Selasa (12.22), 30 Maret 2021
-----------------------
Fiera masuk ke kamar Rachles, berniat untuk melihat apa Russel sudah bangun atau belum. Namun dirinya dibuat heran karena dua orang yang semalam tidur saling mendekap itu tidak ada di ranjang.
Hanya berselang beberapa detik sejak Fiera masuk kamar, Rachles keluar dari kamar mandi—yang berada di dalam kamar—sambil menggendong Russel. Keduanya hanya menggunakan handuk yang melilit pinggang dengan rambut dan badan tampak basah.
“Mama!” seperti biasa saat melihat Fiera, Russel berseru senang. “Tadi Russel dan Papa mandi berendam bersama. Papa bisa membuat balon yang sangat besar dari busa.” Bocah itu bercerita dengan riang.
“Wah, kedengarannya menyenangkan.” Fiera tersenyum menanggapi celoteh putranya, kemudian beralih pada Rachles yang kini menurunkan Russel di ranjang. “Kau bisa memandikan anak kecil?”
Rachles mengernyit mendengar nada ragu Fiera. “Ayolah! Mandi orang dewasa atau anak kecil, apa bedanya? Intinya membersihkan seluruh tubuh, kan? Jangan terlalu meremehkanku hanya karena aku belum pernah punya anak.”
“Aku tidak bermaksud meremehkanmu. Hanya saja, biasanya anak kecil sangat sulit dimandikan.”
“Mungkin anak yang lain. Tapi Russel sangat manis dan penurut.” Rachles tersenyum sambil mengacak-acak rambut Russel. “Mana pakaiannya?”
Fiera tampak tidak setuju saat Rachles mengatakan Russel penurut. Bocah itu suka mengamuk. Tapi setelah diingat lagi, dia memang tampak sangat penurut jika bersama Rachles.
Namun Fiera hanya memikirkan hal itu dalam hati. Dengan cekatan, ia mengeluarkan baju dan celana pendek bergambar kartun dari tas besarnya serta bedak dan minyak telon.
Rachles duduk di tepi ranjang memperhatikan Fiera menuang minyak telon ke telapak tangannya, meratakannya, lalu diusapkan ke d**a dan perut Russel. “Ini untuk apa?” Rachles meniru yang dilakukan Fiera, lalu mengusapkan telapak tangannya di punggung Russel.
“Agar hangat.”
Rachles mengangguk-angguk mengerti kemudian menuangkan lagi minyak telon ke tangannya lalu kembali di usapkan di punggung Russel. Sesekali keduanya bergantian menyahuti celoteh si bocah.
“Astaga, Rachles. Kau memandikan punggung Russel dengan minyak telon.” Fiera geleng-geleng kepala melihat punggung Russel yang berkilauan dan tampak basah. Padahal tadi Fiera sudah memastikan seluruh tubuh Russel kering sebelum mengoleskan minyak telon.
Rachles memperhatikan punggung Russel selama beberapa saat, lalu menyeringai. “Terlalu banyak, ya?”
“Sudahlah. Kau berpakaian saja.” Kini Fiera beralih pada bedak.
“Aku hanya ingin membantu.” Rachles mendekatkan wajah ke leher Russel yang kini beraroma bedak dan minyak telon. “Hmm, bau bayi. Rasanya Papa ingin menggigitmu.”
Russel terkikik geli karena Rachles mengusapkan hidung dan bibirnya di sisi leher bocah itu. Begitu ia menjauhkan wajah, giliran Fiera yang tertawa keras.
“Russel, lihat! Wajah Papa seperti badut.” Fiera berkata di sela tawa sambil menunjuk hidung hingga bibir Rachles yang terkena bedak di leher Russel.
Russel juga tertawa keras setelah melihat apa yang ditunjuk ibunya.
Sejenak, Rachles seperti dihipnotis. Melihat kedua orang di hadapannya tertawa lebar sambil menyebut dirinya ‘Papa’, membuat kebahagiaan aneh yang melingkupi hatinya sejak pertama mendengar Russel memanggilnya demikian, terasa semakin kuat.
Saat ini, rasanya dia sanggup membunuh saudaranya sendiri hanya agar bisa terus berada di posisi ini.
Rachles menundukkan wajah untuk menghentikan khayalannya yang melambung tinggi.
“Ups, Russel. Sepertinya Papa menangis.” Fiera berkata sambil menutup mulut. Russel meniru yang Fiera lakukan, menatap Rachles bingung.
Rachles tersenyum masih dalam posisi menunduk. Dengan gerakan tiba-tiba, dia mencomot bedak dari wadahnya yang masih berada di tangan Fiera kemudian mengusapkannya tepat di wajah Fiera dan Russel. Kini giliran Rachles yang tertawa keras melihat dua orang di hadapannya tampak kaget dengan wajah penuh bedak.
Russel menoleh ke arah Fiera lalu tertawa bersama Rachles. Sepertinya bocah itu belum sadar bahwa wajahnya juga penuh bedak.
Fiera merengut dengan jemarinya perlahan masuk ke wadah bedak lalu segera membalas perbuatan Rachles. Russel tertawa senang sambil bertepuk tangan lalu meniru perbuatan kedua orang dewasa di hadapannya. Alhasil perang bedak pun terjadi, membuat permukaan ranjang kini dipenuhi bubuk putih itu.
Saat mereka masih asyik tertawa dan saling menaburi bedak, tiba-tiba Fiera memekik kaget saat tanpa sengaja menarik handuk yang masih melilit pinggang Rachles. Dia segera menutup mata dengan jantung berdebar keras.
“Rachles! Sudah kubilang segera pakai pakaianmu.” Seru Fiera, masih dengan kedua telapak tangan menutupi wajah.
Rachles menyeringai dan malah melepas handuknya, kemudian ia lemparkan pada Fiera. “Ini kamarku. Kau tidak berhak melarangku berkeliaran telanjang di kamar ini.”
“RACHLES! Kenakan pakaianmu sekarang!!”
Rachles tertawa. Dia malah mendekati Fiera, berusaha menjauhkan tangan wanita itu yang menutupi wajah. “Ayolah, tidak perlu malu dan sungkan.”
Fiera menepis tangan Rachles. Ia segera turun dari ranjang hendak keluar kamar. Tapi baru saja mencapai pintu, dia mendengar Rachles berbicara pada Russel diselingi tawa.
“Jagoan, otak ibumu sangat kotor. Dia pasti membayangkan macam-macam padahal Papa menggunakan celana pendek.”
Fiera segera berbalik. Matanya melebar saat mendapati Rachles mengenakan celana boxer. Lelaki itu masih tertawa senang bersama Russel.
“Dasar menyebalkan! Pakaikan baju Russel!” Fiera keluar lalu membanting pintu hingga menutup di belakangnya. Dia tidak langsung beranjak. Punggungnya bersandar lemas di daun pintu kamar Rachles. Rasa sakit itu kembali melanda d**a Fiera saat ia menyaksikan Rachles dan Russel tertawa bersama.
Seharusnya Raynand yang ada di sana. Seharusnya Russel bisa tertawa seperti itu bersama Papa kandungnya. Tapi Raynand lebih sibuk bersama wanita itu. Wanita yang telah merenggut kebahagiaan Fiera selama dua tahun terakhir.
***
“Mana Raynand?” tanya Rachles pada Fiera yang sudah duduk di ruang makan sambil memangku Russel.
Fiera mendongak pada Rachles yang berdiri di dekatnya. “Masa kau tidak tahu saat ia pamit semalam?”
Kening Rachles berkerut. “Tidak.”
“Semalam dia di kamar Razita saat Raynand pamit.” Sabrina menimpali sambil duduk di sebelah suaminya.
Masih dengan ekspresi bingung, Rachles duduk di kursi sebelah Fiera. “Jadi Raynand pulang sendirian dan meninggalkan kalian berdua di sini?”
“Dia tidak pulang ke rumah.” Fiera menjelaskan sambil menyuapi Russel. Sebenarnya dia tidak nyaman dengan pertanyaan Rachles, terutama di depan keluarga besar Reeves. Tapi akan sangat aneh kalau Fiera mengelak dan memilih tidak menjawab. “Dia ada pekerjaan penting pagi ini di luar kota. Harusnya berangkat kemarin pagi. Tapi karena tidak ingin melewatkan kedatanganmu, dia menunda kepergiannya dan berangkat tadi malam.”
“Pekerjaan di minggu pagi?” salah satu alis Rachles terangkat.
Fiera langsung terdiam, tidak tahu harus menanggapi bagaimana.
“Kak, kau sudah pernah memainkan game ini?” Evan yang duduk di sebelah Rachles menunjukkan permainan di ponselnya.
Fiera menyembunyikan perasaan leganya karena interupsi itu. Dia takut salah bicara dan malah membongkar aib suaminya.
Walau merasa belum puas karena pertanyaannya tidak dijawab, Rachles tetap mengalihkan perhatian pada ponsel Evan. “Kakak tidak suka main game di ponsel.”
“Ah, iya. Aku lupa kalau Kakak lebih suka menonton film. Film apa yang ingin Kakak tonton sekarang?” lelaki yang lebih muda dua tahun dari Razita itu masih mencecar Rachles dengan pertanyaan.
“Entahlah. Kakak lebih sibuk bekerja akhir-akhir ini. Jadi tidak terlalu memperhatikan hiburan.”
“Yah, padahal aku ingin mengajak Kakak menonton film.” Evan cemberut.
“Sudah, berhenti bicara! Sekarang waktunya makan.” Luke menasihati.
Akhirnya Rachles memilih tidak menanggapi ucapan Evan. Dia beralih pada Russel yang tampak tidak mau makan, mengangkat bocah itu lalu mendudukkannya di pangkuan. “Papa yang suapi, ya?”
Russel mengangguk-angguk senang.
“Dasar manja.” Fiera mencubit pelan pipi Russel, tapi tiba-tiba Rachles memukul tangannya hingga membuatnya kaget.
“Jangan asal cubit. Pahaku membiru karena cubitanmu.”
“Lembek. Padahal aku hanya pelan.”
Rachles ternganga. “Seperti itu pelan? Lalu bagaimana yang keras?”
“Sampai berdarah.” Ujar Fiera tenang.
“Fiera, Rachles. Makan yang tenang! Nenek tidak mau ada yang meninggalkan meja makan lagi.”
Perintah Nyonya Besar segera dituruti Rachles dan Fiera.
“Padahal semalam Nenek sendiri yang membuat Razita meninggalkan meja makan.” Komentar Kent—Kakak Evan yang usianya lebih muda satu tahu dari Rachles—dengan suara pelan.
Seren, istri Kent, menendang kakinya di bawah meja untuk memperingatkan sementara yang lain melotot menyuruh Kent diam. Kent nyengir lalu menunduk, berpura-pura membersihkan bibir Shane untuk menghindari tatapan keluarganya yang seperti laser.
***
Sekarang Fiera dan Russel dalam perjalanan pulang diantar Rachles. Awalnya Fiera bersikeras pulang seorang diri. Tapi tentu saja, kekeraskepalaan wanita itu kalah dengan Rachles. Apalagi Rachles memanfaatkan kedekatannya dengan Russel hingga Russel merengek minta diantar Papa Rachles pulang.
“Rachles, kita mampir di Mall. Aku harus membeli keperluan Russel.”
“Baiklah.”
Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah turun dari mobil. Russel yang sangat manja pada Rachles minta digendong. Padahal biasanya bocah itu selalu sok mandiri dan ingin jalan sendiri.
“Mau beli apa?” tanya Rachles.
“Popok. Dia kan masih seperti adek bayi yang suka mengompol.” Fiera sengaja memanas-manasi Russel.
“Masa jagoan Papa masih ngompol?”
Buru-buru Russel menggeleng. “Papa, Russel sudah gak ngompol. Mama bohong.”
“Ih, kapan Mama pernah bohong?” tanya Fiera sambil menahan senyum geli.
“Tadi Mama bohong.”
Fiera dan Rachles tertawa melihat wajah merengut Russel. Mereka terus bercanda sambil menyusuri Mall.
Beberapa saat kemudian, Russel berbisik di telinga Rachles. “Papa, mau pipis.”
“Kenapa?” tanya Fiera.
“Ini urusan laki-laki. Wanita berbelanja saja.” Rachles mengibas-ngibaskan tangan mengusir Fiera seraya berbalik dengan Russel masih dalam gendongan. “Nanti kuhubungi.” Imbuhnya lagi sebelum jarak mereka semakin jauh. Tadi di mobil, Rachles sempat meminta nomor ponsel Fiera.
“Baiklah, hati-hati.”
Mall ini tidak terlalu banyak berubah sejak terakhir kali Rachles datang ke sini. Tanpa kesulitan dia menuju toilet. Tak lama kemudian, mereka berdua sudah keluar. Kali ini Russel ingin jalan sendiri namun jemari mungilnya masih menggenggam tangan Rachles.
“Pa, mau main itu.” Russel menunjuk arena permainan.
“Nanti ya, Jagoan. Kita cari Mama dulu. Kasihan Mama sendirian.”
“Tapi janji nanti kita main.”
“Janji. Kau boleh main sepuasnya.”
Bocah itu loncat-loncat kegirangan. Rachles tertawa melihat betapa senangnya Russel. Dia sampai berpikir apa Fiera selalu melarang Russel main di sana.
Satu tangan Rachles menggenggam jemari mungil Russel, sementara tangannya yang lain mengeluarkan ponsel. Dia hendak menghubungi Fiera saat pandangannya menangkap sosok orang yang sangat familiar.
Raynand dan seorang wanita yang bergelayut manja di lengannya. Mereka tidak mungkin sekedar rekan kerja. Lagipula Fiera bilang Raynand sedang di luar kota.
Mata cokelat keemasan Rachles terus mengikuti pasangan yang kini sedang menuju eskalator. Kemarahan serasa membakar hatinya saat menyadari apa yang mungkin sedang terjadi pada rumah tangga wanita pujaannya.
“Ayo Russel. Kita cari Mama.” Rachles mengatakan itu dengan kemarahan tertahan.
Baru satu langkah, mendadak tubuhnya serasa membeku.
Di sana, beberapa meter dari tempat Rachles dan Russel berdiri, tampak Fiera sedang mematung dengan pandangan mengarah pada eskalator. Tidak perlu menjadi cenayang untuk menebak apa yang dilihat Fiera. Bahkan sekarang wanita itu tampak sedang mengusap pipinya.
Apakah dia menangis?
Segera Rachles menggendong Russel lalu berjalan cepat menuju tempat Fiera. Bahkan Russel hanya diam karena merasakan suasana hati Rachles yang mendadak buruk.
Rahang Rachles menegang. Perhatiannya tertuju pada satu arah. Fiera. Dia sudah bertekad akan mendekap wanita itu lalu menghapus air matanya.
“Hai!”
Mendadak Rachles berhenti melangkah saat melihat Fiera berseru dengan senyum lebar ke arah dirinya dan Russel. Wanita itu tampak seperti biasa. Seolah dia tidak melihat suaminya berjalan dengan wanita lain dan jelas-jelas membohonginya.
------------------------
♥ Aya Emily ♥