Bab 8

1383 Words
Sore itu, Alisha menyetir mobilnya dengan pikiran penuh menuju rumah orang tuanya. Langit senja yang berwarna jingga sedikit mengurangi rasa lelahnya. Sesampainya di rumah, aroma masakan khas Mama langsung menyambutnya di ambang pintu, membuatnya tersenyum. Tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu, Alisha langsung melangkah ke dapur. Di sana, Mama Tita tampak sibuk menggoreng sesuatu. “Mamaaaa! Anak Mama pulang!” seru Alisha manja, memeluk Tita dari belakang dengan gaya dramatis. Tita terkekeh, meletakkan spatula dan menoleh. “Iya, anak Mama yang cantik sudah pulang. Tumben banget, ada angin apa, hah?” “Kan anak Mama rindu sama Mama,” Alisha menyenderkan kepala di bahu Tita seperti anak kecil, matanya terpejam, menikmati momen itu. “Mama kangen nggak?” Tita tertawa kecil, tangannya terangkat mengelus kepala Alisha dengan lembut. “Mama selalu kangen, Sayang. Tapi pasti ada sesuatu, kan? Bilang ke Mama.” Alisha melepas pelukannya dan menatap ibunya. “Alisha cuma pengen dimanja. Mama masakin yang enak, ya!” Tita tersenyum sabar. “Tumben banget, biasanya sibuk terus. Nggak ada apa-apa, kan?” “Ah, Mama ini. Jangan terlalu banyak tanya, nanti Alisha mewek,” ujar Alisha sambil mengerucutkan bibirnya. Dia buru-buru mengalihkan topik. “Itu, Mama masak apa sih? Baunya bikin lapar!” “Cuma goreng mendoan, sama mau bikin sayur asem. Kamu mau apa lagi?” “Ayam goreng kecap, Ma. Sama sambal terasi yang pedes banget!” Alisha langsung duduk di kursi dekat meja makan sambil menopang dagu. “Kalau nggak ada itu, nggak jadi rindu-rinduan, nih.” “Dasar tukang perintah,” gumam Tita sambil tersenyum. Meski begitu, ia tetap melanjutkan memasak sesuai permintaan putrinya. Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar dari arah ruang tamu. “Tumben si ratu sibuk ada di rumah?” Arkana, adik Alisha, muncul dengan ekspresi heran. “Kenapa? Iri, ya?” Alisha melipat tangan di d**a sambil menaikkan alis, menantang adiknya. “Ya jelas, dong. Biasanya kamu sibuk kerja. Sekarang ke sini cuma mau makan, kan?” Arkana nyengir, langsung menyambar tempe mendoan yang baru diangkat dari wajan. “Hei! Itu belum dingin!” seru Alisha, berdiri dan mengejar Arkana yang melarikan diri sambil mengunyah. “Kalian ini kenapa sih, ribut mulu,” Tita menggelengkan kepala, mencoba menahan tawa melihat tingkah dua anaknya. Setelah makan malam bersama, Alisha akhirnya duduk di sofa ruang tengah, bersandar dengan perut kenyang. Arkana bergabung, membawa semangkuk camilan yang masih hangat. “Ka, kamu tahu nggak, Mama itu masakannya bikin ketagihan,” ujar Alisha sambil memandang ke arah dapur. Arkana mendengus. “Ya iyalah, nggak heran kamu pulang. Pasti buat makan gratis, kan?” “Awas, ya!” Alisha langsung melempar bantal sofa ke arah Arkana. Setelah tertawa dan bercanda sebentar, suasana mulai tenang. Arkana, dengan mata masih menatap layar TV, tiba-tiba bertanya, “Kak, gimana sama Zian?” Pertanyaan itu membuat Alisha terdiam sejenak. Senyumnya yang tadi ceria perlahan pudar. “Udah nggak ada urusan sama dia,” jawab Alisha pelan, matanya tetap fokus pada layar TV. Arkana melirik kakaknya sekilas. “Bagus. Dia nggak pantas buat kamu.” Alisha langsung menoleh tajam. “Kamu tahu sesuatu? Jangan-jangan kamu stalking, ya?” “Enggak,” jawab Arkana cepat, tapi wajahnya sedikit panik. “Hah, pasti ada yang kamu sembunyiin, Ka!” Alisha bangkit dan mulai menyikut bahu adiknya. “Udah, Kak! Apaan sih!” seru Arkana kesal. Plak. Alisha menepuk bahu Arkana. “Ngaku sekarang!” “Mamaaaa! Kak Alisha nyebelin!” Arkana langsung berteriak, mengadu ke atas. Dari lantai atas, suara Tita terdengar. “Ya ampun, kalian kenapa lagi?!” Arkana langsung bangkit, membawa camilannya ke kamar. “Udah ah, nggak mau ngomong lagi. Bye!” Alisha hanya mendengus, lalu bersandar kembali ke sofa. “Dasar bocah,” gumamnya sambil melipat tangan di d**a, senyumnya mulai kembali menghiasi wajahnya. Meski sering bertengkar, suasana hangat seperti ini selalu membuat Alisha merasa nyaman. Di balik tingkah barbar dan manjanya, inilah caranya menunjukkan bahwa ia sangat menyayangi keluarganya. **** Di balkon apartemennya yang berada di lantai atas, Alisha berdiri memandangi pemandangan malam kota yang gemerlap. Langit dipenuhi bintang, sementara lampu-lampu kota membentuk pola tak beraturan namun indah. Biasanya, pemandangan seperti ini menenangkan hatinya, tetapi malam ini tidak. Kepalanya terlalu gaduh dengan pikiran tentang masa lalunya yang pahit. Hembusan angin malam menerpa wajahnya, mengacak rambut panjangnya yang tergerai. Ia menarik napas panjang, tetapi udara dingin itu tak cukup untuk meredakan amarah dan benci yang perlahan memenuhi dadanya. "Apa Arkana tahu sesuatu? Kenapa dia bilang begitu soal Zian?" gumam Alisha sambil menatap jauh ke arah lampu-lampu kota. Kata-kata adiknya terus terngiang di kepala. Ingatan tentang Zian, pria yang pernah ia cintai, kembali menghantui. Perlakuan Zian yang dulu ia anggap sebagai kasih sayang kini terasa seperti duri tajam yang menusuk hatinya. "Kenapa aku dulu bisa sebodoh itu?" Alisha bergumam, jemarinya mencengkeram pagar balkon hingga buku-buku jarinya memutih. Ia mengingat betapa Zian selalu datang membawa janji manis, seolah ia adalah segalanya bagi pria itu. Janji untuk tidak meninggalkan. Janji untuk selalu ada. Janji untuk tidak menyakiti. Namun semua itu tak lebih dari kebohongan. Alisha memejamkan mata, napasnya terengah oleh emosi yang mendesak keluar. Bayangan saat Zian dengan mudah mengkhianatinya, wajah puas pria itu ketika mencoba membalikkan kesalahan kepadanya—semua itu kembali menghantam pikirannya. “Kamu tuh bodoh, Alisha,” ucapnya pada dirinya sendiri, suaranya penuh cemooh. “Kamu terlalu percaya sama orang yang cuma pandai memanfaatkan!” Ia menghentakkan kakinya ke lantai balkon dengan kasar, mencoba melampiaskan sedikit kekesalan yang meluap. "Apa aku begitu t***l sampai nggak bisa lihat sifat aslinya?!" Alisha memukul pagar besi di depannya, tetapi rasa sakit di tangannya itu tak sebanding dengan sakit yang memenuhi dadanya. Merasa tak mampu lagi berdiri, ia menyeret tubuhnya masuk ke kamar. Begitu sampai di ranjang, ia melemparkan tubuhnya ke atas kasur, wajahnya tenggelam di bantal. "Zian, bajing*n, b******k, dasar penipu ulung!" teriaknya dengan suara teredam bantal. Dadanya bergetar karena emosi yang tertahan, dan air mata mulai membasahi sarung bantal putih itu. Kenangan pahit terus berdatangan, seperti arus deras yang tak bisa dihentikan. Saat ia menangis karena ditinggalkan Zian untuk alasan yang tak jelas. Saat ia tahu Zian sedang bersenang-senang dengan orang lain, sementara ia menunggu penuh harap. Saat Zian mengucapkan kata-kata kejam yang menghancurkan rasa percaya dirinya. “Kamu nggak pernah benar-benar cinta sama aku, ya?” gumamnya pelan, air matanya semakin deras mengalir. Alisha memeluk dirinya sendiri, mencoba menenangkan tubuhnya yang bergetar. Bukan hanya rasa benci pada Zian yang membuat dadanya sesak, tapi juga rasa benci pada dirinya sendiri. "Bodoh banget aku waktu itu. Kenapa aku nggak lihat tanda-tandanya? Kenapa aku biarin diriku dihancurin kayak gitu?” Malam itu, Alisha menatap kosong ke langit-langit kamarnya, berusaha mengatur napas yang terasa berat. Ia tahu, suatu saat ia akan benar-benar bisa melupakan Zian. Ia tahu, akan ada hari di mana nama pria itu tak lagi menimbulkan perasaan apa-apa. Namun, malam ini, ia membiarkan dirinya menangis. Mungkin, dengan air mata ini, ia bisa sedikit demi sedikit membuang luka dan kebenciannya, lalu mulai melangkah ke depan. ****** Pagi itu, meski tubuhnya terasa lelah dan pikirannya sedang kacau, Alisha tetap melangkah dengan percaya diri ke kantor. Setelan knit turtleneck hitam berpadu celana kulot senada menampilkan kesan tegas dan anggun. Rambut panjangnya ia ikat rapi, memperkuat aura profesional yang sudah melekat pada dirinya. Meski hatinya penuh gejolak dan tubuhnya sedikit melemah, tak ada satu pun yang bisa membaca keadaan dirinya dari luar. “Duh, Bu Alisha hari ini elegan banget!” celetuk Anggi, yang tengah berbicara dengan Lia di lorong kantor. “Kayaknya dia pakai apa aja pasti bagus, ya. Cantik banget,” tambah Lia sambil menatap Alisha yang melintas di depan mereka. Tio, yang mendengar obrolan mereka, ikut menimpali dengan nada bercanda, “Kalau dia bukan bos gue, udah gue ajak dinner, tuh!” Anggi langsung memukul lengan Tio. “Halu! Belum tentu juga dia mau sama kamu,” balasnya sambil mendengus. Lia tertawa kecil mendengar mereka bercanda. Sementara itu, Alisha tetap melangkah tanpa banyak bicara. Senyumnya tipis, cukup untuk menyapa karyawan yang kebetulan ia lewati. Meskipun terlihat santai, langkahnya tegas. Orang-orang sering tak menyangka bahwa sosok anggun seperti dirinya bisa berubah menjadi "barbar" di saat-saat tertentu, terutama ketika ia sedang berada di bawah tekanan. Begitu sampai di ruangan, Diana, asisten pribadinya, menyapanya dengan senyum ramah. “Selamat pagi, Nona Alisha.” Alisha mengangguk dan balas tersenyum. “Pagi, Diana. Ada kabar terbaru?” tanyanya tanpa basa-basi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD