Bab 9. Siapa Dia Sebenarnya?

1040 Words
Besok paginya, Yudhi terbangun sebelum azan subuh. Tidak lupa dia membangunkan Arina. Ketika Arina membuka mata dia berikan senyuman termanis pada istrinya itu. "Mandi ya, Mas bantu ke kamar mandi." Sepertinya Yudhi tahu biasanya kebanyakan perempuan setelah malam pertama akan merasakan sakit, pria itu khawatir Arina akan kesulitan berjalan karenanya. Yang dia maksud membantu ke kamar mandi itu bukan membantu jalan ke kamar mandi, melainkan menggendong ke kamar mandi. Arina pun tersipu dengan perlakuan manis suaminya. Sampai di kamar mandi, Yudhi menurunkan Arina. "Kalau sudah selesai, teriak aja ya, nanti Mas gendong lagi." Sebuah senyuman mengembang di bibir Yudhi. "Enggak usah berlebihan deh kayaknya Mas, aku bisa jalan sendiri kok." Arina meyakinkan Yudhi kalau dia baik-baik saja. "Lagian kan kalau Mas gendong aku lagi, terus aku udah wudhu, ya wudhunya jadi batal dong." Yudhi tersenyum sambil menggaruk tengkuk belakangnya. "Iya juga ya. Ya sudah mandi aja dulu, terus salat subuh jamaah ya. Eh, tapi salat subuh nya tunggu Mas habis mandi, ya." Arina tersenyum sebelum menutup pintu kamar mandi. Agak lama dia mandi pagi ini. Setelahnya dia keluar sendiri dari kamar mandi. Yudhi memperhatikan Arina berjalan keluar dari kamar mandi, perempuan itu terlihat baik-baik saja. Padahal sebenarnya Arina menahan rasa sakitnya. "Bener ya enggak apa-apa. Ya sudah Mas mandi dulu. Tunggu sebentar, ya." Tidak perlu menunggu lama, Yudhi sudah selesai dari kamar mandi. Mereka pun menunaikan salat subuh berjamaah. Selesai salat, Yudhi mengajak Arina ke dapur, tetapi dia tidak mengizinkan perempuan itu masak. Dia memasak sarapan sendiri lalu meminta Arina menunggu di meja makan. Sarapan simpel pagi hari mi rebus dengan telur karena memang tidak ada stok makanan lain untuk pagi itu di sana. Namun, pria itu memasukkan semua dalam satu mangkok dan meletakkan dua sendok di sana. Kemudian dia bawa ke meja makan. "Kok cuma satu Mas?" tanya Arina yang merasa bingung melihat kedatangan suaminya dari dapur. "Kita makan berdua aja. Enggak apa-apa, kan?" tanya pria itu yang tidak mendapat penolakan dari istrinya. Mereka duduk bersebelahan lalu makan bersama. Sesekali Yudhi menyuapi Arina dengan sendoknya. Perlakuan manis Yudhi justru akan membuat Arina semakin sedih untuk melepaskan suaminya itu kembali ke Jakarta. Selesai sarapan keduanya duduk di sofa ruang tengah. "Kenapa harus pergi sih, Mas?" Arina melakukan protes lagi pada suaminya. "Mas harus kerja, Rin, apa kamu mau ikut Mas balik ke Jakarta sekarang juga? Sebenarnya Mas juga sedih harus ninggalin kamu sendirian di sini, tapi mau gimana lagi." Arina menghembuskan napas berat. "Aku belum bisa langsung balik ke Jakarta, Mas. Aku harus ngurus kepindahan dulu dari rumah sakit. Enggak bisa main pergi gitu aja." Semakin bertambahnya waktu, keduanya semakin enggak untuk berpisah. "Beri Mas waktu satu bulan, dalam waktu satu bulan itu Mas akan jemput kamu. Mas akan urus semua proses pemindahan kamu ke Jakarta." "Mas janji?" "Iya, Mas janji satu bulan lagi akan ke sini, jemput kamu." "Ok, kalau gitu aku akan nunggu." Hari itu Arina memutuskan untuk datang ke rumah sakit agak siang karena dia akan menunggu sampai Yudhi dijemput oleh sekretarisnya yang dia akui sebagai teman pada Arina. Satu jam menunggu, Sekretaris Yudhi datang menjemput dengan mobil mini bus biasa. Tidak dengan mobil sedan mewah sesuai permintaan Yudhi karena dia belum mau menunjukkan siapa jati diri sebenarnya. Pria itu pamit pada Arina dengan mencium kening perempuan itu lama sekali. Setelah itu Arina mencium tangan Yudhi. Pria itu masuk mobil diiringi dengan bulir bening yang mengalir dari kedua mata Arina. Setelah mobil yang membawa Yudhi tidak terlihat lagi, Arina bergegas ke rumah sakit. Dia kembali tinggal sendiri. Entah selanjutnya dia akan kuat atau tidak ketika ditinggal sang suami. Walaupun kebersamaan mereka cuma sejenak, tetapi meninggalkan kesan yang mendalam. Arina berjanji pada dirinya sendiri untuk menunggu Yudhi datang menjemputnya di sana. *** Malam harinya, saat Arina baru selesai makan, ponselnya berdering, ada panggilan dari nomor yang tidak dia kenal. Arina terima panggilan itu karena khawatir jika ada panggilan telepon dari warga sekitar yang membutuhkan bantuannya. "Halo," sapa Arina menunggu suara dari penelepon. Matanya membulat saat mendengar suara dari orang yang sangat dia rindukan. "Mas Yudhi?" "Iya, kamu lagi apa, Rin? Teleponnya ganti video ya." "Iya, Mas." "Nah, sekarang kan keliatan cantiknya. Kamu udah makan, Rin?" "Udah, Mas. Ini lagi santai. Tadinya mau nonton TV tapi kok males. Mas kok teleponnya pakai nomor lain, HP yang biasanya ke mana?" "Oh itu, sengaja ganti, ini nomor Mas yang dulu udah diambil lagi. Kamu simpan nomor ini juga, ya!" "Ok. Mas udah makan?" "Sudah tadi. Ya Allah enggak ketemu sebentar aja rasanya kok kangen banget, ya. Kalau weekend Mas ke sana boleh enggak, Rin?" "Emang bisa? Kalau bisa, terus mau ke sini, boleh aja, Mas." "Iya, lihat nanti deh." Dari ponsel Arina, Yudhi terlihat menelepon di luar rumah, bukan di kamar atau di ruang kerjanya. "Mas belum ngantuk?" Saat itu sudah jam sembilan malam. "Belum lah, baru jam berapa ini, kan." "Mas tadi seharian ngapain aja?" Telepon berlanjut dengan saling menceritakan kegiatan mereka seharian tadi, baik yudhi juga Arina. Jam sepuluh malam panggilan telepon berakhir. Arina masuk kamar untuk beristirahat. *** Hari-hari Arina tanpa Yudhi tidak terlalu kesepian karena pria itu cukup sering menelepon dan mengirim pesan untuk Arina untuk mengingatkan salat, makan dan istirahat. Pagi itu saat akan memasak sarapan, Arina mendapat telepon dari Arya. Dia segera menerima panggilan itu. "Halo, Pa." "Rin, coba nyalain TV terus lihat berita!" perintah Arya. "Ada apa sih, Pa? Aku baru mau masak ini." "Tinggalin dulu, cepet lihat TV sekarang!" Arina menurut dan menyalakan TV. Di layar TV itu menampilkan berita seorang CEO Atmaja Grup sedang diwawancara, pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Suami Arina, Yudhistira Atmaja. Arina mengerutkan dahi menatap layar TV. "Itu Mas Yudhi, Pa?" "Iya, pantes aja Papa ngerasa kenal dengan orangnya, ternyata dia CEO Atmaja Grup. Pantes aja ada yang punya niatan jahat sama dia." Arina masih terkesiap menatap layar TV. Masih belum percaya dengan apa yang dia lihat. "Jadi, Mas Yudhi bukan orang biasa ya, Pa?" "Yah begitulah, tunggu sebentar ya, Pa, aku mau telepon Mas Yudhi dulu." Arina mematikan panggilan telepon dengan Arya lalu menghubungi Yudhi. Namun, berkali-kali dia telepon tidak ada jawaban dari Yudhi. Entah kenapa hati Arina terasa sakit karena suaminya tidak menjawab panggilan telepon darinya. 'Apa Mas Yudhi mau melupakan aku setelah dia menunjukkan jati dirinya?' batin Arina yang berpikiran negatif pada Yudhi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD