Dengan langkah cepat dan penuh amarah, Alisha berjalan menuju ruangan tempat pria itu berada. Rasa frustrasi yang telah dipendam sejak pertemuan tadi akhirnya memuncak, dan ia memutuskan untuk menyelesaikan semuanya secara langsung.
Di meja resepsionis, ia menghentikan langkahnya dengan tajam.
"Bisa bertemu dengan atasan Anda?" tanyanya, nada suaranya tegas, hampir terdengar seperti perintah.
Wanita resepsionis itu sedikit terkejut, namun segera tersenyum sopan.
"Sebentar, Nona," katanya sambil memencet tombol telepon. Setelah beberapa detik berbicara, dia menutup telepon dan berkata, "Silakan masuk. Tuan Nawa ada di ruangannya"
Alisha melangkah menuju pintu dengan dagu terangkat, hatinya membara oleh rasa kesal. Setelah mengetuk dengan keras, ia mendengar suara dari dalam yang menyuruhnya masuk.
Dia membuka pintu, melangkah masuk, dan mendapati pria itu, Nawasena, sedang duduk santai di balik meja kerjanya. Saat ia memutar kursinya untuk menghadap Alisha, seolah dunia mempermainkannya, Nawasena adalah orang yang sama yang baru saja ia temui di reuni beberapa malam lalu. Lelaki yang ia seret dalam kebohongan impulsifnya sebagai "calon suami" untuk membuat mantannya mundur.
Sialan. Kenapa harus dia? pikir Alisha.
"Selamat sore, Pak," ucapnya dengan nada yang dipaksakan tetap tenang. "Bisa saya minta waktu sebentar?"
Nawasena tersenyum kecil, dingin dan sinis. "Ada apa lagi? Bukankah aku sudah menyampaikan keputusanku tadi?"
Alisha menghela napas dalam, berusaha menahan diri agar tak langsung meluapkan kekesalannya. "Saya ingin tahu alasan Anda membuat keputusan sepihak untuk menunda kerja sama ini. Apa yang sebenarnya Anda inginkan?"
Pria itu memiringkan kepala sedikit, menatap Alisha dari atas hingga bawah dengan pandangan yang sulit diterjemahkan.
"Apa yang saya inginkan? Hmm… mungkin partner yang lebih profesional dan… rapi." Matanya berhenti di noda samar di rok Alisha, yang meski sudah dibersihkan, masih meninggalkan bekas.
"Anda meragukan profesionalisme saya hanya karena noda kecil ini?" Alisha menunjuk roknya, tak lagi bisa menahan nada tajam dalam suaranya. "Anda tahu apa yang terjadi? Pegawai Anda yang ceroboh menumpahkan kopi ini pada saya! Dan Anda berani menilai saya dari sesuatu yang bahkan bukan kesalahan saya?"
Nawasena menyeringai, tangannya bertumpu santai di meja. "Memang sudah terjadi, tapi saya rasa… bukan hanya itu masalahnya. Kamu sendiri yang menciptakan drama di ruang rapat tadi. Bukankah seharusnya kamu lebih siap?"
"Kamu bicara soal drama? Bukankah kamu yang memulai dengan sikap tidak profesional tadi?" sergah Alisha tajam, langkahnya maju mendekati meja. "Kalau ada yang tidak jelas dalam presentasi saya, Anda tinggal bertanya, bukan malah bersikap seperti bos besar yang angkuh!"
"Bos besar yang angkuh?" Nawasena mengangkat sebelah alis, suaranya terdengar dingin namun memancing. "Saya hanya melakukan apa yang menurut saya benar. Kalau merasa tak mampu, jangan datang ke ruang rapat."
Alisha terkekeh, suaranya penuh sarkasme. "Benar, ya? Sepertinya Anda menikmati jika orang lain sedang kesulitan. Mungkin karena itu membuat Anda merasa lebih angkuh?"
"Dan kamu merasa ini soal ego, Alisha?" jawab Nawasena, nada bicaranya tetap dingin, namun tajam. "Seharusnya kamu tahu, dunia bisnis tidak peduli soal perasaanmu dan sebab akibat. Kalau kamu tidak siap, orang lain akan membuang waktunya sia-sia."
Kalimat itu adalah pukulan terakhir. Alisha mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan emosi yang membara. Tapi ketenangan itu hanya bertahan sekejap.
"Kalau dunia bisnis tidak peduli soal perasaan, kenapa kamu terlihat begitu menikmati meremehkanku?" ujarnya dengan nada rendah, namun penuh tantangan. "Atau jangan-jangan ini bukan soal bisnis? Apa ini balasan karena aku mempermalukanmu di depan teman-teman lama kita?"
Mata Nawasena menyipit sedikit, senyum di wajahnya menghilang sejenak. "Apa maksudmu?"
"Apa maksudku?" Alisha mendekatkan diri ke meja, menatapnya tajam. "Mungkin ini caramu menyeimbangkan permainan. Membuatku merasa kecil di hadapanmu karena kamu tidak bisa menerima kekalahan waktu itu."
Nawasena terdiam beberapa saat, lalu tertawa kecil. "Kamu punya banyak dugaan menarik, Alisha. Tapi mungkin kamu terlalu memikirkan hal-hal yang tidak penting."
Alisha menyilangkan tangan di dadanya, kini senyumnya mengejek. "Dan kamu terlalu menikmati memainkan peran orang dingin tak peduli. Tapi biar aku kasih tahu sesuatu, Nawasena." Ia mendekat lebih lagi, kini wajah mereka hanya terpisah beberapa inci. "Kamu bisa mencoba menjatuhkanku sebanyak yang kamu mau. Tapi aku tidak akan kalah. Kamu bisa mencoba, tapi lihat saja—aku akan menunjukkan padamu bahwa aku jauh lebih kuat dari apa pun yang kamu pikirkan."
Dengan itu, Alisha berbalik dengan penuh gaya dan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Nawasena yang duduk diam dengan ekspresi tak terbaca.
******
Alisha berjalan tergesa-gesa ke ruang kerjanya, sepatu hak tingginya mengetuk lantai dengan ritme cepat yang menggambarkan kekesalannya. Begitu sampai, ia membanting pintu, meski tak keras, cukup untuk menunjukkan suasana hatinya.
Ia melemparkan tas ke sofa dan langsung menjatuhkan diri ke kursi kerjanya. Tangannya terangkat, memijat pelipisnya yang terasa berdenyut karena tekanan emosi yang terus menguasai pikirannya.
“Dasar pria sombong, arogan, dan menyebalkan!” Alisha menggeram di antara tarikan napasnya yang berat.
Kata-kata dingin Nawasena terus terngiang di kepalanya, memukul-mukul egonya tanpa ampun.
“Kamu pikir siapa dirimu, hah?” Alisha berbicara pada udara kosong, seolah-olah Nawasena ada di hadapannya. “Aku tahu aku membuat kesalahan kecil, tapi itu bukan alasan untuk mempermalukan aku seperti tadi! Tidak ada yang berhak memperlakukan aku seperti itu!”
Rasa malu dan marah bercampur jadi satu, membuat dadanya sesak. Ia bangkit dari kursinya, mondar-mandir di ruangan, melampiaskan emosi yang tak tahu harus diarahkan ke mana.
“Bodohnya aku, kenapa aku harus bawa dia ke dalam hidupku?” Alisha menunduk, kedua tangannya kini menggenggam rambutnya yang tergerai.
“Calon suami bohongan? Kenapa aku sebodoh itu?” Ia terkekeh pahit. “Dan sekarang, dia meremehkanku. Aku benar-benar gagal, ya?”
Ia berhenti, menatap pantulan dirinya di cermin yang tergantung di salah satu dinding. Wajahnya terlihat letih, tetapi sorot matanya masih menyala dengan api kemarahan yang belum padam.
“Aku tidak akan membiarkan dia menang!” gumamnya, hampir seperti janji pada dirinya sendiri.
Pikirannya langsung melayang pada konsekuensi yang lebih besar: ayahnya. Alisha mengeluarkan ponselnya dari saku, membaca pesan yang baru saja masuk.
"Papa butuh penjelasanmu, Alisha. Ada apa ini?"
Alisha merasakan dorongan panik bercampur frustasi. “Papa pasti marah besar,” katanya pelan.
Ia terjatuh kembali ke kursinya, membayangkan wajah tegas ayahnya yang penuh harap pada kerja sama ini.
“Aku harus bilang apa? ‘Papa, aku gagal karena aku terlibat drama dengan pria angkuh yang kebetulan aku pakai untuk pamer ke mantanku?’ Apa Papa akan memaklumi itu?” Suaranya terdengar getir, diiringi helaan napas panjang.
Lamunannya buyar ketika suara lembut Dania, asistennya, terdengar dari pintu yang setengah terbuka. “Nona, mau aku pesankan makanan? Sejak tadi siang, Nona belum makan.”
“Aku tidak lapar,” jawab Alisha tajam, tanpa menoleh.
“Tapi—”
“Enggak, Dan. Aku bilang aku nggak mau makan,” potong Alisha tegas, meski ia tahu nada suaranya mungkin terdengar terlalu keras.
Dania tampak ragu-ragu, tetapi ia tetap berdiri di tempatnya. “Kalau begitu, izinkan aku menemani Nona. Aku tidak tega meninggalkan Nona sendirian.”
Alisha menatap Dania dari balik meja, mencoba tersenyum untuk meyakinkannya. “Aku baik-baik saja, Dania. Kamu sudah kerja seharian, sekarang pulanglah. Aku hanya perlu waktu sendiri.”
Dania tetap diam, terlihat enggan untuk pergi. “Nona yakin?”
“Yakin.” Alisha mendesah, suaranya lebih lembut. “Terima kasih sudah peduli, tapi aku janji aku tidak apa-apa. Pulanglah.”
Akhirnya, setelah beberapa saat, Dania menyerah. “Baiklah. Tapi kalau Nona butuh sesuatu, tolong hubungi saya, ya?”
Alisha mengangguk, lalu menunggu sampai pintu tertutup sebelum membiarkan senyumnya menghilang. Ia kembali menyandarkan diri ke kursinya, mengusap wajah dengan kedua tangannya.
“Aku harus memikirkan cara mengatasi ini,” gumamnya. “Haruskah aku bicara lagi dengan pria itu? Tidak. Itu hanya akan membuatku lebih marah.”
Namun, semakin ia mencoba mengabaikan pikiran tentang Nawasena, semakin wajah lelaki itu terlintas di benaknya. Tatapan tajamnya, senyum sinisnya, kata-katanya yang menusuk… semuanya membuat darah Alisha mendidih.
“Aku harus membuktikan pada dia kalau dia salah!” Alisha mendesis, matanya menyala dengan tekad baru. “Dia mungkin pikir aku lemah, tapi aku akan buktikan kalau aku jauh lebih dari sekadar ‘partner berantakan’!”
Ponselnya bergetar lagi, kali ini pesan dari Dania:
"Nona, kalau butuh teman bicara, saya selalu ada untuk Nona. Jangan ragu untuk hubungi saya, ya."
Alisha tersenyum tipis. “Terima kasih, Dan. Aku akan ingat itu,” balasnya singkat.
Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menghadapi semua ini. “Besok adalah hari baru,” katanya pada dirinya sendiri. “Aku akan menunjukkan pada dunia—dan pada pria itu—kalau aku tak bisa diremehkan.”
Dengan tekad yang mulai menguat, Alisha merapikan mejanya, mengambil tasnya, dan bersiap untuk pulang. “Kita lihat saja, Nawasena. Kamu akan menyesal pernah meremehkanku.”