Kamis (23.54), 08 April 2021
----------------------
“Kau sedang melihat apa?” tanya Rachles dengan senyum palsu. Dia bisa menebak bahwa Fiera pura-pura baik-baik saja dan tidak mau Rachles mengetahui permasalahan keluarganya.
Baiklah, jika Fiera mau bersikap demikian, Rachles hanya akan mengikuti.
“Aku tidak memperhatikan apapun. Aku hanya sedang bosan menunggu kalian.” Fiera menjelaskan sambil melangkah di sebelah Rachles.
“Tadi kan aku sudah menyuruhmu belanja duluan.”
Fiera mengangkat bahu. “Tidak menyenangkan belanja sendirian.”
“Ma, nanti kita pergi main.” Russel yang masih berada dalam gendongan Rachles berkata senang.
“Main di mana?”
“Itu, Ma. Di tempat yang banyak permainannya.” Russel berkata sambil menunjuk arena permainan.
Fiera tersenyum sedih lalu mengacak pelan rambut Russel. Dia segera memalingkan wajah saat merasakan air matanya menggenang tanpa bisa dicegah.
Rachles sempat melihat mata Fiera yang berair. Keningnya berkerut bingung. “Biasanya Russel suka main apa di sana?” Rachles bertanya pada Russel.
Jelas Fiera tidak akan menunjukkan kesedihannya dan berpura-pura bahwa dirinya baik-baik saja. Rachles berharap kepolosan Russel akan menjawab pertanyaan yang berkecamuk di benaknya.
“Russel belum pernah main di sana. Anak-anak di sana bermain bersama Papanya. Jadi Russel menunggu Papa untuk bermain.”
Baiklah, tidak perlu dilanjutkan. Rachles bisa menebak bahwa Raynand terlalu sibuk dengan urusan kantor atau ke luar kota hingga tidak punya waktu menemani Russel bermain.
“Lain kali jangan menunggu. Minta Mama untuk hubungi Papa Rachles jika Russel ingin ditemani. Oke?”
“Oke.” Sahut bocah itu riang.
Dada Fiera terasa sesak mendengar percakapan dua orang di sebelahnya. Andai Raynand yang ada di sini bersamanya dan Russel. Andai Raynand yang menemani mereka. Pasti Fiera tidak perlu menahan sakit melihat kegembiraan putranya. Dia juga akan menikmati dan turut gembira bersama.
Tapi sekarang tidak bisa. Rasa sakit itu terus muncul karena tempat yang harus diisi suaminya malah digantikan oleh adik iparnya. Raynand sama sekali tidak peduli dan lebih asyik dengan wanita itu.
“Ah!”
Fiera memekik kaget saat tiba-tiba lengannya ditarik. Dia bahkan belum menyadari apa yang terjadi. Tahu-tahu tubuhnya sudah berada dalam dekapan hangat Rachles.
“Ada apa antara kau dan tembok ini? Kau ingin menciumnya?”
Lengan kanan Rachles masih menggendong Russel. Sementara lengan kirinya kini memeluk Fiera yang mendongak menatapnya dengan raut bingung.
“Hah?” Fiera hanya sanggup berkata demikian. Mata hitam teduhnya seperti terperangkap mata cokelat keemasan Rachles.
Fiera akui, mata cokelat keemasan itu memikatnya. Namun tidak menggetarkan hati seperti saat menatap mata biru terang milik Raynand. Bersama Rachles Fiera merasa nyaman dan—lengkap. Mungkin karena sosok Rachles mengisi kekosongan yang ditinggalkan Raynand.
Rachles mendesah melihat Fiera tampak linglung. Dia pasti belum benar-benar tersadar dari lamunannya. Seharusnya tadi Rachles biarkan saja wanita itu menabrak tembok dengan keras. Tapi sayang, hatinya tidak mungkin tega.
“Apa sih yang kau pikirkan sampai tidak sadar nyaris menabrak tembok?”
Fiera melirik dinding putih yang tidak jauh dari mereka. Seketika dia menyadari apa maksud Rachles. Dengan malu Fiera melepaskan diri dari dekapan Rachles lalu nyengir. “Sepertinya aku melamun.”
“Tentu saja. Kalau tidak melamun aku jadi curiga kau punya hubungan terlarang dengan tembok ini. Apa kalian sering bertemu?”
Fiera merengut, membuat wajahnya tampak jauh lebih muda dari Razita. Padahal dia dua tahun lebih tua dari adik perempuan Rachles itu. “Ini baru pertama kalinya aku datang ke Mall ini. Biasanya aku hanya pergi ke Mall yang tidak jauh dari rumah.”
Pantas saja, pikir Rachles.
Pasti Raynand merasa aman datang ke Mall ini bersama selingkuhannya karena dia pikir Fiera tidak mungkin datang ke sini.
Mengingat tentang Raynand membuat kemarahan Rachles kembali tersulut. Rasanya dia ingin mengejar lalu menghajar kakaknya yang bodoh itu.
“Sudahlah. Aku tidak mau mendengar kisah menyedihkanmu dengan si tembok. Ayo cepat belanja! Russel dan Papa ingin segera bermain. Ya kan, Jagoan?”
“Ya, Papa!” seru bocah itu.
Fiera hanya berdecak namun tidak menanggapi ucapan dua orang di sampingnya. Mereka kembali meneruskan langkah, masuk ke bagian pakaian.
Orang yang melihat mereka akan mengira bahwa ketiganya merupakan contoh keluarga bahagia. Fiera dan Rachles sangat bersemangat saat memilihkan pakaian untuk Russel. Sesekali terdengar mereka berdebat, merasa pilihan masing-masing lebih baik. Russel sampai berkacak pinggang kesal melihat tingkah kedua orang dewasa itu. Pasalnya dia hanya disuruh berdiri diam sementara Fiera dan Rachles bergantian mematut pakaian yang mereka pilih di depan tubuh Russel. Setelah itu keduanya berdebat.
“Ini lebih bagus. Russel akan tampak keren.” Rachles berkata.
“Itu lebih seperti pakaian berandalan. Yang ini lebih manis dan kalem.” Fiera memuji pakaian pilihannya.
“Ayolah, Russel bukan anak perempuan. Aku sudah membuktikannya sendiri saat kami mandi bersama pagi tadi.”
“Ini pakaian anak laki-laki.”
“Tapi manis dan kalem lebih cocok untuk anak perempuan.”
“Mama! Papa!” seru Russel kesal untuk menarik perhatian kedua orang dewasa itu. “Pakaian Russel sudah banyak.” Russel menunjuk pada tiga pelayan toko yang tampak kesulitan memegang tumpukan pakaian yang dipilih Fiera dan Rachles.
Ya, mereka memang berdebat untuk menentukan pakaian mana yang lebih baik. Tapi akhirnya semua pakaian yang mereka pegang pasti mereka pilih untuk dibeli.
“Ups, Mama tidak sadar sudah sebanyak itu.” Fiera menutup mulut dengan tangan. “Kita pasti akan menghabiskan jatah bulanan dari Papa.”
“Kapan Papa memberi jatah bulanan? Yang kalian mau akan langsung Papa belikan.” Sahut Rachles enteng. Jelas yang Fiera maksud adalah Papa Raynand. Tapi Rachles berbicara seolah dirinya yang dimaksud. “Sekarang giliran Mama.”
Kali ini wajah kesal Russel berubah senang sementara Fiera membelalak. “Pakaianku masih banyak.”
Rachles sama sekali tidak mendengarkan protes Fiera. Dia menarik wanita itu lalu memposisikannya di tempat Russel tadi berdiri. “Diam di sini dan jangan banyak bergerak. Kami akan mencari pakaian dulu.”
Russel secara asal menunjuk pakaian yang langsung Rachles ambilkan karena bocah itu belum cukup tinggi untuk mengambilnya sendiri. Sementara itu Rachles dengan cermat memilih pakaian yang pas untuk Fiera.
Ini adalah hadiah pertama Rachles untuk Fiera. Karena itu Rachles ingin Fiera benar-benar menyukai dan mau memakainya.
Dua puluh menit kemudian sudah ada tiga gaun serta beberapa celana dan baju senada untuk Fiera. Dan semua itu adalah pilihan Rachles. Jelas saja, karena pilihan Russel membuat Rachles dan Fiera meringis ngeri. Selain ukurannya yang sangat besar, baju yang dipilih Russel penuh dengan manik-manik yang membuat berkilauan atau warna-warni yang pasti menarik perhatian Russel.
“Sekarang giliran siapa, Russel?” tanya Fiera dengan senyum lebar.
“PAPA!” kali ini bukan hanya seruan. Bocah itu juga menjerit senang.
Rachles terkekeh senang. Dengan gaya percaya diri dia berdiri di tempat yang tadi ditempati Fiera.
“Jagoan, carikan Papa pakaian yang keren ya.” Rachles mengedipkan sebelah mata pada Russel.
“Oke, Papa!” Russel mengacungkan ibu jarinya lalu berbalik untuk menjelajah kembali.
Fiera terkikik geli melihat tingkah menggemaskan putranya. “Aku jadi penasaran, keren menurut Russel bagaimana ya?”
Rachles terkekeh. Dia juga tidak tahu seperti apa ‘keren’ versi anak kecil. “Biarkan dia berimajinasi.” Sebelum Fiera menjauh Rachles berkata, “Carikan aku pakaian dalam juga.”
Fiera yang sudah membelakangi Rachles menoleh lalu menjulurkan lidah ke arah lelaki itu.
Beberapa saat kemudian mereka sudah selesai berbelanja pakaian. Untuk Rachles, Fiera tidak tanggung-tanggung memilihkan lebih dari lima belas stel yang semuanya tampak pas membalut tubuh kekar Rachles. Toh bukan dia yang akan mengeluarkan uang.
Kali ini Russel berhasil memilihkan satu pakaian yang benar-benar sesuai yang mungkin hanya kebetulan. Pakaian pilihan Russel yang lain sama anehnya seperti yang ia pilihkan untuk Fiera tadi.
Tak terasa, mereka menghabiskan waktu di bagian pakaian hampir tiga jam. Ini adalah rekor terlama Rachles berada di dalam Mall. Dan dia sama sekali tidak merasa lelah atau kesal mengikuti Fiera dan Russel yang kini asyik memilih makanan dan barang-barang keperluan dapur.
“Bersiaplah. Aku akan menguras uangmu hari ini.” Fiera berkata pada Rachles yang hanya dibalas senyum mengejek lelaki itu.
“Kau harus menjadi istriku agar bisa menguras uangku. Melihat barang belanjaanmu, seminggu pun kau hanya menghabiskan hartaku seujung kuku.”
“Sombong.” Cibir Fiera.
Lagi-lagi mereka tampak seperti keluarga yang bahagia. Rachles mendorong troli sementara Russel duduk di dalam troli bersama barang-barang yang mereka pilih. Sesekali bocah itu menunjuk-nunjuk pada barang yang menarik perhatiannya.
Setelah mereka selesai berbelanja yang akhirnya memenuhi seluruh bagian belakang mobil, mereka masih asyik berada di arena permainan. Russel tampak sangat antusias menarik tangan Rachles dari satu permainan ke permainan yang lain. Hati Fiera berdenyut antara sedih dan bahagia melihat senyum cerah Russel. Bocah itu seolah memamerkan pada semua orang bahwa kali ini ada Papa yang menemaninya bermain. Bukan hanya jalan berdua seperti yang sering Russel dan Fiera lakukan yang akhirnya membuat Russel malas bermain.
Hari sudah beranjak siang saat Russel kelelahan dan mengajak pulang. Kini mereka kembali berada dalam mobil.
“Mau makan siang dulu?” Fiera menawarkan.
“Ngantuk, Ma.” Russel tampak tidak sanggup membuka mata. Kini dia duduk di pangkuan Fiera dengan wajah terbenam di dadanya.
“Aku ingin makan masakanmu saja.”
“Baiklah. Kebetulan tadi aku membeli ikan kaleng kesukaan Russel.”
Rachles mengangguk-angguk. Setelahnya tidak ada lagi percakapan sampai tiba di halaman rumah sederhana dua lantai. Yah, sederhana jika dibandingkan kediaman keluarga Reeves.
Rachles memarkir mobil di halaman rumah itu dengan kening berkerut. Tampak sepi. Apa tidak ada pelayan di sini?
Lelaki itu menoleh memperhatikan ibu dan anak yang terlelap di kursi sebelahnya. Senyum Rachles mengembang dan lagi-lagi rasa hangat itu menjalari hatinya. Sebenarnya dia tidak tega membangunkan Fiera. Tapi Fiera yang memiliki kunci rumah.
“Fiera, bangun. Kita sudah sampai.”
Tidak ada reaksi.
Tangan Rachles terulur ragu, tapi dia menahankan perasaan. Lalu dengan jantung berdegup kencang, Rachles menepuk-nepuk pelan pipi Fiera. “Fiera…”
Kali ini mata Fiera mengerjap-ngerjap kemudian perlahan terbuka. Buru-buru Rachles menarik tangannya kembali dengan gugup. Dia merasa seperti bocah yang takut kenakalannya diketahui.
“Sudah sampai, ya?” tanya Fiera dengan nada mengantuk.
“Hmm.
“Duh, anak Mama nyenyak sekali.”
“Wajar saja. Dia pasti lelah. Kita hampir enam jam berada di Mall. Astaga!” Rachles geleng-geleng kepala.
Fiera hanya tersenyum geli.
“Tunggu di situ, biar aku yang akan menggendong Russel. Kau bukakan pintu.”
Rachles keluar dari mobil lalu membuka pintu di samping Fiera. Perlahan dia mengangkat Russel ke dalam dekapannya.
Beberapa saat kemudian mereka sudah ada di kamar Russel. Perlahan Rachles menurunkan Russel di ranjang queen size milik bocah itu. Fiera sengaja memilihkan ranjang berukuran besar untuk Russel karena ia kerapkali lebih memilih tidur bersama putranya daripada di kamar utama yang kosong dan dingin.
“Kau istirahat saja dulu. Aku akan memasak. Nanti kubangunkan setelah makan siangnya siap.”
“Tidak perlu, nanti saja. Kita bertiga lebih membutuhkan tidur daripada makan.”
“Baiklah. Ayo, kuantar ke kamar tamu.”
“Aku ingin tidur bersama Russel.” Ujar Rachles sambil melepas jaket dan sepatunya.
“Oh.” Padahal Fiera sedang tidak ingin tidur sendirian. Tapi kalau Rachles ingin tidur dengan Russel, Fiera tidak bisa melarang.
“Jangan memasukkan barang-barang belanjaan sendirian. Kau istirahat saja. Nanti aku akan membantumu.”
“Ya. Kalau begitu, aku keluar dulu. Panggil saja aku jika Russel rewel.”
Ruchles mengangguk seraya merebahkan diri si samping Russel. Sama seperti semalam, lelaki itu memeluk Russel dengan nyaman.
Fiera hanya bisa memperhatikan mereka. Mendadak perasaan iri itu muncul. Dia iri pada Russel yang dengan mudah melupakan kekecewaanya terhadap Raynand dan bisa bercanda tanpa batasan dengan Rachles.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥