Bab 7

1506 Words
Ketegangan terasa menusuk di udara, mengisi ruang kerja besar yang biasanya dihiasi dengan ketenangan. Alisha duduk di kursi tamu di depan meja besar ayahnya, menundukkan kepala, tidak berani menatap langsung. Pak Adi bersandar di kursinya, kedua tangannya bertaut di atas meja, menatap tajam ke arah anak sulungnya yang terlihat seperti sedang dihukum. "Alisha, apa yang sebenarnya terjadi?" suara Pak Adi terdengar tegas, namun masih tertahan. Alisha menggigit bibirnya, berusaha mencari kata-kata yang tepat. Ia tahu, ayahnya sedang menahan amarah besar. "Apa yang kamu lakukan sampai-sampai Gunawan Group menolak kerja sama dengan kita? Ini bukan main-main, Alisha," lanjut Pak Adi, nada suaranya semakin tinggi. “Papa sudah berusaha keras membuka peluang ini, dan kamu berhasil menghancurkannya begitu saja. Kenapa kamu diam saja? Bicara, Alisha!” Alisha terhenyak, tubuhnya menegang. “Maaf, Pa... aku—aku tidak bermaksud...” “Maaf? Itu saja?” Pak Adi berdiri, menghentak meja dengan kedua tangannya. “Alisha, ini menyangkut masa depan perusahaan! Kamu tahu seberapa besar dampak dari kerja sama ini untuk kita? Dan kamu malah gagal dalam negosiasi penting seperti ini?” Alisha terdiam, rasa bersalah menguasai dirinya. Namun, mendengar kata-kata ayahnya membuat emosinya juga mulai bangkit. Ia ingin menjelaskan, tapi apa yang harus ia katakan? Bahwa masalah ini dipicu oleh drama pribadinya dengan Nawasena, lelaki yang ia libatkan dalam kebohongan impulsifnya? “Aku akan mencoba lagi, Pa,” kata Alisha akhirnya, berusaha terdengar yakin meskipun hatinya diliputi keraguan. “Aku akan bicara lagi dengan mereka, dengan... dengan Nawasena. Aku akan meyakinkannya.” Pak Adi menatap putrinya tajam, ekspresinya penuh kekecewaan. “Mencoba? Tidak ada kata mencoba, Alisha. Kamu harus berhasil. Ini bukan hanya tentang kamu, ini tentang perusahaan, tentang keluarga kita. Kamu pikir siapa yang akan menanggung akibat dari kegagalan ini?” “Alisha tahu, Pa...” bisik Alisha, suaranya hampir tak terdengar. “Kalau kamu tahu, buktikan! Gunawan Group bukan perusahaan kecil, Alisha. Mereka bisa dengan mudah menemukan mitra bisnis lain. Dan kita? Kita kehilangan kesempatan besar yang sudah Papa perjuangkan bertahun-tahun!” Pak Adi kembali duduk, menyandarkan punggungnya dengan napas yang berat. “Aku beri kamu waktu seminggu, Alisha. Temui Nawasena dan yakinkan dia. Gunakan semua kemampuanmu. Apa pun yang harus kamu lakukan, lakukanlah. Aku tidak mau mendengar alasan lagi.” Alisha menggenggam tangannya erat-erat di pangkuannya. Matanya terasa panas, tetapi ia tidak ingin menangis. Tidak di depan ayahnya. “Baik, Pa. Alisha akan melakukannya,” jawabnya akhirnya, suaranya lebih mantap. Pak Adi hanya mengangguk kecil. “Seminggu, Alisha. Jangan kecewakan Papa lagi.” “Alisha tidak akan mengecewakan Papa,” ucapnya pelan sebelum bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu dengan langkah berat. --- Dania, yang sudah menunggu di luar, langsung menghampiri Alisha begitu melihat wajah murung bosnya. “Bagaimana, Nona? Apa yang terjadi?” Alisha menghela napas panjang. “Papa marah besar. Aku harus memperbaiki ini, Dan. Bagaimanapun caranya, aku harus membuat Gunawan Group setuju untuk bekerja sama dengan kita.” Dania mengangguk penuh pengertian. “Apa yang bisa aku bantu, Nona?” Alisha tersenyum kecil, meskipun hatinya masih terasa berat. “Terima kasih, Dania. Untuk sekarang, aku hanya butuh waktu untuk menyusun rencana.” “Kalau begitu, aku akan siapkan semua data yang mungkin dibutuhkan, Nona,” kata Dania penuh semangat. “Terima kasih, Dan. Kamu memang andal,” ujar Alisha, mencoba terdengar ceria meski pikirannya terus berputar, memikirkan apa yang harus dilakukan. --- Sisa hari itu dihabiskan Alisha untuk mempersiapkan diri. Namun, meskipun tangannya sibuk memeriksa dokumen dan menyusun strategi, pikirannya terus melayang-layang ke pertemuan berikutnya dengan Nawasena. Pria itu telah meruntuhkan egonya dengan cara yang begitu brutal kemarin. Kini, ia harus kembali menghadapinya untuk memperbaiki segalanya. “Kenapa harus dia?” gumam Alisha sambil memutar bolpoin di tangannya. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Kenapa Gunawan Group harus dipimpin oleh pria menyebalkan seperti itu?” Namun, di balik rasa kesalnya, ada dorongan kuat yang membuatnya tak ingin menyerah. Ini bukan hanya soal memenuhi tuntutan ayahnya, tetapi juga tentang harga dirinya sebagai profesional. Alisha tahu, ia harus membuktikan bahwa dirinya mampu mengatasi situasi ini. Dengan tekad baru, ia menarik napas dalam-dalam. “Aku akan menunjukkan pada Nawasena, dan Papa, bahwa aku bisa melakukannya. Mereka tidak akan meremehkanku lagi.” ****** Mobil sedan Alisha terparkir rapi di halaman VVIP Gunawan Group, perusahaan besar yang menjadi fokus ambisi ayahnya. Ini adalah kali kedua dia menginjakkan kaki di tempat ini, dan entah kenapa, keengganan untuk melangkah masuk terasa semakin berat. Dia menarik napas dalam sebelum keluar dari mobil, mencoba meredakan gemuruh hatinya. Ia tahu betul bahwa pertemuan kali ini tak akan mudah. Terutama karena di dalam sana, menunggunya pria dengan tatapan dingin dan sikap angkuh yang membuat darahnya mendidih—Nawasena. “Tenang, Alisha,” bisiknya pada diri sendiri, menguatkan hati. Begitu masuk ke lobi, seorang sekretaris menyambutnya dengan ramah. “Selamat siang, Nona. Anda pasti datang untuk bertemu dengan Pak Nawasena, kan?” Alisha sempat terkejut. “Siang. Ya, benar. Apa dia ada di dalam?” tanyanya, berusaha tetap terlihat tenang. “Tentu, silakan masuk. Pak Nawasena sedang menunggu,” jawab sekretaris itu sambil menunjuk ke arah pintu besar di ujung lorong. “Terima kasih.” Alisha tersenyum tipis, lalu melangkah dengan langkah mantap meski hatinya terasa gelisah. Sesampainya di depan pintu, dia mengetuk pelan. Suara berat dan dingin dari dalam langsung menyahut, “Masuk.” Alisha membuka pintu dan melangkah masuk. Baru saja dia berdiri di ambang pintu, suara dingin menyambutnya tanpa basa-basi. “Ada apa lagi?” Nawasena bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop di mejanya. Kalimat itu langsung membuat d**a Alisha berdegup kesal, tetapi dia menahan diri. Tenang, Alisha. Jangan terpancing. “Saya ingin membicarakan tentang kerja sama yang Bapak tolak kemarin,” jawabnya, berusaha menjaga nada suaranya tetap sopan. “Saya berharap kita bisa mendiskusikannya lagi.” Akhirnya, Nawasena mengangkat wajahnya, menatap Alisha dengan tatapan tajam yang membuat hawa ruangan terasa lebih dingin. Ia mengamati Alisha sesaat sebelum menjawab singkat, “Jika kamu masih tidak mengerti penjelasan kemarin, aku rasa kita buang-buang waktu di sini.” Alisha menarik napas panjang, mencoba mengesampingkan keinginannya untuk membalas ucapan pria itu dengan nada pedas. “Saya mengerti, Pak. Tapi izinkan saya memberikan penjelasan tambahan agar kita bisa mencapai kesepakatan yang lebih baik.” Nawasena mendengus ringan, lalu melepas kacamatanya dan menyandarkan tubuh ke kursi. “Baiklah,” katanya akhirnya, meskipun nada suaranya terdengar malas. Dia mengisyaratkan Alisha untuk duduk di sofa besar di ruangan itu. Alisha melangkah ke sofa dan duduk dengan tenang. “Terima kasih, Pak,” ucapnya sambil menyusun pikirannya. Sementara Alisha berbicara, menjelaskan strategi dan manfaat dari kerja sama ini, Nawasena mendengarkan dengan ekspresi datar. Namun, pandangannya kadang-kadang melirik lebih lama dari yang seharusnya. Alisha, dengan kemeja satin marun yang membalut tubuhnya, celana kulot hitam, dan rambut yang tersisir rapi, tampak anggun dan profesional. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara—tegas, sabar, tetapi tak kehilangan kelembutan—yang membuat Nawasena diam-diam terpesona. Berbeda dari kebarbaran wanita ini saat berada di acara Reuni dan kemarin. “Dia cantik,” gumam Nawasena dalam hati, tetapi ekspresi wajahnya tetap tidak menunjukkan apa pun. Saat Alisha selesai bicara, Nawasena menyela dengan nada sinis. “Kenapa hanya delapan puluh persen, kalau bisa seratus persen?” Alisha sempat tercengang, tetapi ia buru-buru menguasai diri. “Itu hanya perumpamaan, Pak. Maksudnya, kita ingin menyesuaikan dengan kebutuhan dan potensi kerja sama ini.” “Perumpamaan?” Nawasena menyipitkan matanya, nadanya tajam. “Sepertinya kamu tidak memahami skala bisnis ini.” Ucapan itu terasa seperti pukulan telak, tetapi Alisha menahan diri. Ia hanya tersenyum tipis, mencoba mengabaikan ejekan tersebut. “Kalau ada yang kurang sesuai, kita bisa mendiskusikannya lebih lanjut, Pak.” Respon tenangnya membuat Nawasena sedikit terkejut. Dia menduga Alisha akan terpancing emosi, tetapi wanita itu ternyata mampu menjaga kendali dengan baik. “Baik,” kata Nawasena akhirnya. “Aku akan mempertimbangkannya.” Alisha mengerutkan dahi. “Maksudnya bagaimana, Pak?” Nawasena menatapnya tajam, lalu menyindir, “Apa itu terlalu sulit dimengerti? Jangan-jangan kamu ini bodoh?” Alisha terdiam, hatinya membara. Ia ingin sekali membalas ucapan kasar itu, tetapi memilih menahan diri. “Maaf jika saya salah paham, Pak. Saya hanya ingin memastikan bahwa apa yang saya sampaikan bisa diterima dengan jelas,” jawabnya sopan, meskipun nadanya sedikit bergetar. Nawasena mendengus kecil, tetapi sorot matanya berubah. Ada kekaguman yang ia sembunyikan di balik sikap angkuhnya. Dia punya pengendalian diri yang luar biasa. “Baiklah. Aku akan beri kesempatan. Tapi aku ingin kamu yang menandatangani kontrak, bukan timmu,” katanya, menantang. Alisha merasa lega sekaligus kesal. Pria ini benar-benar tahu cara membuat situasi lebih sulit dari yang seharusnya. “Baik, Pak. Saya akan mengaturnya,” katanya, berusaha tetap tenang. Nawasena berdiri dan berjalan kembali ke mejanya, mengisyaratkan bahwa pertemuan telah selesai. “Kalau sudah selesai, kamu bisa keluar,” ujarnya tanpa menoleh. Alisha berdiri perlahan. “Terima kasih atas waktunya, Pak,” ucapnya sopan sebelum melangkah keluar. Begitu pintu tertutup, dia menghela napas panjang. “Aku hampir kehilangan kendali tadi,” gumamnya, merasakan gejolak emosi yang masih tertahan di dadanya. Namun, di dalam ruangan, Nawasena bersandar di kursinya dan tersenyum tipis. “Dia tidak seperti yang kupikirkan. Menarik.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD