Bab 5 - Kejutan Mencengangkan

1430 Words
Arga setengah berlari menahan tubuh Stella yang hampir saja terjatuh. Wanita itu tampak kesulitan mengendalikan posisi duduknya lantaran serangan kantuk yang semakin menjadi-jadi. Itu sebabnya Arga mendekat sehingga bisa mencegah Stella agar jangan sampai jatuh. Selama beberapa saat, Arga membiarkan Stella bersandar pada tubuhnya. Ia masih berdiri sambil memastikan kepala Stella berada pada posisi yang nyaman. Hal itu berlangsung hampir sepuluh menit sampai kemudian Stella mengerjap-ngerjapkan matanya. Menyadari tubuhnya sedang bersandar pada tubuh bos dari suaminya, tentu Stella langsung teperanjat. Ia segera menjauh dan memberi jarak antara dirinya dengan Arga. “Ya ampun! Maaf, Pak,” ucap Stella yang jadi merasa tidak enak. “Pasti kamu ngantuk dan capek. Gimana kalau kamu tidur di kamar rawat inap yang akan Randy tempati? Saya sudah memesan kamarnya dan ada yang tersedia. Hanya perlu menunggu Randy dipindahkan ke sana,” jelas Arga. “Tapi kalau kamu mau duluan menunggu di sana, nggak apa-apa. Kamu bisa istirahat di sana.” “Saya dengar operasinya berjalan lancar,” tambah Arga. “Jadi sebaiknya kamu istirahat di ruangan perawatan Randy, kamu harus mendampingi Randy dengan sehat dan cukup istirahat, jangan sampai jadi pasien juga.” Dengan wajah yang tampak lelah sekaligus mengantuk, Stella mengangguk-angguk. Tak lama kemudian, ia diantar oleh Arga menuju ruang rawat inap yang nantinya akan Randy tempati. “Makasih ya, Pak. Makasih banyak.” Setelah melihat bagaimana situasinya, Arga memutuskan jangan dulu memberi tahu Stella tentang perselingkuhan Randy dengan Ghea. “Hmm, boleh saya minta nomor kamu? Kamu bisa menghubungi saya kalau Randy udah siuman.” Stella mengangguk. Detik berikutnya Arga menyodorkan ponselnya. Sejenak wanita itu mengetikkan dua belas digit nomor ponselnya lalu kembali menyerahkan ponsel itu pada sang pemilik. Setelah mengambil alih ponsel miliknya, Arga sengaja menelepon Stella hanya untuk memberi tahu nomornya pada wanita itu. “Itu nomor saya. Hubungi ke nomor itu kalau ada kabar terbaru tentang Randy.” “Baik, Pak.” “Kalau begitu saya pamit, ya. Percayalah semua akan baik-baik aja.” Setelah mengatakan itu, Arga benar-benar meninggalkan Stella sendiri. “Randy, kamu harus baik-baik aja,” batin Stella, rasanya ingin menangis lagi. *** Keesokan paginya…. Stella terbangun dari tidurnya saat mendapati ponselnya bergetar lama tanda ada panggilan masuk. Rupanya yang menghubunginya adalah Arga. Stella memang sudah menyimpan kontak pria itu sejak tadi malam. “Selamat pagi, Pak,” sapa Stella sopan, berusaha tidak mengeluarkan suara parau. Jujur, Stella masih mengantuk. Ia terbangun pada pukul tiga dini hari saat Randy mulai dibawa ke ruang rawat inap. Stella tidak bisa tidur sampai jam lima sampai kemudian kantuknya kembali datang. Kini waktu menunjukkan pukul enam lewat, tentu bukan hal aneh kalau Stella masih sangat mengantuk mengingat jam tidurnya se-berantakan itu semalaman ini. “Bagaimana keadaan Randy?” tanya Arga. Sambil menatap Randy yang masih memejamkan mata dengan alat medis yang melekat di tubuhnya, Stella menjawab, “Dokter bilang, kondisi Randy sudah jauh lebih baik. Dia udah berhasil melewati masa kritisnya.” “Syukurlah.” Arga terdengar lega. “Dokter juga bilang, detail pasti Randy sadar … nggak bisa dipastikan kapan waktunya. Mudah-mudahan secepatnya.” “Tolong kabari saya kalau dia udah siuman, ya.” “Baik, Pak.” “Terima kasih, saya tutup ya….” Setelah sambungan telepon terputus, Stella kembali meletakkan ponselnya ke dalam tas. Ia menarik kursi ke sisi ranjang di mana suaminya berbaring. Matanya tak lepas dari wajah pucat yang masih memejamkan mata. “Bangunlah, Randy. Banyak hal yang harus kita lakukan bersama,” gumam Stella. *** Kantor OMJ untuk sementara tutup operasional dulu selama beberapa hari. Ini mendadak tapi mustahil tetap buka saat satu staf meninggal dan satunya lagi masih terbaring di ranjang rumah sakit. Setelah ikut berbelasungkawa langsung pada keluarga Ghea, Arga tentu saja ikut menghadiri mengantarkan sekretarisnya itu ke tempat peristirahatan terakhirnya. Selesai prosesi pemakaman, barulah pria itu mengemudikan mobilnya menuju rumah sakit. Waktu menunjukkan pukul sebelas siang saat Arga berjalan di lorong rumah sakit menuju ruangan kelas naratama di mana Randy dirawat. Satu tangannya membawa paperbag berisi pakaian untuk istri Randy. Bukannya apa-apa, Arga merasa Stella belum sempat pulang apalagi mengambil pakaian ganti. Itu sebabnya Arga membelinya tadi saat dalam perjalanan. Mudah-mudahan pas. Tiba di depan pintu ruang perawatan Randy, sejenak Arga mengetuk pintu lalu membukanya. Tampak Stella sedang duduk di sisi ranjang sambil memegangi tangan suaminya yang terbebas dari infusan. “Pak Arga….” “Randy belum sadar juga?” Stella hanya menggeleng, kehilangan semangatnya. “Sabar ya, saya yakin Randy pasti siuman,” kata Arga, berusaha memberi harapan. “Oh ya, ini buat kamu,” sambungnya seraya menyerahkan paperbag di tangannya. Tentu Stella mengernyit. “Ini apa, Pak?” “Pakaian ganti untuk kamu, saya udah menduga kalau kamu nggak sempat pulang. Semoga pas ukurannya.” “Sebenarnya sempat kalau aku mau, tapi aku takut Randy bangun pas aku pergi. Makanya aku nggak mau ke mana-mana,” jelas Stella. “Untuk itu makasih ya, Pak.” “Hmm, jangan bilang kalau kamu juga belum makan siang.” Jangankan makan siang, Stella bahkan belum sarapan karena berat untuk meninggalkan Randy. “Sarapan juga belum, ya?” tambah Arga. “A-aku merasa sebaiknya aku tetap di sini. Aku takut Randy bangun terus akunya nggak ada.” “Randy aman walaupun dia ditinggal sendiri. Ada perawat yang memantau keadaannya. Lagian kamu nggak pergi jauh, masih di lingkungan rumah sakit. Jadi, sekarang kamu makanlah. Mari saya antar ke kantin. Atau kamu ingin saya membawakan makanan ke sini?” Setelah mempertimbangkannya, Stella memutuskan makan di kantin. Ia akan merasa semakin tidak enak untuk merepotkan Arga lebih banyak. Selain itu, ia merasa apa yang Arga ucapkan ada benarnya juga. Ya, semalam Arga bilang kalau jangan sampai Stella ikut-ikutan menjadi pasien. “Aku ganti baju sebentar ya, Pak,” ucap Stella. “Ngomong-ngomong terima kasih untuk pakaian gantinya.” *** “Maaf ya, seharusnya saya tadi bawa makanan juga, bukan baju aja. Jadi kamu bisa makan sambil tetap berada di samping Randy,” ucap Arga yang saat ini duduk berhadapan dengan Stella di kantin. Bukan hanya Stella yang makan, melainkan Arga juga. “Segini aja aku udah berterima kasih banget, Pak. Jujur, aku nggak punya seseorang yang bisa aku mintain tolong.” Keluarga? Orangtua Stella dan Randy tinggal di luar kota. Ia dan Randy sama-sama anak tunggal sehingga tidak ada saudara. Teman? Stella tidak mau merepotkan teman-temannya terlebih mereka sudah sibuk dengan keluarga masing-masing. Itu sebabnya Stella merasa sungkan. Terlebih bisa dibilang hubungan pertemanan Stella dengan teman-temannya yang bisa dihitung jari tersebut tidak sampai sangat dekat yang bisa dengan mudahnya meminta tolong ini dan itu. Stella dan teman-temannya memang dekat saat kuliah, tapi semenjak bekerja dan punya keluarga masing-masing, hampir tidak ada waktu untuk kumpul-kumpul. Saling berbalas chat saja jarang, rasanya aneh tiba-tiba meminta tolong sedangkan mereka saat ini hanya seolah jadi penonton IGS satu sama lain. Teman kerja? Itu lebih mustahil. Mirisnya Stella tak punya teman dekat di kantor. Mantan pacar? Itu lebih gila. Sekalipun ia punya mantan yang sangat bisa diandalkan, bukan serta-merta menjadi alasannya untuk meminta tolong pada sang mantan. “Kamu udah menghubungi keluarga yang lain?” Ini adalah pertanyaan Randy sejak tadi malam. “Udah.” Stella memang sudah menghubungi orangtuanya, tapi wanita itu memutuskan tidak jadi bilang tentang kecelakaan yang Randy alami karena ternyata saat ini ayahnya pun sedang di-opname. Bahkan, mertuanya alias mama dan papanya Randy juga sedang di sana saat Stella menelepon sang ibu. “Tapi aku memutuskan ngasih tahu mereka saat Randy udah sadar aja, supaya mereka nggak terlalu panik. Apalagi mereka di luar kota, takutnya mereka nggak tenang dalam perjalanan menuju ke sini,” jelas Stella. “Ditambah lagi, ternyata ayahku lagi dirawat di rumah sakit.” Stella bahkan masih terngiang tangisan ibunya saat menceritakan bahwa sang ayah masuk rumah sakit sehingga wanita itu tak mau menambah beban pikiran dulu. Arga mengangguk-angguk paham. “Semoga ayah kamu cepat sembuh, ya. Jangan sungkan minta bantuan saya kalau kamu butuh sesuatu.” “Makasih banyak ya, Pak. Makasih banget.” Jeda sejenak. Mereka sama-sama melanjutkan makan. “Randy bakalan baik-baik aja, kan, Pak?” tanya Stella kemudian. Arga bisa melihat itu adalah pertanyaan penuh harap-harap cemas. “Ya, Randy akan baik-baik aja.” Selesai makan, Stella dan Arga berjalan berdampingan kembali ke ruang rawat inap Randy. Saat sudah semakin dekat, mereka menyadari seorang perawat baru saja keluar dari ruangan Randy. “Bu Stella, Pak Randy baru saja siuman.” Ada perasaan membuncah yang Stella rasakan saat mendengar ucapan sang perawat. Ia dan Arga langsung buru-buru masuk untuk menemui Randy. “Randy…,” panggil Stella dengan mata yang berkaca-kaca. Sementara itu, Randy menatap Stella dengan pandangan yang sulit diartikan. “Maaf, kamu siapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD