Selasa (12.09), 30 Maret 2021
----------------------
Ini sudah ketiga kalinya Rachles mengetuk pintu kamar Razita. Tapi adiknya itu tidak kunjung membukakan pintu. Dia tahu Razita sedang menangis sesenggukan di dalam kamar dari suara isak kecil yang sesekali terdengar hingga keluar kamar.
Yakin Razita tidak akan membuka pintu, Rachles memilih menyerah dan hendak berbalik. Saat melihat gagang pintu, dia berpikir untuk mencoba membuka. Mungkin saja Razita langsung menutup pintu tanpa menguncinya. Jika tidak, maka Rachles akan langsung pergi dan mencoba menemui Razita lagi esok hari.
KLEK.
Tak disangka, pintu langsung terbuka. Rachles segera masuk tanpa permisi seraya menutup pintu di belakang tubuhnya.
Seperti yang Rachles duga, Razita sedang menangis. Dia berbaring telungkup di atas ranjang. Perlahan Rachles mendekat kemudian duduk di sisi ranjang menghadap belakang kepala Razita.
“Rara.” Panggil Rachles pelan.
Razita tidak menoleh. Dia masih terus menangis dan mengabaikan kehadiran Rachles.
Rachles tidak mau asal menghakimi salah satu pihak, Neneknya maupun Razita. Terutama karena dia belum tahu apa sebenarnya permasalahan di antara mereka. Namun dia juga tidak bisa hanya diam dan menonton.
“Rara, kau tahu kan dari dulu yang dilakukan Nenek pasti demi kebaikan kita semua. Jika dia melarangmu bersama lelaki itu, pasti menurut Nenek lelaki itu tidak baik untukmu.”
Ucapan Rachles membuat kemarahan Razita kembali terusik. Mendadak dia berbalik menghadap kakaknya dan siap menyemburkan api amarah.
“Kakak tidak—”
“Ya! Kakak memang tidak tahu masalah kalian karena kamu tidak mau bercerita.” Sergah Rachles dengan nada tinggi namun sama sekali tidak tersirat kemarahan dalam nada suaranya. Dia hanya ingin Razita mendengarkan apa yang hendak dikatakannya. “Iya, Rara. Kakak tidak tahu. Karena itu kakak tidak akan membela maupun menghakimi kau ataupun Nenek. Jadi sekarang duduk yang benar dan dengarkan ucapan Kakak! Kau percaya pada Kakak, kan?”
Selama beberapa saat, mata biru terang Razita hanya diam menatap mata cokelat keemasan Rachles. Kemudian dia mengangguk perlahan, duduk sesuai perintah Rachles.
Puas melihat Razita mengikuti perintahnya, Rachles melanjutkan. “Seperti yang Kakak bilang tadi, apa yang dilakukan Nenek adalah sesuatu yang beliau pikir baik untukmu. Tapi jika kau merasa sebaliknya, kau boleh mempertahankan pendapatmu. Bukan dengan cara marah, menangis, atau malah menantang Nenek. Buktikan, tunjukkan di hadapan Nenek bahwa lelaki itu memang tepat untukmu. Apa kau sudah pernah mempertemukan Nenek dengan kekasihmu itu?”
Razita menggeleng.
“Kalau begitu, bawa lelaki itu ke rumah ini. Kenalkan dia pada keluarga besar kita dan biarkan dia mencuri hati semua penghuni rumah ini dengan caranya sendiri. Jika dia tidak bisa, berarti dia memang tidak pantas untukmu. Kakakpun akan menentang hubungan kalian.”
“Tapi masalahnya bukan itu, Kak.” Bahu Razita tampak lunglai. “Kepribadiannya tanpa cela. Tapi yang Nenek tidak suka, dia hanya seorang dosen di sebuah kota kecil. Sementara aku adalah aktris terkenal. Gajiku lebih tinggi darinya. Menurut Nenek, sepantasnya seorang suami harus memiliki gaji lebih tinggi dari istrinya. Jika tidak, bisa saja suatu ketika sang istri yang akan menafkahi dan itu menyalahi kodrat pasangan suami istri yang begitu Nenek pegang teguh.”
Rachles mendengarkan dengan seksama penjelasan Razita. Tadi dia sempat heran karena sang Nenek mempermasalahkan pekerjaan kekasih Razita. Padahal Mikaela bukan tipe orang yang menilai orang lain dari kekayaan dan latar belakang. Bahkan Ibu Rachles dulunya adalah penjaga kantin di kampus tempat Jose menimba ilmu.
Sekarang dia paham setelah mendengar kalimat terakhir Razita. Memang sudah sewajarnya seorang suami menafkahi istri. Jika gaji istrinya lebih tinggi daripada gaji sang suami, bisa saja yang ditakutkan Mikaela menjadi nyata.
Kecuali jika kekasih Razita adalah tipe lelaki sejati yang akan merasa malu jika tidak sanggup memenuhi kebutuhan istrinya dan malah istrinya yang memenuhi kebutuhannya.
“Kalau begitu saran Kakak tidak salah, Rara. Jika memang kepribadian kekasihmu ini tanpa cela seperti yang kau katakan, maka tidak sulit baginya meluluhkan hati keluarga besar kita dan akhirnya masalah gaji tidak lagi menjadi halangan.”
“Tapi bagaimana kalau—”
“Jangan berandai dulu sebelum dicoba.” Lagi-lagi Rachles memotong ucapan Razita.
Razita mengangguk mengerti. “Tapi bagaimana aku menemuinya? Nenek tidak mengizinkanku. Apa aku kabur saja?”
“Jangan. Kalau seperti itu, Nenek akan semakin tidak suka pada kekasihmu karena menganggap dia membawa pengaruh buruk.” Rachles diam tampak berpikir. “Nenek masih memberimu izin pergi bekerja, kan?”
“Iya.”
“Kalau begitu bilang saja kau ada kegiatan syuting di luar kota.” Senyum Rachles menunjukkan persekongkolan.
Perlahan bibir Razita juga melengkung membentuk senyuman. Kemudian dia berlutut di atas ranjang seraya mengalungkan kedua lengannya di leher Rachles. “Terima kasih ide dan sarannya, Kak. Tapi Kakak tidak boleh pergi dulu sebelum aku memperkenalkan kekasihku.”
“Sayang sekali Kakak tidak bisa berjanji untuk itu.” Ujar Rachles dengan nada menyesal.
Razita melepas pelukan lalu menatap kakaknya dengan raut kecewa. Namun tidak ada yang bisa ia lakukan selain mendesah.
“Sudahlah. Kakak masih bisa mengunjungimu kembali atau kau yang ajak kekasihmu menemui Kakak.” Rachles berkata seraya mengacak-acak rambut Razita.
Razita merengut tapi mengangguk lemah. Kemudian dia memeluk Rachles erat dan membenamkan wajahnya di d**a Rachles.
***
“Bagaimana keadaan Rara?” Arla langsung menodong Rachles dengan pertanyaan begitu putranya itu keluar kamar Razita.
“Hanya sedikit terpukul karena kata-kata Nenek. Tapi sekarang sudah baik-baik saja.” Rachles meyakinkan.
Arla mendesah sambil mengelus d**a. “Sebenarnya Mama setuju dengan pendapat Nenek. Tapi jika Razita merasa yakin dengan keputusannya, Mama juga akan mendukung.”
“Ya, kupikir juga begitu.” Rachles menatap sekeliling. “Kemana kedua bocah itu? Kenapa mendadak sepi?”
Tadi sesudah makan malam, mereka sekeluarga masih berkumpul di ruang tengah sambil menikmati camilan dan teh hangat. Kegiatan sederhana yang sering dilakukan keluarga Reeves. Para orang tua bersantai dan berbagi cerita, sementara anak-anak bermain dengan tumpukan mainan.
Tapi tentu saja bukan hanya bermain jika itu berhubungan dengan balita terutama yang seperti Russel dan Shane. Si cerewet Russel dipadukan dengan tukang teriak macam Shane, maka kegaduhan yang mereka timbulkan memenuhi seluruh penjuru rumah.
Karena itu Rachles heran dengan suasana sepi seperti sekarang setelah berjam-jam mendengar paduan suara Russel dan Shane yang memekakkan telinga.
“Sudah waktunya mereka tidur.”
“Oh, mereka sudah pulang.” Gumam Rachles, sebisa mungkin menyembunyikan nada kecewanya.
“Nenek tidak mungkin mengizinkan mereka pulang selarut ini. Mereka baru akan pulang besok pagi.” Arla menjelaskan.
“Benarkah?” nada suara Rachles terdengar penuh harap.
Arla memperhatikan putranya penasaran. “Memangnya kenapa? Sepertinya kau sangat senang.”
Rachles mengutuki dirinya sendiri karena tidak bisa bersikap tenang. “Tentu saja, Ma. Itu artinya aku masih bisa bermain bersama mereka besok pagi.”
“Seharusnya kau segera menikah agar bisa memiliki anak sendiri.”
“Iya, Ma. Rachles pasti menikah.” Rachles mengecup pipi Arla sekilas untuk menyudahi pembicaraan. Lalu dengan langkah cepat, dia bergegas menuju kamarnya.
***
Sebenarnya Rachles hanya menebak, mungkin Russel akan merengek dan minta tidur di kamarnya lagi. Siapa tahu kali ini dia beruntung dan Fiera juga menemani Russel tidur.
Perlahan langkah Rachles melambat seiring dengan akal sehatnya yang muncul.
Sepertinya kali ini Rachles berkhayal terlalu jauh. Kalaupun Russel minta tidur di kamar Rachles, tidak mungkin Fiera menemani dan meninggalkan Raynand tidur di kamarnya sendirian.
Baiklah, tidak apa-apa. Tidak bisa tidur dengan ibunya, masih ada anaknya yang menemani Rachles. Dengan begitu Rachles tidak akan terjaga sepanjang malam dengan mata nyalang.
Di depan kamar, Rachles kembali membuka pintu secara tiba-tiba, berharap bisa cuci mata lagi dengan mendapati Fiera sedang berganti pakaian. Namun harapannya tidak terkabul karena saat ini Fiera sedang tidur menyamping di atas ranjang sambil membelai rambut dan punggung Russel.
“Papa!” pekik Russel seraya duduk di atas ranjang secara tiba-tiba.
“Papa kira, Jagoan Papa ini sudah tidur.” Ujar Rachles seraya duduk di sisi ranjang berseberangan dengan sisi yang Fiera tempati.
“Belum, Pa. Russel menunggu Papa.” Ujar Russel dengan senyum lebar.
Perlahan Fiera duduk dengan wajah merengut. “Dia bilang ingin tidur bersamamu.”
“Ya sudah, biarkan saja.” Sahut Rachles enteng. Dengan santai ia melepas kaosnya lalu melempar secara asal ke lantai. “Waktunya tidur!” Rachles berseru seraya merebahkan diri di ranjang.
Tanpa kentara Rachles memperhatikan wajah Fiera. Dia berharap wanita itu tersipu malu atau semacamnya melihat d**a telanjang Rachles. Tapi Rachles harus kecewa karena Fiera tampak biasa saja.
“Ma, buka baju juga.” Rengek Russel.
“Jangan, nanti masuk angin.”
“Anginnya tidak akan bisa masuk. Sudah Papa kunci jendelanya.”
“Ma…” Russel kembali merengek.
Fiera menatap Rachles kesal. “Kau akan membuatnya terbiasa tidur tanpa pakaian.”
Rachles menyeringai. “Lumayan, buat latihan setelah dia menikah nanti.”
Tak disangka, Fiera langsung mencubit keras paha Rachles. Dan itu benar-benar sakit. Rachles sampai mengerang seraya menggosok-gosok bekas cubitan Fiera.
“Kakak ipar, kau bisa dituntut atas kasus penganiayaan.” Ujar Rachles masih sambil menggosok pahanya yang terasa panas sekaligus pedih. Astaga, pasti Fiera menggunakan kuku.
“Awas kau kalau sampai mengajari Russel yang macam-macam.” Ancam Fiera seraya membuka baju piama Russel.
“Papa kenapa?” Russel menyela karena merasa aneh dengan ekspresi Rachles.
“Papa dicubit macan.”
“Mana macannya?” nada suara Russel terdengar tertarik.
“Russel, tidur sekarang!” perintah Fiera tegas sebelum Rachles menjawab aneh-aneh lagi.
Tanpa membantah, Russel langsung tidur di lengan Rachles sambil memeluk lelaki itu. Wajahnya dibenamkan di d**a telanjang Rachles.
Rachles tersenyum. Dia mengecup puncak kepala Russel sejenak lalu membelai punggungnya seperti yang dilakukan Fiera tadi.
Fiera memperhatikan mereka berdua dengan d**a nyeri. Tapi dia berusaha menyembunyikan rasa sakit di dadanya. Fiera sudah terbiasa dan mulai akrab dengan rasa sakit itu.
Dia menurunkan kedua kaki di sisi ranjang. Sejenak dia masih diam dalam posisi itu, membelakangi dua orang yang sedang tidur berangkulan dengan nyaman. Tanpa bisa dicegah, air matanya jatuh meski hanya setetes.
“Fiera?”
Fiera menegang mendengar panggilan Rachles. Apa lelaki itu tahu bahwa dirinya menangis?
“Hmm?” Fiera berusaha menormalkan nada suaranya.
“Apa kau bahagia?”
DEG.
Pertanyaan itu seperti sebuah belati yang ditikamkan ke d**a Fiera. Sangat menyakitkan. Tapi dia tidak bisa mengatakan hal itu. “Bagaimana aku tidak bahagia jika aku memiliki keluarga yang luar biasa?” bahkan Fiera sendiri kaget mendengar nada suaranya yang terdengar sangat tenang. Bertolak belakang dengan kepedihan yang mencengkeram dadanya.
“Senang mendengarnya.” Gumam Rachles pelan.
Setelah itu lelaki itu diam. Fiera pikir dia sudah tidur. Segera ia bangkit lalu keluar kamar.
Langkahnya gontai saat menuju kamar Raynand. Tadi dia sempat berpikir untuk tidur di kamar Rachles, tapi itu sangat tidak sopan mengingat Rachles adalah adik iparnya dan ini adalah rumah mertuanya.
Di dalam kamar Raynand, Fiera hanya bersandar di pintu dengan mata menatap seluruh penjuru kamar. Ada banyak foto Raynand di sana. Dan itu yang membuat Fiera tidak sanggup berada di kamar itu, terutama tanpa si pemilik kamar. Tidur sendirian sambil terbayang pengkhianatan Raynand, adalah neraka yang nyata bagi Fiera.
Karena itu dia tidak berpikir dua kali untuk keluar dari kamar dan memilih kamar Razita untuk tempat tidurnya malam ini. Semoga suasana hati Razita yang sedang buruk membuatnya ingin ditemani. Jadi Fiera bisa menumpang tidur malam ini.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥