Ishana baru pulang kerja, tubuhnya lengket akibat aktivitas yang padat. Bayangan diguyur air dingin pasti akan terasa menyegarkan, tetapi semua buyar ketika Heera menjegalnya tepat di depan pintu. Dengan kedua tangan terlipat di dadaa, dagu Heera terangkat angkuh seolah sedang menunjukkan betapa berkuasanya dia di rumah ini. “Ibu mau ngomong sama kamu. Ikut aku,” ujarnya. “Soal apa? Kalo nggak penting aku nggak mau.” “Kamu nggak ada hak buat nolak. Di rumah ini aturannya wajib hormati ibuku sekalipun kamu nggak lahir dari rahimnya. Ayah udah titip pesan—” “Itu kalo ibumu baik, tapi faktanya enggak, kan? Heera, tau maksud memanusiakan manusia? Ah, pasti nggak tau karena kamu dan ibumu nggak pernah melakukannya.” Ishana tersenyum sinis, lalu maju dua langkah untuk berbisik di telinga adi