Berangkat Bersama

1365 Words
Dita terkejut mendengar suara Arga, matanya membulat. Dita yang merasa malu segera melepaskan apa yang sudah dia genggaman. Lalu berbalik menghadap Arga. "Eh, maaf ya aku ninggalin. Yuk kita cari makan aja," ajak Dita lalu berjalan mendahului Arga dengan langkah cepat untuk meninggalkan tempat itu. "Dita tunggu, kamu jalannya cepat banget sih," kata Arga berusaha mengejar Dita. Dita berhenti melangkah, memutar badan. Arga berhenti tepat di hadapan Dita. "Gimana kalau kita balik ke unit apartemen kamu. Ada hal penting yang belum kita bicarakan, makan malamnya pesan pizza aja, kan enggak perlu piring. Terus pesan minumnya sekalian." Dita membatalkan rencananya membeli pakaian dalam, hari juga masih sore, belum waktunya makan malam, pikir Dita. "Ok. Kita balik ke unitku sekarang. Tadi kamu mau cari apa di sana sampai mukamu merah semua begitu?" tanya Arga walaupun sebenarnya dia bisa menebak apa yang Dita cari. "Enggak cari apa-apa kok." Dita berusaha bersikap biasa dengan ucapan Arga. "Terus kamu enggak apa-apa makan pizza malam hari? Kamu kan model, bukannya makan aja diatur?" tanya Arga masih heran dengan pilihan Dita. "Sekali-sekali enggak apa-apa kok. Yang penting enggak sering-sering, itung-itung merayakan hari pernikahan kita toh." "Kayaknya ada yang aneh sama kamu, Dit? Merayakan pernikahan kita? Ah, tapi sudahlah enggak perlu dibahas. Nanti malam aku pesan pizza delivery," ucap Arga membuka pintu unit apartemen. Arga mengajak Dita masuk. Di ruang tengah apartemennya hanya ada satu sofa panjang dan sebuah meja, mungkin dia akan mengajak Dita membahas sesuatu yang penting di sana. "Duduk di sofa itu enggak apa-apa?" tanya Arga dengan hati-hati. "Boleh. Ayo aku mau bahas yang penting banget nih," ucap Dita mengajak Arga duduk di sofa. Arga duduk terlebih dahulu di sofa. Dia menunggu Dita duduk, merasa penasaran Dita akan mengambil posisi duduk yang jauh atau dekat dengan Arga. Dita mengambil jarak yang jauh saat duduk di sofa, tepatnya di ujung sofa. Meskipun Arga adalah teman kuliahnya dulu tetapi dia masih belum merasa nyaman berada di dekat Arga ketika mereka bertemu kembali. Mungkin karena kenangan terakhir bersama Arga tidak mengenakkan bagi Dita. "Ok. Kita buat kesepakatan sekarang. Aku mau minta tolong sama kamu mulai hari ini sampai entah kapan. Aku maunya kita dekat kalau di kantor atau ada aktivitas yang dengan pekerjaan di luar kantor." "Deket itu harus gimana, Dit? Cuma jalan sama-sama tapi deket atau gimana? Duduk dekat-dekat?" tanya Arga ingin menyamakan persepsinya dengan Dita. "Ya mesra-mesraan gitu lho Arga, enggak sekedar jalan sebelahan, tapi pegangan tangan kek, rangkulan kek, pokoknya keliatan mesra gitu," kata Dita mulai gemas menjelaskan maksudnya. "Oh yang gitu. Ok aku paham. Terus gimana lagi?" "Tapi ingat ya, mesra-mesranya cuma di kantor sama kegiatan kantor aja, kalau di apartemen sini kita jalani hidup masing-masing, enggak perlu kepo dengan urusan yang lain. Aku enggak akan kepo dengan kehidupan pribadi kamu, kamu juga enggak perlu kepo dengan urusan pribadi aku." Dita mulai memberikan batasan yang jelas untuk dia dan Arga. Hanya boleh dekati jika berada di lingkungan pekerjaan. "Kamu enggak keberatan kita dekat di depan orang banyak?" "Enggak masalah, karena aku ingin membuktikan pada Damar kalau aku juga punya pengganti dia," ucap Dita menatap tembok di hadapannya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Oh ya, kamu kan mau balas dendam sama Pak Damar. Oke aku setuju. Terus kesepakatan kita cuma itu aja? Sampai kapan kamu mau balas dendam, terus kalau balas dendammu sudah selesai, hubungan kita selanjutnya gimana?" tanya Arga ingin memastikan jika Dita tidak akan membuangnya setelah Dita selesai membalas dendam. "Aku enggak tahu, yang ada di pikiranku sekarang cuma membalas apa yang sudah Damar lakukan padaku." Tatapan Dita terlihat penuh dengan dendam. Dendamnya pada Damar tidak membuat Dita meratapi hubungan mereka yang berakhir, tetapi Dita juga ingin menunjukkan jika dia juga bisa memiliki pasangan lain dengan mudah. "Tapi kami tetap harus mengabulkan permintaanku sebagai balasannya. Aku akan tagih itu nanti." "Aku enggak janji ya." "Apa kita akan berpisah setelah itu?" "Aku enggak bisa memprediksi masa depan, aku enggak bisa janji suatu hari bisa jatuh cinta sama kamu. Aku cuma berharap rencanaku berhasil." "Dan aku juga berharap keinginanku terkabul." "Ada lagi yang mau dibicarakan? Kamu bikin aja surat kesepakatan kita, kalau memang butuh hitam di atas putih. Aku enggak keberatan." "Ok, nanti aku buatkan surat kesepakatan kita. Terus pizzanya jadi?" "Jadi, kamu pesan aja, nanti aku ikut makan juga kok. Aku pengen ke kamar dulu. Nanti panggil aja aku kalau pizzanya sudah datang." Dita berjalan ke kamar karena ingin segera istirahat. Dia juga harus membersihkan diri setelah beraktivitas hari ini. *** "Asti pokoknya kamu harus ke sini, bawain apa yang aku minta, atau kamu aku pecat!" perintah Dita pada Asti dan tidak bisa dibantah. "Lho Mbak Dita kemarin enggak jadi beli pakaian dalam? Iya Mbak, aku ke sana sekarang. Mbak Dita jangan galak-galak dong, kan sekarang udah nikah. Kasian suaminya kalau punya istri suka marah-marah." Ucapan Asti membuat Dita bertambah marah. Entah kenapa, omongan Asti tentang pernikahannya malah membuat Dita semakin marah pada Asti. Dita tidak minat untuk menjawab pertanyaan Asti, mengapa dia tidak jadi membeli pakaian dalam. "Jangan cerewet, berangkat sekarang!" "Iya Mbak iya. Aku jalan sekarang." Dita mengusap wajah dengan kasar. Kali ini Asti memang membuatnya merasa kesal tetapi Dita berusaha untuk memaklumi sikap Asti. Dia menunggu Asti di kamar hingga dia datang sambil memeriksa jadwal di ponselnya. Beberapa hari ke depan dia harus menyiapkan diri untuk pergi ke Singapura. Dita berpikir untuk mengajak Arga agar Dita bisa memamerkan kemesraannya bersama Arga di depan Damar. Setengah jam kemudian, Asti datang. Dia langsung masuk ke kamar yang ditempati oleh Dita setelah diberitahukan oleh Arga. Melihat Asti datang, Dita bergegas mandi, dia harus segera bersiap untuk jadwal pagi ini. Setelah mandi dan memulas wajah dengan bedak dan lipstik dia mengajak Asti untuk berangkat ke kantor agensi K bersama Arga juga tentunya. "Mbak aku ikut mobil Mas Arga juga?" tanya Asti saat mereka sudah berada di parkiran. "Pake mobilku aja. Barang-barangku kan ada di sana semua." "Oh iya deh Mbak. Aku jalan sekarang ke kantor," ujar Asti masuk ke mobil Dita lalu melajukan mobilnya ke kantor. Dita masuk ke mobil Arga yang juga menuju kantor karena ada jadwal pemotretan. "Oh ya, Ga, kamu bisa enggak ikut ke Singapura minggu depan? Ada acara kantor di sana. Aku sih pengennya kamu juga ikut." Dita menunggu jawaban Arga sambil bertahap jika Arga akan setuju dan ikut berangkat ke Singapura untuk menemani Dita selama di sana. "Kamu mau aku bantuin kamu juga di sana?" Dita menganggukkan kepala, dan berusaha memberikan senyuman pada Arga. Namun, Dita tidak sedang merayu Arga. "Ok. Kasih tahu aja flight jam berapa, nanti aku beli tiket di jam yang sama." "Asyik, makasih banget, ya." Mata Dita berbinar. Entah mengapa dia merasa senang saat mendengar Arga via menemaninya ke Singapura. "Tapi aku boleh ngajak kamu ke suatu tempat enggak di sana?" "Kemana? Asal bukan ke tempat yang aneh, aku mau." "Enggak dong. Tapi masih rahasia, nanti kalau sudah waktunya kamu akan tahu sendiri." "Kok aku jadi penasaran ya?" "Udah jangan dipikirin. Yuk turun. Udah sampai nih." Arga membuka kuncian pintu mobil. Ketika dia hendak membuka pintu mobil Dita menahannya. "Kita mulai balas dendamnya sekarang, ayo turun." Dita turun dari mobil dan berjalan mendekati Arga. Dia merangkul lengan Arga. Sesekali dia sandarkan kepalanya pada lengan Arga yang kekar. Saat itu perasaan Dita masih biasa saja karena fokusnya masih tetap pada Damar. Semua mata tertuju pada pasangan Dita dan Arga. Semua memandang dengan takjub, karena ada seorang pria tampan yang berjalan dengan seorang model terkenal padahal Dita baru saja putus dengan Damar. Begitu mudahnya seorang Dita mencari pengganti dalam waktu singkat. Kehadiran Dita dan Arga juga tidak Puput dari pandangan Damar yang memperhatikan dari lantai 2. Dia menatap tajam ke arah Dita dan Arga. Damar mempercepat jalannya mengarah pada pasangan yang terlihat bahagia itu. Damar menarik lengan Dita dengan kasar sehingga tangan Dita yang merangkul lengan Arga terlepas. Damar membawa ke arah tangga darurat. "Apa maksud kamu jalan dengan fotografer baru itu? Kamu tuh model terkenal Dita, reputasi kamu harus dijaga. Apa kata media kalau lihat kamu jalan mesra dengan fotografer biasa kayak gitu?" kata Damar dengan pandangan menusuk pada Dita. Dita tidak merasa takut dengan Damar barusan, baik pada pandangannya serta ucapannya. "Kenapa? Kamu cemburu? Enggak usah pakai alasan reputasi aku sebagai model!" ucap Dita dengan nada keras pada Damar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD