Seharian itu Arina mencoba menghubungi Yudhi tetapi tetap tidak ada jawaban dan pria itu pun tidak mencoba untuk menghubungi Arina baik lewat pesan atau lewat telepon. Pikiran negatif mulai menguasai Arina. Dia menjadi curiga pada Yudhi. Curiga pria itu akan meninggalkannya setelah Arina melihat siapa sebenarnya suaminya itu.
Detik itu juga dia menelepon papanya. Arina ingin pernikahannya dengan Yudhi disudahi karena dia merasa pria itu hanya memanfaatkannya saja selama berada di kota itu dan tidak pernah ada niatan serius dengan Arina.
"Halo, Pa." Arina menyapa papaya di telepon.
"Ada apa, Nak?" tanya Arya seolah tahu jika ada sesuatu yang terjadi pada Arina.
"Seharian ini aku coba telepon dan kirim SMS ke Mas Yudhi, tapi enggak ada jawaban, aku kok jadi curiga sama dia ya, Pa? Jangan-jangan Mas Yudhi cuma nipu aku aja ya?" Suara Arina terdengar kesal.
"Loh kenapa, Rin? Nikah kok cuma sebentar, jadi kayak mainan aja, baru sehari enggak ada kabar tapi udah panik begitu." Arya terdengar menenangkan Arina agar tidak gegabah.
"Ya kan tadi Papa lihat sendiri orangnya muncul di publik terus dia tiba-tiba enggak bisa dihubungi. Jadi, wajar dong aku mikir dia berusaha menjauh dari aku karena dia itu merasa aku ini CEO loh, enggak pantes buat kamu."
Namun, Arya berpikiran lain untuk menyikapi Arina. "Emang Yudhi bilang gitu ke kamu?"
"Ya enggak, Pa, cuma aku narik kesimpulan gitu aja. Kok setelah dia muncul di publik dia jadi enggak bisa dihubungi gitu, Pa." Arina terus berusaha meyakinkan Arya dengan isi pikirannya.
"Itu cuma kesimpulan yang kamu tarik sendiri tanpa ada bukti yang nyata, Rin. Kenapa enggak coba bersabar dulu sampai dia menghubungi kamu. Siapa tahu sekarang Yudhi sibuk, jangan langsung mengambil kesimpulan dengan bilang dia menjauh terus kamu pengen pisah dengan dia. Cobalah untuk bersabar dulu."
Apa pun yang dikatakan Arya, tidak akan masuk dalam pikiran Arina karena dia sudah yakin dengan apa yang dia pikirkan tentang Yudhi. Sudah tidak masuk lagi apa yang dikatakan oleh Arya pada Arina.
"Terus aku harus gimana, Pa?"
"Ya seperti saran Papa tadi, kamu sabar aja dulu, tunggu dia menghubungi kamu lagi. Tahan dulu kata-kata pengen pisah itu ya, Nak. Papa yakin nanti Yudhi pasti akan hubungi kamu, dia cuma perlu menyelesaikan kerjaannya dulu aja."
Arina menghembuskan napas berat. Pasrah dengan ucapan Arya. "Iya deh, Pa, aku tunggu Mas Yudhi telepon dulu. Kalau misalnya hari ini atau besok dia enggak ada kabar sama sekali, aku mau menyudahi pernikahan ini."
"Baru sama kerjaan aja udah cemburu, berarti kamu udah cinta dong sama Yudhi, ayo ngaku aja. Sejak kapan jatuh cinta sama Yudhi?" Arya malah menggoda Arina.
Wajah perempuan itu memerah hanya saja Arya tidak bisa melihatnya, apabila papanya melihat Arina seperti itu pasti akan habis jadi bulan-bulanan papanya saja.
"Apaan sih Pa? Jatuh cinta? Siapa yang jatuh cinta, aneh deh papa ini."
Arya tertawa keras. Dia tahu pasti anaknya sudah jatuh cinta pada suaminya. "Ya sudah kamu istirahat dulu aja. Tidur yang cukup ya. Besok kita ngobrol lagi. Papa juga pengen istirahat karena seharian ini ada dua operasi yang cukup menguras tenaga."
"Iya, Pa. Papa sehat-sehat ya, makasih udah mau dengerin curhatan aku."
Setelah menelepon Arya, Arina merasa sedikit lega. Dia sudah bisa tidur sekarang karena rasa kantuknya sudah mulai hadir. Dia pejamkan matanya dan tidak lama kemudian Arina tertidur.
Satu jam sudah Arina tertidur. Dia pun terbangun karena mendengar suara ponselnya berdering. Arina pun segera menolak panggilan itu. Bibirnya tersenyum puas.
"Siapa suruh enggak terima telepon tadi, sekarang rasain gimana rasanya khawatir karena teleponnya enggak diangkat." Arina tersenyum senang dan siap membalas rasa kesalnya pada Yudhi.
Arina mematikan suara dering ponselnya. Lalu dia letakkan ponsel itu dalam keadaan terbaik. Dia pejamkan lagi matanya. Arina biarkan Yudhi terus meneleponnya sampai dia lihat sudah ada sepuluh panggilan tak terjawab dari suaminya itu. Bahkan sudah ada banyak pesan masuk yang menanyakan kabar Arina.
Satu panggilan lagi masuk dari Yudhi. Arina berdehem. Kali ini dia terima panggilan telepon itu karena dia akhirnya merasa kasihan pada suaminya itu.
"Iya, halo." Suara Arina terdengar ketus.
"Maaf ya, Rin, seharian ini ternyata Mas ketinggalan HP, pulang kerja langsung mandi baru bisa cek HP. Kamu udah salat?"
Pertanyaan Yudhi terdengar seperti orang melakukan formalitas pada orang lain.
"Salat udah."
"Makan?"
"Makan juga udah."
"Alhamdulillah. Berarti udah tidur juga ya?"
"Nah itu tahu, Mas lihat enggak sekarang jam berapa?"
Jam di dinding sudah menunjukkan jam 11 malam. Sudah pasti Arina sempat tertidur dulu. "Iya ya, udah malam. Maaf banget ya, Rin. Terus sekarang kamu mau tidur lagi?" tanya Yudhi dengan Nanda bicara sedikit kecewa.
"Iya, Mas. Aku capek seharian ini cuma nunggu," ketus Arina.
"Kamu marah ya, Rin sama Mas? Maaf banget, ya."
Arina tidak menjawab karena baginya tidak semudah itu memaafkan Yudhi karena dia sempat berpikiran akan pisah dengan suaminya itu.
"Kalau kamu marah, besok Mas enggak usah kerja aja ya, Mas pengen ke sana terus nenangin kamu biar enggak marah lagi sama, Mas. Gimana?"
Arina tidak percaya dengan ucapan suaminya itu. "Aku enggak marah. Mas enggak usah deh Mas. Mas kan banyak kerjaan, kenapa harus ke sini segala? Ntar kerjaannya Mas kayak gimana?"
"Mas enggak mau denger kamu bohong kayak gitu, katanya enggak marah padahal kamu marah loh, Rin."
Arina hampir menahan tawa, dia memang sempat kesal, tetapi setelah berhasil membalas rasa kesalnya, perlahan rasa kesal itu berkurang begitu saja.
"Ya sudah aku enggak marah kok sama Mas." Arina mengubah nada bicaranya agar tidak terdengar kesal.
"Mas minta maaf ya, Rin." Pria itu terdengar tulus.
"Iya."
"Makasih udah mau maafin, makasih ya. Ya sudah kamu tidur lagi aja ya. Assalamualaikum."
Setelah menjawab salam panggilan telepon berakhir. Malam itu Arina bisa tidur dengan nyenyak.
Besok paginya, Arina terbangun sebelum azan subuh. Dia memeriksa ponselnya. Membaca ulang pesan-pesan yang dikirimkan oleh Yudhi. Arina tersenyum sendiri sambil menggigit jari telunjuknya. Dia merasa senang melihat Bagaimana paniknya Yudhi karena arina tidak menjawab panggilannya. Setelah puas membaca ulang pesan dari Yudhi, Arina menunaikan salat subuh. Tidak lupa dia melakukan olahraga pagi seperti biasanya. Baru kemudian dia membuat sarapan dan mandi.
Saat akan sarapan pagi, ada yang mengetuk pintu rumah Arina, dia pun bergegas dari ruang makan menuju pintu depan. Arina khawatir ada yang butuh bantuannya dengan segera. Betapa terkejutnya dia saat melihat sosok orang yang sedang berdiri di depan pintu sampai Arina membulatkan kedua matanya.