Jakarta, 1 January 2020
"Kau!"
Jovanka mengeram ketika mendapati pemandangan di hadapannya dengan mata kepalanya sendiri. Perempuan itu mengeratkan jemarinya.
"b******k!" satu kata makian akhirnya lolos dari bibirnya.
Jovanka tidak bisa menggambarkan perasaannya kali ini ketika dia mendapati Seno, kekasihnya tengah b******a di depan matanya sendiri. Betapa bodohnya Jovanka karena percaya bahwa Seno ada acara kantor ketika lelaki itu menolak ajakan melewatkan tahun baru ke pantai bersamanya.
Dadanya perih. Ternyata seperti ini rasanya melihat lelaki sendiri selingkuh di depan mata.
"Aku bisa jelaskan, Jovanka, " Seno buru-buru mengambil kemejanya yang berserakan. Beruntung dia masih memakai boxer. Jovanka mengambil langkah mundur. Kenapa pria yang dia cintai menjijikan seperti ini.
"Apa lagi yang harus kau jelaskan? Apa tidak cukup apa yang kulihat sebagai sebuah penjelasan, Seno!"
Jovanka bicara dengan nada kesal. Seno mengancingkan kemejanya. Dia tampak kacau. Jovanka merada jijik padanya. Dia masih saja mengelak ketika Jovanka sudah melihat kelakuan busuknya di depan mata.
Pria memang sama saja!
Seno berusaha meraih tangan Jovanka tapi perempuan itu menepisnya, "Jangan sentuh aku!" hardik Jovanka.
Jovanka tidak ingin luluh dengan kata-kata manis lagi. Ini tidak benar. Sekalipun dia mencintai Seno, dia tidak segila itu dengan menutup mata melihat kekasihnya tidur dengan perempuan lain.
"Aku bisa jelaskan Jovanka, ini tidak seperti yang kamu lihat," Seno kembali meraih tangan Jovanka. Matanya menatap Jovanka dengan tatapan memohon. Dalam satu detik rasanya Jovanka hampir memberinya kesempatan kedua dan menjadi perempuan bodoh dengan memaafkan kekasihnya yang tengah selingkuh.
"Sudahlah, hubungan kita berakhir Seno, selamat bersenang-senang," Jovanka menepis tangan Seno. Perempuan itu berbalik ke luar apartemen Seno dengan mata yang berkaca-kaca.
Jauh dalam hatinya dia ingin memberikan Seno kesempatan kedua. Tapi itu bodoh! Jovanka berperang dengan perasaannya sendiri. Segala hal tentang melepaskan memang tidak mudah. Dia dan Seno sudah menjalin hubungan selama tiga tahun dan satu tahun lagi mereka akan menikah.
Seno lelaki yang baik. Dia bahkan selalu mengalah pada Jovanka yang keras kepala.. Mungkinkah ini titik kesabaran Seno yang membuat lelaki itu pada akhirnya menunjukkan sisi terburuknya yang selama ini dia sembunyikan di depan Jovanka? Jika itu benar berarti semua ini salah Jovanka.
Pikiran Jovanka terus memikirkan banyak hal. Gadis itu bahkan tidak sadar bahwa dia sudah berada di luar apartemen Seno dan berjalan tanpa arah.
"Jovanka, tunggu!"
Tanpa menoleh pun Jovanka tahu bahwa yang memanggilnya sekarang adalah Seno. Lelaki itu mempercepat langkahnya untuk mendekati Jovanka. Jovanka mempercepat langkahnya secepat mungkin. Perempuan itu setengah berlari menjauhi Seno secepat mungkin. Perempuan itu berlari tanpa memperhatikan sekitar.
"Jovanka aku bisa jelaskan," Seno berhasil menyusul Jovanka dan berhasil meraih tangan lelaki itu. Jovanka menoleh dengam tatapan benci yang tak terbendung.
"Cukup! Aku ingin pulang," gumam. Jovanka. Perempuan itu dedang berada di depan Zebra Cross sekarang. Pikirannya kacau. Cara untuk menghindarkan Seno sekarang adalah menyebrang secepat mungkin. Gadis itu berhasil lolos dari genggaman Seno. Dia belari sekuat tenaga, dan tepat dari arah kanan sebuat Kontainer tengah melaju dengan kecepatan yang tidak bisa dikendalikan.
"Awas! "
Seno membeku di tempat ketika tangannya tak mungkin lagi bisa meraih Jovanka.
Duar!
BAM!
Suara dentuman besar di langit bertabrakan dengan suara tubuh Jovanka yang terlempar ke jalanan. Jovanka masih setengah sadar ketika kepalanya menyentuh lantai. Langit seperti terbelah dua, kilat tiba - tiba menyambar. Detik-detik sebelum semua menggelap Jovanka melihat kabut ungu pekat. Dalam detik terakhir kesadarannya Jovanka bisa melihat sebuah pintu besar terbuka dan seseorang seperti menariknya masuk. Lalu pandangannya menggelap.
***
Argenta, 5 Maret Brivinci (Hitungan tahun di Argenta)
Guntur baru saja usai. Hujan badai baru saja berlalu. Langit berwarna ungu cerah di Argenta pagi ini. Semuanya tengah berkumpul di depan Reseveltdon, hutan terlarang Argenta, hutan yang tidak boleh dimasuki oleh siapapun kecuali Jevan D'movic setiap Rose Blood, bulan purnama sebulan sekali di Argenta.
Marvin D'movic tengah menatap pintu masuk Reseveltdon dengan tatapan nanar. Mengunci putranya sendiri di Reseveltdon bukan pilihannya. Hatinya juha hancur sebagai seorang ayah. Namun semuanya demi Argenta. Dia tidak mau korban jatuh lebih banyak lagi setiap Rose Blood. Karena itu setiap Rose Blood datang Argenta seperti kota mati, tidak ada yang berani keluar, semua itu karena Jevan D'movic.
"Apa dia baik-baik saja?" gumam Biandra D' Movic dengan tatapan khawatir. Sebagai seorang ibu dia selalu menangis setiap kali Rose Blood datang. Dia selalu menentang Marvin melakukan ini pada putranya. Namun Biandra melihat sendiri betapa mengerikannya Jevan D'movic ketika Rose Blood datang. Dia bahkan hampir mati di tangan putranya sendiri.
"Kau tenang saja, Jevan pasti akan baik-baik saja," gumam Marvin dengan dingin.
Reseveltdon tampak sunyi meskipun ada puluhan orang yang menanti di depan pintu masuk Reseveltdon dengan tatapan cemas. Sebagian lainnya menahan tangis karena keluarga mereka menjadi tumbal di dalam sana.
"Anakku," gumam seorang penduduk Argenta dengan tangis tertahan. Perempuan setengah baya itu tengah terduduk di lantai. Tahun ini anaknya yang menjadi tumbal terpilih yang dikirim ke Reseveltdon. Sebagai seorang ibu hatinya benar-benar hancur.
"Harusnya ayah bunuh saja Jevan waktu lahir, sampai kapan kita harus mengorbankan penduduk Argenta untuknya?" Gumam Drean D'movic dengan penuh kebencian. Meskipun terlahir dari darah yang sama tapi Drean sangat membenci kakaknya. Jevan terlahir dengan kutukan. Setiap bulannya, setiap Rose Blood datang harus ada 10 warga Argenta yang masuk ke Reseveltdon dan menjadi mainan Jevan. Semuanya tewas berlumuran darah dan tak ada yang selamat. Tak ada satupun yang bisa menghentikan Jevan. Bahkan mantra apapun tidak dapat mengendalikan kekuatannya ketika Rose Blood datang.
"Briem, tidak seharusnya bicara seperti itu bagaimanapun Briem Jevan adalah keluarga kita, apa kau tega menyingkirkannya begitu saja," gumam Hezelfin dengan tatapan tak suka pada Drean.Briem adalah sebutan untuk kakak laki-laki di Argenta.
Drean menoleh ke arah Hezelfin dengan tatapan tak suka. Dia hampir saja menjambak rambut adiknya itu jika Vile D'movic tidak mencegah tangan Drean.
"Kau tidak boleh kasar pada perempuan, Drean," gumamnya sambil tersenyum. Dari semua keluarga D'movic hanya Jevan dan Vile yang pendiam. Mereka tidak banyak bicara. Vile meskipun pendiam namun dia terkenal paling bijaksana di negeri Argenta. Lelaki ini tidak suka keributan. Dia pasti akan mendamaikan siapa saja yang ribut di depannya.
"Tidak bisakah kalian berhenti bertengkar!" Kali ini Biandra D'movic yang bicara. Wajahnya tampak tegang. Perempuan itu tengah menanti dengan wajah yang sangat pucat. Kulitnya yang putih seolah kehilangan warna merah di dalamnya. Satu-satunya orang yang benar-benar khawatir dengan keadaan Jaevan kali ini adalah Biandra D'movic, perempuan yang mengandungnya dan melahirkannya ke dunia ini.
"Maafkan kami," cicit Hezelfin dengan perasaan bersalah. Hezelfin menghampiri ibunya dan memegang tangannya. Menyalurkan sebuah ketenangan dari tatapannya.