Bab 9

1457 Words
Alisha mengangguk dan balas tersenyum. “Pagi, Diana. Ada kabar terbaru?” tanyanya tanpa basa-basi. “Dari Pak Adi, beliau meminta Nona hadir di kantor pusat nanti siang. Sedangkan dari pihak Nawasena, masih belum ada kepastian.” Raut wajah Alisha sedikit berubah. Matanya menyipit tajam, menunjukkan ketidakpuasan. “Belum ada kabar sama sekali dari mereka?” tanyanya, suaranya tetap tenang meski jelas ada nada kesal. “Saya sudah coba follow-up lagi, Nona. Tapi Tuan Nawasena meminta Nona untuk menghubunginya langsung.” Alisha mendengus pelan, mengangkat sebelah alisnya. “Kenapa urusan ini jadi makin rumit?” gumamnya dengan nada rendah namun cukup tajam. ------- Setelah beberapa saat menimbang-nimbang, Alisha akhirnya memutuskan untuk menghubungi Nawasena. Ia tidak suka dipermainkan atau disuruh-suruh tanpa alasan jelas. Ia menekan nomor Nawasena di ponselnya, menunggu nada sambung sambil menahan rasa kesal yang mulai membuncah. Telepon tersambung setelah beberapa dering. Suara dingin dan tenang Nawasena terdengar di seberang. “Alisha,” sapanya singkat, tanpa basa-basi. “Tuan Nawasena,” balas Alisha dengan nada penuh penekanan, jelas-jelas menunjukkan kejengkelannya. “Saya dengar dari sekretaris saya, Anda meminta saya untuk menghubungi langsung. Ada apa? Apakah ada masalah dengan kerja sama ini?” Tidak ada jeda lama sebelum Nawa menjawab, “Tidak ada masalah. Saya hanya ingin memastikan kita berbicara langsung tentang hal ini, tanpa perantara.” Alisha mendengus pelan, menahan rasa kesal yang semakin menjadi-jadi. “Tanpa perantara? Apa maksud Anda, Tuan Nawasena? Bukankah untuk itu ada tim yang mengurus detail teknis? Kalau ada yang perlu didiskusikan, kenapa tidak langsung disampaikan lewat mereka?” “Ada hal yang lebih penting daripada sekadar detail teknis,” jawab Nawa dingin. Suaranya tenang, tapi nada otoritasnya membuat Alisha semakin merasa tidak nyaman. “Hal penting apa? Kalau memang begitu penting, kenapa tidak Anda yang menelepon saya lebih dulu? Kenapa harus melalui sekretaris saya, lalu menyuruh saya menghubungi Anda?” Suara Alisha naik satu oktaf, nada bar-bar khasnya mulai keluar. “Karena saya ingin tahu apakah Anda cukup peduli untuk menindaklanjuti langsung,” jawab Nawa dengan santai, bahkan terdengar seperti menyindir. Alisha terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Cukup peduli?” tanyanya, nada suaranya sarat dengan emosi. “Dengar, Tuan Nawasena, saya punya banyak hal yang harus saya urus. Kalau Anda pikir ini soal perhatian atau kepedulian, Anda salah besar. Saya hanya ingin memastikan kerja sama ini berjalan lancar. Jadi kalau Anda punya sesuatu yang penting untuk disampaikan, katakan sekarang.” “Tenang, Alisha,” balas Nawa tanpa mengubah nada dinginnya. “Saya hanya ingin memastikan bahwa Anda yang memutuskan langkah berikutnya. Saya tidak mau ini menjadi tanggung jawab orang lain.” “Tanggung jawab saya sudah jelas, dan saya tidak pernah lari dari itu,” balas Alisha tajam. “Kalau memang itu tujuan Anda, maka sebaiknya kita segera menyelesaikan hal ini. Saya tidak punya waktu untuk permainan semacam ini.” Di ujung telepon, Nawasena tersenyum kecil, meski Alisha tidak bisa melihatnya. “Baiklah. Kalau begitu, kita akan bicarakan semuanya di pertemuan berikutnya. Saya akan pastikan Anda hadir langsung. Tidak ada delegasi lagi.” “Kalau itu yang Anda inginkan, saya akan datang,” jawab Alisha dengan nada tegas. “Tapi pastikan tidak ada lagi drama semacam ini, Tuan Nawasena. Saya tidak punya waktu untuk itu.” “Drama? Saya hanya memastikan Anda tetap terlibat, Alisha,” balas Nawa dengan nada tenang, tapi ada sesuatu di suaranya yang terdengar seperti sindiran. “Sampai bertemu nanti.” Telepon terputus sebelum Alisha sempat membalas. Ia menatap layar ponselnya dengan wajah kesal, lalu menghembuskan napas panjang. “Pria itu benar-benar bikin naik darah,” gumamnya sambil memijat pelipisnya. “Tapi, baiklah, Tuan Nawasena. Kalau ini yang kau mau, aku akan pastikan semuanya berjalan sesuai caraku.” -------- Diana yang mendengar itu hanya bisa tersenyum kecil, tahu betul bahwa meski Nona Alisha terlihat lembut, ia bisa berubah menjadi sosok yang tak segan-segan menekan pihak lawan jika keadaan menuntut. Tak lama, Alisha mulai mempersiapkan pertemuan penting sore ini. Tubuhnya yang terasa berat dan kepala yang sedikit berdenyut tak menghentikannya. Meski terkadang ia berhenti sejenak untuk memijat pelipisnya, ia segera kembali fokus pada tugas-tugasnya. Diana mengetuk pintu ruangan dan masuk, membawa segelas air hangat. “Nona, Anda terlihat kurang fit. Mungkin sebaiknya istirahat sebentar.” Alisha mendongak, tersenyum tipis. “Terima kasih, Diana, tapi aku baik-baik saja. Ini hanya sedikit flu, kok,” katanya, meski tubuhnya jelas membutuhkan istirahat. “Kalau begitu, biar saya yang menyetir nanti, ya, Nona,” tawar Diana. Alisha sempat menolak, tetapi akhirnya menyerah dan menyerahkan kunci mobil kepada Diana. “Baiklah, terima kasih, Dit,” ucapnya. Di perjalanan, Diana melirik ke arah Alisha melalui kaca spion. Meski wajah bosnya tampak sedikit pucat, Alisha tetap memancarkan wibawa yang tak terbantahkan. Elegan, kuat, namun tetap memiliki sisi manusiawi yang membuat siapa pun merasa dihormati saat berada di dekatnya. Namun, Diana tahu satu hal lagi tentang Nona Alisha yang jarang diketahui banyak orang. Di balik keanggunan dan profesionalismenya, Alisha bisa menjadi sosok yang tak kenal ampun jika menyangkut keadilan. Ia tak ragu “menghajar” secara verbal siapa pun yang meremehkan dirinya atau timnya. Ia adalah perpaduan unik antara keanggunan seorang ratu dan keberanian seorang prajurit. Bahkan saat sedang tidak fit seperti ini, kepribadiannya tetap memikat dan membuat siapa pun segan. Diana hanya bisa tersenyum kecil, kagum pada bosnya yang luar biasa. **** Di balik jendela besar kantornya, sinar matahari siang menyorot tajam, menyelinap melalui celah-celah tirai yang tak sepenuhnya tertutup. Panas matahari justru menambah rasa gerah di kepala Nawasena. Bukannya bekerja, pikirannya berlarian ke mana-mana. Di depannya, layar laptop menampilkan laporan yang harus segera ia revisi, tetapi matanya tak benar-benar fokus. Ia bersandar di kursinya, tangan terlipat di depan d**a, sementara tatapannya menerobos jauh ke luar jendela, seolah mencari jawaban yang tak kunjung ditemukan. Wajahnya dingin dan serius, namun hatinya sedang bergolak. “Cinta itu lelucon,” gumamnya sinis, suaranya nyaris tenggelam dalam gemuruh hujan. "Hanya racun yang melemahkan." Kata-kata itu ia lontarkan untuk menenangkan dirinya, seperti mantra yang sudah lama ia yakini. Luka dari cinta pertamanya, Alisha, masih menyayat hingga kini. Gadis itu pernah menjadi pusat dunianya, cinta sejatinya. Namun, di akhir cerita, Alisha menghancurkannya—atau setidaknya itulah yang Nawasena yakini sampai saat ini. Ia menghela napas panjang, mencoba kembali fokus pada layar laptop, tetapi lagi-lagi pikirannya teralih. Bayangan wanita yang kini menjadi rekan kerja samanya tiba-tiba muncul. Alisha. Wajah gadis itu melintas jelas di kepalanya. Wajah yang dulu pernah ia cintai, kini muncul dengan versi yang berbeda—lebih matang, lebih percaya diri, dan lebih liar. Ingatan tentang Alisha di meja rapat, dengan tatapannya yang tajam dan kata-kata tegas, seketika bercampur dengan kenangan malam pertama mereka bertemu kembali. Di sebuah bar, tanpa sengaja. Nawasena mengingat jelas malam itu. Ia tak tahu siapa yang lebih terkejut, dirinya atau Alisha. Gadis itu tampak berbeda—rambutnya tergerai acak, pipinya sedikit memerah karena minuman, dan tawa liarnya yang mengisi ruangan seperti tak peduli pada dunia. Saat itu, Nawasena hanya bisa berdiri terpaku, menatap wanita yang dulu ia kenal begitu baik, kini terlihat seperti orang asing. Namun, bukan itu yang membuatnya terus teringat. Yang membuatnya gila adalah Alisha yang tak peduli dengan keberadaannya, malah melayangkan senyuman nakal sebelum meneguk minumannya hingga habis. Bahkan ia berani melontarkan candaan kasar saat mereka bertemu langsung, tanpa sedikit pun rasa sungkan. Nawasena, yang biasanya tak mudah terpancing, hanya bisa mendengus pelan. Namun diam-diam, ia mendapati dirinya tersenyum kecil mengingat kejadian itu. Ada sesuatu tentang Alisha yang tak bisa ia abaikan—gabungan antara keberaniannya yang liar dan aura elegannya yang tak pernah pudar. Ia tersadar dari lamunannya dan langsung meremas sandaran kursinya. "Apa-apaan aku ini," desisnya pelan. Wajahnya yang semula tenang kini terlihat tegang. “Dia cuma gangguan,” katanya pada dirinya sendiri. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Alisha bukan hanya sekadar wanita yang lewat dalam hidupnya. Ia adalah orang yang pernah ia izinkan masuk jauh ke dalam hati—dan merusaknya. "Kenapa aku harus memikirkannya?" desis Nawasena, frustrasi. "Dasar gadis gila," gumamnya nakal, tak sadar bahwa ia membiarkan pikirannya terbuai sejenak. Tapi senyum itu segera hilang, digantikan oleh sorot mata tajam. "Tidak. Aku tidak boleh terjebak lagi." Kenangan masa lalu itu terlalu membekas, terlalu menyakitkan. Ia tahu, Alisha bukan wanita biasa baginya. Ia adalah cinta pertama sekaligus luka terbesarnya. Dan meskipun ada bagian dari dirinya yang masih merasakan daya tarik wanita itu, Nawasena tak akan membiarkan hatinya kembali runtuh. “Aku sudah cukup bodoh dulu,” gumamnya pelan. "Dia tidak akan bisa menyakitiku lagi." Meski ia terus menyangkal, ia tahu bahwa dinding yang ia bangun selama ini mulai retak. Setiap langkah Alisha di hadapannya, setiap tatapan tajam yang ia temui, membuat benteng itu perlahan runtuh. Dan itu membuat Nawasena takut. Bukan karena Alisha. Tetapi karena ia tahu, Alisha adalah satu-satunya wanita yang pernah benar-benar memiliki hatinya. Dan mungkin, masih memilikinya hingga kini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD