Bab 4

1711 Words
Di depan mobil mewahnya, Nawasena Gunawan bersandar sambil menghisap rokok. Kepulan asapnya membumbung ke udara malam, seperti membawa pergi sebagian kecil dari beban yang menumpuk di dadanya. Langit malam yang cerah, bertabur bintang, terasa begitu kontras dengan gelapnya hatinya. Wajahnya yang tegas memancarkan dingin yang sulit ditembus, tetapi jika diperhatikan lebih dalam, ada sesuatu di sana—luka yang belum sembuh sepenuhnya, menganga di balik tatapan tajam itu. "Bodoh," gumamnya pelan, mengembuskan asap terakhir rokoknya. "Kenapa aku masih terpaku pada masa laluku?" Ia memejamkan mata sejenak, membiarkan pikirannya terseret kembali pada kenangan pahit. Wajah sang mantan istri melintas di benaknya—wajah yang dulu ia percayai sepenuh hati, hanya untuk kemudian mengkhianatinya. --- Malam itu, ia pulang lebih awal dari perjalanan bisnisnya, membawa setangkai bunga mawar putih kesukaan istrinya. Namun, yang menyambutnya di ruang tamu bukanlah senyuman hangat. Ia mendapati istrinya duduk di sofa bersama pria lain, berbagi cecapan hangat dari bibir ke bibir yang begitu memabukkan. Tatapan panik mereka saat melihatnya masuk sudah cukup memberi tahu segalanya. “Apa ini?” tanya Nawasena dengan suara rendah, dingin. Nawa tidak berteriak, tidak melempar barang. Ia hanya berdiri di sana, menunggu jawaban. Tapi jawaban itu tidak datang. Sebaliknya, istrinya hanya menunduk, terdiam, sementara pria itu berusaha memberi penjelasan basi yang terdengar seperti ejekan di telinganya. Dan saat akhirnya istrinya berbicara, kata-katanya menghancurkan sisa kepercayaan yang ia miliki terhadap cinta. “Aku lelah hidup seperti ini, Nawa. Kau terlalu sibuk dengan ambisi dan pekerjaanmu. Dia... dia mengerti aku.” Nawa tertawa kecil, getir. “Mengerti?” ulangnya, sebelum menggelengkan kepala. Tanpa kata-kata lebih, ia meletakkan bunga itu di meja dan berjalan pergi, meninggalkan semua yang pernah ia perjuangkan. Sejak saat itu, cinta tidak lagi menjadi bagian dari kamus hidupnya. --- Kembali ke malam ini, senyum sinis muncul di wajah Nawasena. “Semua wanita sama saja,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. “Tidak ada yang bisa dipercaya.” Namun, pikirannya tidak berhenti di situ. Sebelum ia menikah dan mengalami penghianatan besar itu, ada satu nama lain yang pernah menggores hatinya—Alisha. Cinta pertamanya semasa SMA, yang juga meninggalkannya tanpa alasan jelas. Kenangan itu muncul seperti bayangan gelap yang tak diundang, membuatnya menggertakkan rahang. “Aku bodoh karena dulu percaya pada cinta,” desisnya, membuang puntung rokok ke tanah dan memijaknya dengan gerakan tajam. Namun, suasana malam yang hening tiba-tiba terusik oleh suara teriakan samar dari arah parkiran. “Lepaskan! Aku sudah bilang, jangan sentuh aku lagi, Zian!” suara seorang wanita, penuh amarah, menggema. “Alisha…” gumamnya tanpa sadar. Hatinya mencelos mendengar nama itu keluar dari bibirnya sendiri. Apakah mungkin itu dia? Atau hanya kebetulan? “Dengar dulu aku bicara, Alisha!” teriakan pria menyusul, penuh frustrasi dan ancaman. Langkahnya terhenti sejenak. Ia ingin mengabaikan, menganggap itu bukan urusannya. Namun, suara tamparan keras yang terdengar kemudian membuat darahnya mendidih. Tanpa pikir panjang, ia melangkah ke arah suara tersebut. Di sana, di bawah lampu parkir yang temaram, seorang pria memegang lengan seorang wanita dengan kasar. Wajah wanita itu menoleh, dan untuk sesaat, Nawasena terdiam. Itu benar-benar Alisha. Mata gadis itu bersinar dengan amarah dan ketakutan, campuran emosi yang membuatnya mengingat kembali masa lalunya. Dengan langkah penuh keyakinan, ia mendekati mereka. Tangannya menepuk bahu pria itu dengan kuat. “Lepaskan dia,” ucap Nawa dingin. Pria itu, Zian, menoleh dengan marah. “Siapa kau? Ini bukan urusanmu!” bentaknya. Namun, tatapan Nawasena tetap tajam dan tak tergoyahkan. “Aku seseorang yang tidak suka melihat wanita diperlakukan seperti ini,” katanya tegas. Dan tanpa memberi pria itu waktu untuk bereaksi lebih lanjut, ia melayangkan pukulan ke wajahnya. Bugh... Zian tersungkur ke belakang, memegangi pipinya. “b******k! Kau pikir kau siapa?!” teriaknya marah, bangkit dengan gerakan kasar. Namun, tatapan dingin Nawasena membuatnya ragu. Alisha yang berdiri di belakang Nawasena tiba-tiba berkata, “Dia tunanganku, Zian. Jadi, jangan berani-berani lagi mendekatiku. Kau tau aku menemuimu tadi, karena aku ingin memberitahumu bahwa aku sudah bertunangan dengannya, dan sialnya aku melihatmu berselingkuh dengan wanita lain dengan posisi yang sangat menjijikkan” Nawasena menoleh, alisnya terangkat bingung. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, cukup untuk didengar Alisha. “Mainkan saja peranku,” bisik Alisha cepat. Zian mendengus penuh ejekan. “Tunanganku?” tanyanya sinis. “w************n seperti dia—” “Jaga mulutmu,” potong Nawasena tajam, nadanya menusuk seperti pisau. “Kita pergi,” tambahnya, menggenggam tangan Alisha dan menariknya menjauh dari pria itu. "Alisha, kamu tidak busa begini, apa bedanya kamu denganku!! " teriak Zian tanpa dihiraukan oleh Alisha dan Nawa. Begitu mereka masuk kembali ke klub, Alisha melepaskan genggamannya. “Terima kasih sudah membantuku,” katanya pelan, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. “Hemmm,” jawab Nawasena seadanya. Tanpa sepatah kata lagi, ia berbalik, berniat meninggalkan gadis itu. “Begitu saja?” suara Alisha menahan langkahnya. Ia menatapnya dengan tatapan heran. “Kau menyelamatkanku dan langsung pergi?” “Aku tidak peduli siapa kau atau apa masalahmu,” balas Nawasena dingin. “Aku hanya tidak suka melihat kekerasan.” Alisha menatapnya dengan ekspresi menganga, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Nawasena pun berjalan pergi, kembali ke mejanya. Namun, pikirannya terus mengulang adegan itu—mata Alisha yang penuh ketakutan, suara teriakannya, dan… rasa sakit yang muncul di dadanya saat menyadari bahwa ia masih terpengaruh oleh kehadiran gadis itu. “Persetan,” gumamnya pada dirinya sendiri, meneguk minuman keras yang tersisa di mejanya. Namun, di tengah percakapan teman-temannya, matanya kembali melirik ke arah Alisha. Gadis itu tertawa bersama teman-temannya, seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi. Dan saat tatapan mereka bertemu sekilas, senyuman kecil dari Alisha membuat dadanya terasa berat. Malam itu, saat ia melangkah keluar dari klub menuju mobilnya, hanya satu pikiran yang memenuhi benaknya. “Cinta tidak pernah memberikan apa-apa selain luka. Dan aku sudah cukup merasakannya.” ***** "Bagaimana, Kak? Lancar reunianya?" suara Arkana tiba-tiba memecah keheningan ketika Alisha baru saja memasuki apartemennya. Alisha terlonjak kecil, lalu mendapati adiknya sudah duduk santai di sofa ruang tamu. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya sambil melepas sepatu dengan wajah lelah. "Aku numpang, Kak," jawab Arkana ringan, meski ada nada lesu dalam suaranya. Ia menggelengkan kepala, bersandar malas ke sandaran sofa. "Lagi malas pulang ke rumah." Alisha mengernyit. Biasanya, kalau Arkana datang mendadak seperti ini, pasti ada sesuatu yang terjadi di rumah. Ia menghela napas panjang, melepas tasnya di meja. "Ada apa lagi?" tanyanya datar, berjalan ke arah dapur untuk mengambil segelas air. "Seperti biasa," Arkana mengangkat bahu, suaranya terdengar frustrasi. "Mama dan Papa mempertanyakan kapan aku mau menikah. Aku bosen banget denger omongan itu." Alisha tersenyum kecil, getir. "Sama saja," gumamnya, sambil meneguk air. "Mama memang terlalu terobsesi sama pernikahan. Seolah-olah itu satu-satunya pencapaian penting dalam hidup kita." Arkana mendengus pelan. "Aku bingung deh, kenapa mereka nggak sekalian aja nyuruh aku kawin kontrak biar cepet selesai?" sindirnya, meski matanya memancarkan kelelahan yang nyata. "Kenapa kamu nggak cari pacar pura-pura aja buat dikenalin ke Mama? Setidaknya itu bisa bikin mereka berhenti nyuruh-nyuruh kamu sebentar," saran Alisha sambil berjalan ke ruang tamu dan duduk di seberang adiknya. Arkana mendelik. "Situ gimana? Udah laporan soal pasangan? Bukannya satu bulan lagi deadline dari eyang?" balasnya sambil melipat tangan di d**a. "Kalau Kakak sendiri belum ada, kenapa aku yang harus mikirin pacar?" Ucapan Arkana itu seperti tamparan ringan bagi Alisha. Ia hanya menghela napas panjang, memilih tidak menjawab. Ya, dia memang tahu, batas waktu yang diberikan keluarga semakin dekat. Sebagai cucu tertua, ia diminta segera menikah atau setidaknya memperkenalkan pasangan hidup kepada eyang putri dan eyang kakungnya. Jika tidak, ia tahu, posisinya di perusahaan keluarga—sesuatu yang telah ia perjuangkan mati-matian—akan terancam. "Kenapa hidup kita cuma dinilai dari status pernikahan?" gumam Alisha sambil mengusap wajahnya. "Bukannya mereka lihat usaha kita selama ini." "Mungkin karena mereka pikir menikah itu prestasi," Arkana menjawab dengan nada sarkastik, lalu menguap panjang. Alisha tersenyum tipis, tetapi pikirannya jauh melayang. Bukan hanya tekanan dari keluarga yang menghantui pikirannya malam ini, tapi juga apa yang baru saja terjadi dengan Zian. Bagaimana pria itu—yang baru saja mulai ia percayai—dengan mudah menghancurkan semuanya. Alisha menggigit bibir bawahnya, menahan amarah dan rasa sakit yang ingin meluap. "Kamu kenapa, Kak?" tanya Arkana, menatapnya dengan alis terangkat. "Enggak apa-apa," jawab Alisha cepat. "Cuma capek aja." Ia segera berdiri, tidak ingin Arkana membaca kegelisahan di wajahnya. "Kalau capek, istirahatlah. Tapi jangan lupa makan dulu," ujar Arkana sambil meregangkan tubuhnya di sofa. Alisha mengangguk seadanya, berjalan menuju kamarnya. Begitu pintu kamar tertutup, ia menyandarkan tubuhnya ke pintu, menghela napas panjang. Air matanya mulai menggenang di pelupuk mata. "Kenapa harus seperti ini?" bisiknya pelan, seolah bertanya pada dirinya sendiri. Dia berjalan menuju tempat tidur, duduk di tepinya, memandang kosong ke arah lantai. Pikirannya penuh dengan kejadian malam ini—tatapan penuh amarah Zian, kata-kata kasarnya, dan perlakuannya yang benar-benar tak menghormati Alisha sebagai seorang wanita. Ia menggigit bibir lebih keras, berusaha menahan air matanya, tapi semuanya akhirnya tumpah. Alisha meraih bantal, membenamkan wajahnya ke sana untuk meredam suara tangisnya. Isakannya pecah, membanjiri malam yang sepi. Ia tidak ingin Arkana mendengar tangisnya—tidak ingin terlihat rapuh di depan satu-satunya keluarga yang selalu mempercayainya. "Kenapa, Zian?" bisiknya di sela tangis. "Kenapa kau harus menghancurkan kepercayaan ini? Apakah semua pria sama saja?" Ia memejamkan mata, mencoba mengusir kenangan pahit itu, tapi semua justru semakin jelas. Bagaimana ia memutuskan untuk membuka hati setelah sekian lama tertutup, hanya untuk disakiti lagi. Semua janji yang Zian buat terdengar seperti lelucon menyakitkan di kepalanya sekarang. "Dan aku bodoh karena percaya padamu" gumamnya, menggenggam bantal dengan erat, seolah mencoba mencengkram rasa sakit di hatinya. Namun, rasa sakit itu bukan hanya karena Zian. Tekanan keluarganya juga membuat segalanya terasa jauh lebih berat. Alisha merasa dirinya terjebak—antara mengejar karier yang ia cintai atau memenuhi ekspektasi keluarga yang menginginkan dirinya segera menikah. "Apakah aku tidak cukup baik hanya karena aku belum menikah?" tanyanya dalam hati. "Mengapa semua yang aku capai selama ini tidak pernah cukup?" Air matanya terus mengalir, tetapi isakannya mulai mereda. Tubuhnya lelah, begitu pula pikirannya. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Aku nggak bisa terus kayak gini" bisiknya, meski suara itu terdengar jauh dari meyakinkan. Perlahan, ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, membiarkan rasa lelah membawanya ke dalam tidur yang penuh kegelisahan. Di dalam hati kecilnya, ia berharap esok hari akan membawa sedikit kelegaan, sedikit kekuatan untuk terus bertahan di tengah semua tekanan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD