Bab 5

1252 Words
Alisha berdiri di depan pintu ruang kerja ayahnya dengan napas panjang yang diambil secara sadar. Di tangannya, berkas laporan yang akan dia serahkan terasa seperti batu pemberat. Langkahnya terpaksa terlihat mantap, meskipun sebenarnya dia ingin sekali menghindar. Tetapi bagaimana caranya? Ayahnya ada di sini, di kantornya, bukan sebagai seorang ayah, melainkan sebagai atasannya. Saat memasuki ruangan, suara Pak Adi menyambut tanpa basa-basi. "Kamu sudah siap, Al?" Alisha menelan ludah. "Siap untuk apa, Pa?" tanyanya dengan nada hati-hati, sambil berusaha keras menyembunyikan rasa jengkel yang perlahan menyeruak. Pak Adi menggeser sebuah map hijau ke arah Alisha. "Pelajari ini dulu. Papa mau kamu yang mewakili di rapat nanti." "Rapat apa ini, Pa?" tanya Alisha sambil membuka map tersebut. Dahinya berkerut melihat dokumen di dalamnya. Ada rincian kontrak kerja sama dengan perusahaan mitra, sesuatu yang tidak pernah ia tangani sebelumnya. Pak Adi menyilangkan tangan di d**a, menatap putrinya tanpa ekspresi. "Pertemuan dengan calon mitra bisnis baru. Papa ada urusan lain, jadi kamu yang gantiin Papa." Alisha mendongak, ekspresi frustrasi jelas terlihat di wajahnya. "Kenapa aku, Pa? Ini kan urusan Papa, bukan tanggung jawabku." "Apa bedanya? Kamu sudah tahu soal ini. Tinggal sampaikan saja apa yang ada di dokumen itu," jawab Pak Adi tegas, seperti biasa. Alisha menggigit bibir, menahan kata-kata yang hampir meluncur. Pikirannya sedang kacau. Semalam ia hampir tidak tidur, pikirannya penuh dengan pengkhianatan Zian. Luka itu masih terasa begitu segar, dan sekarang ayahnya malah memberikan tugas berat yang bukan bagiannya. "Pa, aku..." Alisha mencoba melawan, tetapi Pak Adi memotongnya. "Kalau kamu merasa tidak mampu, bilang saja. Papa bisa minta orang lain, meskipun itu akan jadi pengalaman yang bagus untukmu." Kalimat itu meluncur dengan nada datar, tapi ada tekanan halus di baliknya yang membuat Alisha terdiam. Pengalaman yang bagus untukmu. Kalimat itu seperti mantra yang selalu digunakan Pak Adi untuk membungkam setiap protes. Alisha mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan kekesalan. "Pa, aku punya banyak hal lain yang harus kuselesaikan," ujarnya, mencoba melawan. "Semua orang juga punya banyak hal, Al," balas Pak Adi santai. "Tapi kalau kamu ingin sukses, kamu harus belajar menangani hal yang mendesak tanpa drama." Alisha tahu, berdebat lebih jauh hanya akan membuang waktu. Pak Adi tidak akan mengubah keputusannya. Ia merasa seperti sedang menghadapi tembok besar yang tidak bisa ditembus. Rasanya, jengkel, kesal, marah—semua bercampur jadi satu. Tapi, pada akhirnya, apa yang bisa ia lakukan? Ini perintah langsung, dan tidak ada ruang untuk menolak. "Baik, Pa," jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan nada pasrah dalam suaranya. Pak Adi mengangguk tanpa senyum. "Bagus. Pelajari dulu materinya, jangan sampai salah bicara. Papa yakin kamu bisa." Alisha mengambil map itu, keluar dari ruangan dengan langkah yang lebih cepat dari biasanya. Begitu pintu tertutup, ia menghela napas panjang, rasa frustrasi memenuhi dadanya. "Selalu saja begini," gumamnya kesal. Tangannya mencengkeram map hijau itu erat-erat. "Setiap kali aku ingin istirahat, selalu ada yang harus kulakukan untuk 'pengalaman'." Ia kembali ke ruang kerjanya sendiri, menjatuhkan diri ke kursi, dan melempar map hijau itu ke meja. Ia memandanginya dengan tatapan kosong, mencoba mengendalikan emosi. Di satu sisi, ia tahu ini bukan sepenuhnya salah ayahnya. Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menahan rasa jengkel yang terus tumbuh. "Mungkin memang benar," pikirnya, menekan pelipis dengan jemarinya. "Aku tidak pernah bisa hanya jadi anaknya. Aku harus selalu jadi bawahan, orang yang harus membuktikan diri, meski aku sudah melakukan begitu banyak." Dengan perasaan campur aduk, Alisha meraih map itu lagi. Ia tahu, protes atau tidak, tugas ini tetap harus ia selesaikan. Tetapi, di dalam hatinya, ada perasaan kecil yang berkata, "Kapan aku bisa mengambil jeda untuk diriku sendiri?" **** Alisha berdiri di depan cermin besar berbingkai lampu di toilet berinterior hijau, memandang bayangan dirinya dengan tatapan kosong. Wajahnya terlihat kusut meski sudah dirias. Ia menarik napas panjang, mencoba memaksa dirinya tersenyum. "Satu hari saja. Bertahanlah. Setelah ini selesai, semua akan baik-baik saja," gumamnya pelan, hampir seperti doa kepada diri sendiri. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia berbalik untuk keluar. Namun, saat itu juga, seorang wanita yang membawa segelas es kopi besar bergegas masuk, dan keduanya bertabrakan keras. “Maaf! Maaf banget, aku nggak sengaja!” ucap wanita itu panik sambil memegangi gelasnya yang kini hampir kosong. Cairan es kopi yang tumpah mengenai rok marun Alisha, meninggalkan noda besar dan basah di kain elegan yang ia kenakan. “Ya Tuhan!” seru Alisha, langsung mundur beberapa langkah untuk memeriksa roknya. Ia mendongak dan menatap wanita itu tajam. “Kamu nggak lihat jalan, ya? Bisa nggak sih lebih hati-hati?!” Wanita itu terlihat pucat. “Maaf, aku benar-benar nggak sengaja. Tadi aku buru-buru...” “Buru-buru? Jadi itu alasanmu nabrak orang?” potong Alisha dengan nada sinis. Ia menunjuk roknya yang ternoda. “Lihat ini. Aku punya rapat penting. Bagaimana menurutmu aku harus tampil seperti ini?” Wanita itu menunduk, tampak semakin panik. “Aku... aku bisa bantu cari pakaian ganti. Atau mungkin...” “Tidak usah!” potong Alisha lagi, suaranya lebih tajam dari sebelumnya. “Aku tidak punya waktu untuk mengurus hal seperti ini. Kalau tidak bisa jalan dengan benar, lebih baik berhenti membawa minuman!” Wanita itu terdiam, wajahnya memerah karena malu dan rasa bersalah. Namun, Alisha sudah tak peduli. Ia mengambil napas dalam, menahan amarahnya yang hampir meledak. “Lupakan saja. Aku akan mengurusnya sendiri,” ucapnya akhirnya, lalu berlalu dari toilet tanpa menunggu jawaban. --- Kembali ke ruang pertemuan, Alisha mendapati Dania, asistennya, menatap rok basahnya dengan mata melebar. “Nona, apa yang terjadi? Rok Anda—” “Tidak ada yang penting,” potong Alisha dingin, meraih tisu basah dari tas Dania. Ia mulai mengelap noda kopi itu dengan gerakan cepat dan kasar. “Kalau begitu, saya akan mencari pakaian ganti,” usul Dania, mencoba membantu. “Tidak perlu,” jawab Alisha tegas. “Aku bisa mengatasi ini sendiri.” Dania diam, meskipun jelas ia khawatir. Alisha akhirnya berhenti menggosok roknya yang masih meninggalkan bekas samar-samar. “Ya sudahlah,” gumamnya. Ia mendudukkan diri dengan tegak, berusaha memasang wajah tenang. Tapi di dalam, kekesalannya meluap-luap. Hari ini sudah terasa buruk sejak pagi, dan insiden barusan hanya memperparah semuanya. --- Ketika pertemuan dimulai, Alisha mencoba mengesampingkan semua masalahnya. Ia menyambut tamu-tamu dari perusahaan mitra dengan senyum manis yang terasa dipaksakan, lalu memulai presentasi dengan suara tegas dan percaya diri. Namun, masalah tak berhenti di situ. Di tengah presentasi, pria yang duduk di seberang meja, salah satu perwakilan mitra, tiba-tiba menyela. “Maaf, saya rasa pembahasan ini terlalu membingungkan. Bisakah kita menjadwalkan ulang rapat ini?” Kalimat itu seperti pukulan keras di d**a Alisha. “Jadwalkan ulang? Apa maksudnya? Aku sudah menjelaskan dengan detail!” pikirnya, tetapi ia menahan diri. “Bagian mana yang Anda rasa membingungkan?” tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap netral meski terdengar sedikit bergetar. Pria itu hanya mengangkat bahu, memberikan senyum kecil yang terkesan meremehkan. “Mungkin semua. Akan lebih baik jika kita membahasnya di lain waktu dengan lebih terstruktur.” Dania yang duduk di sebelah Alisha tampak bingung, sementara Alisha sendiri berusaha keras untuk menahan emosinya. Ia menggenggam bolpoin di tangannya dengan erat, mencoba mengalihkan frustrasi yang memuncak. “Baiklah,” kata Alisha akhirnya, dengan senyum kecil yang penuh kepura-puraan. “Jika itu keinginan Anda, saya akan menyampaikan permintaan ini kepada atasan saya.” Pria itu tampak puas dan melanjutkan percakapan dengan koleganya, seolah-olah Alisha sudah tidak ada di ruangan itu. Dania berbisik pelan. “Apa yang harus kita lakukan, Nona?” Alisha menggeleng, menatap kosong ke arah mejanya. “Kita pulang. Aku akan menjelaskan semuanya pada Papa nanti,” katanya dengan suara lemah. Hari ini, ia merasa seperti alam semesta benar-benar melawannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD