat ketika Crystal menangis sesunggukan di pelukannya. Namun, dia tak berniat sama sekali membalasnya. Dia menoleh pada Intan, sahabatnya itu hanya angkat bahu dan mengalihkan pandangannya. "Jangan ganggu gue lagi!" Tangisan penyesalan Crystal takkan semudah itu mengobati luka Emerald. Dia segera melepaskan pelukan Crystal, meninggalkan gadis cantik itu dengan rasa penyesalan menumpuk di hatinya. Lagi, Emerald pergi tanpa memberinya maaf. * Morgan berdiri di pintu kamar Ruby sambil menatap Ruby yang masih sibuk di depan laptopnya. Kakaknya itu sesekali melepas kacamatanya karena terlalu lelah dengan program komputer. 'Nih anak nggak ada progres apa-apa sama si Crystal. Semenjak pertunangan, dia nggak terlalu peduli tentang itu. Jadi untuk apa dia nerima perjodohan itu? Masih gagal move on dari masa lalunya?' pikirnya. Morgan pun masuk ke kamar Ruby dan duduk di tepi kasur. "Lagi sibuk, By?" "Dikit. Ada apa?" tanya Ruby tanpa menoleh pada Morgan. “Si Crystal ... cakep, kan?” “Iya.” Cuma itu jawaban Ruby. “Kenapa lo nggak pedekate sama dia? Jadi, untuk apa tunangan kalau gitu? Tau nggak, Crystal itu termasuk primadona sekolah. Gue aja sempat naksir dia!” Ruby tersenyum, lantas menoleh pada Morgan yang ingin bicara serius. “Trus, kamu nggak jealous?” “Ya nggak, lah. Gue masih ada stok, kok. So, lo belum jawab pertanyaan gue. Kenapa lo mau tunangan sama Crystal?” Ruby bangkit dari duduknya, menatap serius Morgan. “Karena aku nggak mau ingat lagi masa lalu yang sama sekali nggak bisa kuingat itu. Aku cuma mau buat memori baru sebelum memori lama itu kembali.” Ekspresi Ruby sarat akan kepedihan. Tiga tahun belakangan ini, Ruby selalu terlihat seperti ini. Kakaknya itu pun membereskan meja belajarnya usai digunakan. “Kalau suatu saat lo ingat semuanya, apa yang akan terjadi dengan kehidupan lo sekarang? Apa lo akan jadi Ruby yang dulu?” Ruby terhenti. Dia paham betul maksud pertanyaan Morgan, tetapi memang tak ada niat untuk menjawab. "Gue serius tanya sama lo, By. Seandainya itu terjadi ...." Bruk! Morgan terkejut saat Ruby hampir limbung sambil memegangi sisi meja. Laptop yang hendak dimasukkannya ke dalam tas pun harus jatuh ke lantai. "Ruby!" "Arrghh ...." Morgan sangat cemas dan menyanggah punggung Ruby. Kakaknya itu masih menunduk sambil memegang sisi kepalanya. Dahinya mengernyit, alisnya tertaut. "Sakit ...." Morgan pun memapah Ruby ke kasur. Dia meletakkan Ruby yang terlihat menahan sakit sambil meringkuk di kasur. "Tutup mata lo, By. Jangan dipaksa!" perintah Morgan. Morgan segera ke sudut kamar. Ada rak obat di ujung sana. Morgan pun membukanya untuk mengambil plester di antara tumpukan obat lainnya. Morgan melihat Ruby sangat tidak nyaman. Erang sakitnya terdengar begitu keras. Dia mulai mual dan tak sengaja muntah di sisi kasur. "Bibi!!!" Teriakan Morgan memaksa si bibi lari terburu-buru ke dalam kamar. Bibi terkejut melihat kasur Ruby kotor karena muntahannya. "Den Ruby kambuh lagi ini, Den?" cemas si bibi. "Iya. Padahal udah lama enggak, Bi." Morgan pun mendekati Ruby. Dia mengusap sisi dahi Ruby yang penuh keringat. Tak lupa pula plester itu dia rekatkan di balik telinga Ruby. Itu adalah skopolamin. Tak lama, asisten yang lain datang. Morgan pun segera memerintahnya untuk tugas yang lain. "Bikinin bubur sama teh peppermint, Rin. Ruby udah mual gini, pasti dia nanti nggak mau makan." "Baik, Den!" Si bibi tua pun menarik bed cover setelah Morgan membantunya sedikit karena Ruby masih menindihnya yang sedang berbaring. "Apa perlu panggil Tuan, Den?" "Nggak usah. Bibi cuci aja bed cover sama selimutnya. Biar aku yang gantiin bajunya. Jangan sampai papa-mama tau. Nanti mereka cemas." "Den Ruby kenapa bisa sakit lagi?" Morgan menggeleng. Sejak tadi Ruby tak bersuara, hanya pelan-pelan mengatur napas untuk menstabilkan kondisinya sendiri. Morgan merasa kasihan. Dia membantu melepas kemeja kotor Ruby, lalu menyeka keringat di badannya yang masih menempel karena menahan sakit. "Aku nggak tau. Kupikir Ruby pasti maksain diri untuk ingat semuanya. Dokter bilang dia harus jaga-jaga supaya nggak stres, 'kan? Belakangan ini mungkin dia nggak bisa kendalikan diri, makanya bisa kambuh lagi." "Kasihan Den Ruby. Bibi cemas. Padahal setahun belakangan ini udah mulai baik." "Aku nggak tau apa pertunangan ini benar. Tapi ... semua ini jadi mengganggu Ruby yang belakangan ini mulai stabil." "Apa karena Non Crystal?" "Nggak tau, Bi." Morgan begitu perhatian pada Ruby. Dia selesai mengganti kemeja kakaknya yang sedang jatuh tertidur di sampingnya. Usapan perlahan di kepala Ruby menjadi jalan untuk menenangkan Ruby dalam tidurnya. "Semoga lo besok udah baik-baik aja. Gue nggak mau mereka jadi kepikiran lagi." Satu jam kemudian, Ruby terbangun saat ponsel-nya berdering. Ada pesan masuk dari papanya. [Malam minggu ini jangan di rumah aja! Sana main ke rumah Crystal. Papa-mama aja lagi kencan, nih! Jaga rumah selama seminggu ini, ya!] Ruby tersenyum. Saat menoleh, dia melihat Morgan tertidur di sofa. Adiknya itu pasti menjaganya sejak tadi. "Gan!" Morgan terbangun. Dia pun segera duduk dan mendekati Ruby. "Gimana? Lo udah baik-baik aja?" tanya Morgan, cemas. "Udah baikan, kok. Kamu ngapain masih di sini? Sana siap-siap! Nggak ngedate?" "Males, lah! Gue di rumah aja." Ruby tersenyum. Dia menunjukkan layar ponsel-nya pada Morgan. "Papa minta aku ngapel ke rumah Crystal." "Si Crystal itu nggak jahatin lo, 'kan?" Ruby tertawa mendengar kecemasan Morgan. Dia beranjak ke sisi lemari untuk menyiapkan pakaian yang akan dikenakan saat dia menemui Crystal malam nanti. "Nggak, kok. Anaknya baik, ramah, lucu juga." "Kalau cuma karena perintah papa, sebaiknya nggak perlu lo lanjutkan. Lo jadi sakit gini lagi." "Nggak apa-apa. Terlalu lama menghindar juga nggak baik. Aku harus hadapi semuanya, 'kan?" Morgan tak menyahut. Ruby mengambil handuk dari gantungan dan masuk ke toilet. * Malam minggu kelabu. Biasanya jam segini, pasti Crystal sudah jalan dengan Intan atau Emerald. Namun, ini malam minggu ke-3 dia berstatus mantannya Emerald setelah hampir 2 tahun pacaran. Tok! Tok! Pintu kamar diketuk, sepertinya itu si Mama. Crystal membuka pintu dan melihat wajah mamanya. “Di luar ada Prince Charming, loh.” Crystal tersenyum kikuk, pasti Ruby. “Ngapain cowok Korea itu ke sini?” sengit Crystal ikut menjuluki Ruby dengan cowok Korea seperti ucapan Emerald. “Cowok Korea? Dia itu Chinese, Sayang, bukan Korea. Idih, boyband Korea mulu yang dipikirin.” Crystal mengikuti langkah mamanya keluar dari kamar. Dia menghampiri Ruby yang duduk di beranda depan. Kalau tak ingat kebencian akan pertunangan ini, mungkin Crystal sudah terbang ke langit karena bau parfum Ruby begitu membuatnya tenang. Cowok berkulit putih itu semakin tampan saja dengan jaket birunya. “Ngapain lo ke sini? Apa ini terhitung ngapel?” hardik Crystal. Ruby hanya tersenyum, sedikit mengedikkan bahu. “Ngapel nggak, ya? Nggak tau juga. Cuma pengen ketemu kamu aja, ngobrol-ngobrol.” Pria ini sangat unik bagi Crystal. Meski mendapat respon sinis, tetap saja senyuman Ruby semanis Turkish Delight. Tidak. Crystal tak mau terjerat lebih jauh. Masih tunangan, ada kesempatan putus. Itulah yang dipercayainya sekarang. “Ngobrol? Gue nggak mau. Gue juga nggak peduli lo ke sini disuruh bokap lo atau inisiatif lo. Yang jelas, gue nggak mau ada kelanjutan hubungan di antara kita,” tegas Crystal sambil bangkit dari duduknya. Ruby ikut berdiri menantang wajah marah Crystal. Ketika Ruby mendekatinya, Crystal jadi kikuk. Belum lagi dengan wajah Ruby yang sudah dekat sekali dengannya, cuma hitungan 5 cm. Tentu saja melihat dari dekat begitu, dia semakin terpesona. Dia benar-benar sangat menyukai mata Ruby, senyum Ruby, bahkan lesung pipi Ruby. Dia terkejut ketika kedua tangan Ruby berada di pinggulnya. Ruby memintanya untuk duduk kembali. Terpaksa, dia pun duduk dengan sejuta dentuman jantungnya yang sudah dag-dig-dug. “Aku juga nggak terlalu berharap hubungan kita lebih jauh dari ini. Tapi, apa nggak bisa kita cuma berteman, bukan jadi musuh begini?” "Nggak ngerti, gue. Sebenarnya apa yang lo mau dari gue? Berharap gue jatuh cinta sama lo? Berharap gue terima pertunangan ini?" Gadis muda ini selalu membuat Ruby tersenyum saat dia marah. Alisnya yang tertaut, bibir mungilnya yang bergerak karena ocehan, Ruby selalu memperhatikannya. "Apa yang ...." Refleks, Crystal menutup mata saat Ruby mendekati wajahnya. Entah apa maksudnya. Jantung Crystal semakin berdetak kala dia bisa merasakan deru napas Ruby di permukaan wajahnya. Crystal mengintip sesaat. Bukan hendak mencium, Ruby hanya ingin melihat dari dekat saja. "Kenapa kamu tutup mata?" Crystal tersadar. Dia kesal dan mendorong dada Ruby agar menjauh darinya. Wajahnya merah karena malu. "Kamu mikir apa? Berharap aku cium bibir kamu? Ck, kamu bahkan masih anak-anak." Merasa diremehkan, Crystal kesal dan memukuli lengan Ruby. "Anak-anak? Aku ini udah tujuh belas tahun!" "Masih tujuh belas tahun, 'kan? Masih sekolah juga. Aku akan cium kamu kalau kamu berumur 18 tahun." Wajah Crystal merah saat terus digoda Ruby. Tentu saja. Ruby terlihat sangat dewasa dibandingkan Emerald. Bukan hanya tentang gestur, tapi juga bentuk tubuh atletis yang sangat bagus. Tentu saja Emerald sangat tak bisa dibandingkan, hanya bermodal wajah tampan kebaratan saja. Pesona Ruby sangat berbeda, terkesan mature dan berwibawa. Karena canggung, Crystal pun segera mengalihkan pandangannya ke sisi lain. "Bulan depan aku delapan belas tahun," gumamnya. "Kenapa? Maunya sekarang? Walaupun kamu tunanganku, aku juga nggak akan nyium bocah kayak kamu!" "Bocah?! Kamu bilang aku bocah? Udah tau aku masih bocah, ngapain kamu mau-maunya dijodohin sama aku? Bukan aku yang anak-anak. Kamu itu yang udah om-om!" "Aku masih 24 tahun, Crys." "Terserah! Pulang lo sana! Silakan laporan ke bokap lo kalau lo udah selesai nge-date sama gue!" "Oke." Crystal melongo. Ruby benar-benar pergi saat dia mengusirnya. Tanpa lambaian tangan atau senyum, Ruby tak berpaling dan pergi saja melajukan mobilnya. "Aih, seriusan. Itu orang atau zombie, sih? Kadang gue mikir dia nggak punya perasaan dan emosi. Sialan! Guenya yang jadi baper sendiri. Dia sengaja, ya?!" geram Crystal. Crystal segera masuk ke dalam rumahnya, berusaha melupakan insiden di teras yang membuatnya kikuk sesaat. * Keesokan harinya, Crystal semakin uring-uringan. Minggu pagi ini, anak-anak Beverly mau mengajaknya hang out di mall atau di cafe. Yang penting, jauh sejenak dari kepenatan akan hubungan berantakannya dengan Intan dan Emerald yang sudah seperti kapal pecah. Belum lagi tadi malam, Ruby sanggup meruntuhkan pondasi dingin untuk menghalau pesona Ruby. Di depan cermin, dia berdiri sambil berias diri, dengan menggunakan make up tipis natural. “Gue nggak boleh gini terus. Gue harus terus berjuang untuk hubungan gue sama Emerald. Bakalan lebih bagus kalau gue balikan lagi sama dia.” Sesaat, wajah Ruby muncul di benaknya. Insiden semalam seperti hantu yang semalaman tak bisa membuatnya tidur. “Ck, cowok tampang Korea itu, dia kira akan gampang naklukin gue? Pokoknya, gue bakal bikin dia nyesal udah nerima pertunangan ini.” Crystal keluar rumah, menunggu jeep anak Beverly berhenti di pelataran rumahnya. Setelah 15 menit lamanya, jeep itu tak muncul juga. Bolak-balik dia mengutak-atik ponsel-nya, tak juga ada jawaban. “Gue jitak juga lo, Gan!” kesalnya. Bukan Jeep Beverly, mobil lain justru terhenti di depannya. Tensi emosi Crystal beranjak naik. Dia mengenali mobil itu, mobil si cowok Korea yang sangat dia benci. “Ruby,” ucapnya pelan. Ruby keluar dari mobil. Entah kenapa pertahanan kebencian Crystal terkadang goyah akan pesona Ruby. Ruby mendekati Crystal dan menyentuh bahu Crystal ketika dia melihat tunangannya itu sedikit terhipnotis di hadapannya. “Kamu kenapa, sih?” “Ih, nggak apa-apa. Ngapain lo ke sini? Gue mau pergi sama Morgan. Gue nggak punya waktu untuk jalan sama cowok kayak lo,” ucapnya tajam. “Emangnya aku cowok kayak apa? Lagian, aku ke sini untuk gantiin Morgan dan temannya yang lain. Mereka nggak bisa jalan sama kamu. Katanya mereka ada jadwal full dating hari ini sama cewek-cewek yang udah ready stock.” “Apa? Sialan banget! Jadi mereka ngerjain gue?” “Ya udah, jalan sama aku aja, ya!” ucap Ruby sambil menyeret langkah Crystal untuk masuk ke mobil. “Eh?!" *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD