"Siska, Damar ada di ruangannya, kan?" Seorang model cantik bernama Dita Gayatri datang dengan penuh amarah menghampiri meja sekertaris sebelum masuk ke dalam ruangan. Niatnya hanya satu, bertemu dengan kekasihnya dan menanyakan tentang konferensi pers yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.
"Maaf, Mbak Dita, tapi kata Pak Damar, dia sedang ada pekerjaan penting dan tidak bisa diganggu." Dengan raut wajah tidak enak dan penuh keraguan, Siska mengatakan itu. Sebenarnya ia merasa tidak enak berbohong, tetapi mau bagaimanapun, ia harus tetap mengikuti perintah dari atasannya.
"Tapi Siska, seingat saya Damar enggak ada pekerjaan penting pagi ini, minta tolong sampaikan ke dia, saya ada perlu penting." Dita memohon dengan sangat.
"Maaf Mbak, tapi Bapak sedang tidak bisa diganggu. Mbak bisa kembali lagi siang nanti ya."
"Siska, saya ada perlu penting sekarang. Tidak bisa ditunda sampai nanti siang, please." Dita memohon kembali pada sekretaris Damar.
"Bapak belum bisa ditemui sekarang, Mbak. Maaf banget."
Dita yang merasa aneh dengan larangan dari sekretaris Damar memutuskan untuk menerobos masuk ke ruangan Damar. Namun, dia dikejutkan dengan pemandangan yang dia lihat di ruangan kerja Damar. Dua orang sedang duduk bermesraan di kursi kerja Damar, saling berpagutan. Dua orang itu belum menyadari kehadiran Dita dan terus saja bermesraan hingga Dita mendekati kejar kerja Damar dan mengetuk meja kerja Damar.
"Halo Mas dan Mbak, kenapa enggak sewa kamar di hotel biar bisa puas bermesraan. Eh tapi kelamaan ya kalau ke hotel, mending di sini, kan udah enggak tahan lagi," Dita menegur dua orang itu dengan perasaan kesal bercampur marah.
Dua orang itu saling tatap sejenak. Lalu Yuni turun dari pangkuan Damar, dia merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan karena bermesraan dengan Damar. Begitu juga dengan Damar yang merapikan dasi dan rambutnya.
"Kamu kok masuk enggak ketuk pintu dulu, Sayang?"
Damar memberikan kode pada untuk meninggalkan ruangan. Lalu Damar mengajak Dita untuk duduk di sofa, berbicara empat mata.
"Ada apa sih, Sayang? Kamu kok tiba-tiba ke sini?" Damar berusaha untuk bersikap biasa. Tebakannya Dita belum mengetahui konferensi pres itu.
"Maksud kamu apa ngomong di konferensi pers itu, mau nikah sama Yuni model baru itu? Terus aku gimana?" Dita berusaha menahan amarahnya.
"Oh, jadi kamu sudah nonton konferensi pers itu? Yah, begitulah, aku akan menikahi Yuni Utami, karena dia sedang hamil," ucap Damar dengan bangganya. "Kamu tuh sok suci, sok-sokan enggak mau melakukan itu sebelum menikah. Kita sudah tunangan lama, aku enggak kuat nungguin kamu Dita."
"Jadi itu alasannya? Dua tahun kita tunangan tapi kamu enggak pernah bilang kapan kita nikah. Selalu ada alasan dari kamu untuk menghindar saat aku tanya kapan kita akan menikah!" tegas pada Damar sambil menahan rasa sakit karena mendengar ucapan tunangannya.
"Jadwal kamu yang enggak memungkinkan kita untuk menikah." Lagi-lagi Damar mencari alasan yang tidak jelas.
"Alah, alasan terus. Jangan-jangan kamu memang enggak pernah cinta sama aku. Yang ada di pikiran kamu cuma gimana caranya bikin aku kerja keras sehingga kamu juga dapet pemasukan yang banyak!"
"Terus kamu maunya gimana sekarang? Mau aku nikah dengan kamu juga? Enggak bisa Dita, aku akan menikahi Yuni. Lebih baik kita akhiri pertunangan kita."
"Ok. Kita putus! Terima kasih untuk dua tahun yang sia-sia."
Tanpa pikir panjang, Dita bangkit dari sofa meninggalkan ruangan Damar. Bulir bening mengalir dari kedua matanya tetapi tidak menghentikan langkahnya menuju lantai 5 untuk bersiap melakukan sesi pemotretan siang ini.
Saat Dita masuk ke studio foto saat itu juga Asti datang membawa tas perlengkapan milik Dita. Dita masuk ke ruangan ganti bersama Asti.
"Pasti sudah ketemu Pak Damar ya, Mbak? Apa katanya?"
"Dia akan menikah dengan Yuni. Katanya Yuni sedang hamil, terus dia mutusin hubungan kami."
"Ya bagus Mbak, orang kayak begitu memang enggak pantes untuk dipertahankan. Mbak Dita yang sabar ya, jangan sedih, tetap semangat. Katanya hati ini ada fotografer baru, orangnya ganteng banget. Aku enggak sabar pengen ngeliat orangnya." Asti mengeluarkan alat make up Dita.
"Oh ya sudah, yuk fokus kerja dulu, lupain urusan pribadi."
Make up artis datang untuk merias wajah Dita. Setengah jam kemudian Dita sudah siap dan telah selesai berganti pakaian. Hari ini dia ada jadwal pemotretan untuk produk kecantikan.
Dita keluar dari ruang ganti bersama Asti menuju tempat pemotretan. Langkah Dita terhenti saat mendengar seseorang memanggil namanya. Dita menoleh pada sumber suara.
"Apa kabar, Dita? Lama enggak ketemu." Seorang pria yang memegang kamera DSLR di tangannya berjalan mendekati Dita.
"Arga? Kamu bener Arga kan?" Dita seolah tidak percaya dengan apa yang dia lihat setelah berbalik badan lalu berjalan mendekati Arga.
"Iya, aku Arga. Kamu masih ingat aku?" Arga memberikan senyuman yang paling manis.
"Masih ingat dong. Temen kuliahku yang paling ganteng dan keren. Apa kabar? Ngapain kamu di sini?"
"Kabar aku baik. Aku jadi fotografer baru di sini. Kamu ngapain di sini?"
"Eits, sebentar." Asti merasa ada yang aneh. "Mas ini fotografer baru yang katanya ganteng itu kan?"
"Iya, saya fotografer baru di sini."
"Kalau gitu kenalin, aku Asti, orang yang paling bertanggung jawab sama Mbak Dita." Asti menyodorkan tangannya pada Arga untuk berjabat tangan.
"Aku Arga." Arga membalas jabat tangan Asti.
"Tangannya aja wangi banget. Aku enggak mau pegang apa-apa dulu ataupun cuci tangan. Mbak Dita kok bisa kenal sih sama Mas Arga. Jangan bilang Mbak Dita naksir Mas Arga sampai cari tahu informasi tentang dia duluan." Asti curiga pada Dita.
"Enggak dong Asti, Arga ini dulu temen kuliah aku, satu jurusan. Kerja dulu yuk, ngobrolnya nanti lagi."
Dita berjalan ke set lokasi tempat pemotretan akan berlangsung. Dia memanggil tim lain untuk segera memulai sesi pemotretan. Saat Dita sedang fokus dengan sesi ini, Damar menghampiri lokasi pemotretan. Dia hanya ingin memastikan jika Dita baik-baik saja dan bisa bekerja secara profesional.
Dita memang terlihat tegar dari luar tetapi tidak di dalam. Hatinya jelas hancur melihat pengkhianatan yang dilakukan oleh Damar di depan matanya sendiri.
Selesai acara pemotretan dan sebelum berganti pakaian, Dita menghampiri Arga. Dita masih merasa penasaran dengan kabar Arga selama ini, kemana dan apa saja yang dia lakukan setelah selama ini.
"Emm, Ga, kamu habis ini ada acara enggak?"
"Enggak ada. Kenapa?"
"Makan siang bareng yuk, aku yang traktir deh. Ke kafe yang deket sini aja. Perginya pake mobil aku, gimana?"
"Emm, boleh. Pake mobil aku aja, nanti kamu aku drop lagi di sini atau mau aku antar pulang?" kata Arga bersemangat.
"Boleh juga, antar pulang aja sekalian ya. Biar mobilku dibawa pulang sama Asti aja."
"Tapi Mbak, aku kan mau ikut juga makan siang sama Mas ganteng," sahut Asti merajuk.
"Makan di rumah aja ya. Tolong bawain semua barang sekalian ya, Sayang. Tunggu aku di rumah." Dita sambil mencubit pipi Asti.
Asti mengerucutkan bibirnya. Dia hanya bisa pasrah melihat kepergian Dita bersama Arga yang memang terlihat lebih seperti pasangan daripada jika Arga bersamanya.
***
Arga dan Dita tiba di kafe yang letaknya tidak jauh dari lokasi agensi tempat mereka bekerja untuk makan siang bersama. Mereka masuk kafe dan memilih tempat duduk di pojok, agar bisa ngobrol lebih santai. Suasana kafe ramai karena masuk jam makan siang.
Arga juga Dita memesan menu makan siang yang menurut mereka tidak perlu menunggu lama. Paket nasi dengan lauk lengkap plus air minum pada pelayan kafe. Pelayan kafe meminta mereka menunggu sedikit lebih lama karena kafe sedang ramai.
"Selera kamu enggak pernah berubah ya? Padahal udah jadi model terkenal. Salut aku sama kamu, Dit."
"Susah sih mengubah selera. Mau aku ke luar negeri juga tetap minta bawain sambel sama Asti, kalau enggak susah makan deh aku."
"Wah, ternyata seorang Dita, model papan atas tetap suka makan sambel, keren banget tuh."
"Enggak keren kok. Siapa yang model papan atas? Aku? Atas mana? Aku model biasa aja, cuma pernah beberapa keluar negeri, itu juga cuma buat pemotretan doang."
"Ah, kamu sukanya merendah terus. Merendah untuk melejit kan, Dit?"
"Enak aja. Eh, kamu sekarang gimana? Masih tetap asyik dengan kameramu itu?"
"Seperti yang kamu lihat, Dit, aku masih setia sama kamera ini," ucap Arga menunjukkan kameranya. "Setelah lulus kuliah aku ngebolang dengan kamera ini, kemana pun aku mau."
"Terus udah nikah? Atau jangan-jangan udah punya anak?"
"Aku belum nikah kok. Masih belum move on dari kamu tuh. Sayangnya kita baru ketemu lagi sekarang. Kamu udah punya tunangan kan?"
"Tunangan? Kemarin masih, tapi hari ini sudah putus. Lebih tepatnya aku yang dicampakkan oleh mantanku. Dia lebih memilih cewek lain daripada aku yang cuma bisa minta dia bersabar aja."
"Kalau gitu sekarang kita sama dong?"
"Sama apanya?"
"Sama-sama jomblo." Arga tertawa. Lebih tepatnya mentertawakan diri sendiri.
"Oh, iya sih. Dulu sama kamu aku enggak pernah punya kesempatan, saingannya banyak banget sih. Kamu sih terlalu baik, jadi bikin cewek-cewek pada klepek-klepek, akhirnya aku mundur dengan teratur."
"Jadi dulu kamu punya perasaan suka juga sama aku, kenapa enggak pernah ngomong? Coba aja kalau dulu ... eh, enggak boleh berandai-andai. Sekarang kan kita sama-sama jomblo, kenapa enggak mencoba membangun hubungan baru yang dulu belum sempat terjalin?" kata Arga membuka kesempatan untuk Dita.
"Entahlah. Apa masih ada kesempatan buat aku untuk merasakan kebahagiaan dicintai dan mencintai seseorang?"
"Tentu masih bisa. Kamu perlu memberanikan diri untuk mencoba dengan memulainya. Mulai menyukai seseorang yang lain."
"Tapi aku males kenalan lagi, mulai suka lagi, jatuh cinta tapi ujungnya malah berakhir kecewa."
"Kalau kamu enggak mencoba, maka kamu enggak akan pernah mendapatkan orang yang tulus mencintaimu, meskipun baru merasa dikecewakan."
"Gitu ya? Kamu mau enggak nikah sama aku?" Dita sambil menatap Arga lekat.