Jumat (00.13), 09 April 2021
---------------------
Fiera menggeliat dalam tidurnya. Rasanya sudah lama sekali dia tidak tidur senyenyak ini. Dia jadi tidak ingin membuka mata, tidak mau meninggalkan kenyamanan yang ia rasakan sekarang. Tapi otaknya yang mulai terjaga memaksa Fiera untuk segera membuka mata.
Ia mengerang, masih dengan mata tertutup rapat. Tangannya terulur, hendak memeluk tubuh mungil hangat yang biasa selalu menemani tidurnya tiap pagi. Namun tubuh itu tidak ada. Padahal tidak pernah sebelumnya jagoan kecil Fiera bangun lebih dulu darinya.
Perlahan kelopak mata Fiera terangkat. Mengerjap sebentar lalu memusatkan perhatian pada ranjang yang ia tempati. Tidak ada siapapun di sana kecuali dirinya.
DEG.
Ketakutan itu melanda hati Fiera hingga terasa menyakitkan. Beruntung dia langsung teringat bahwa dirinya tidak hanya tidur berdua bersama Russel. Ada orang lain yang menemani mereka semalam. Ya, pasti Russel bersama Rachles sekarang.
Mendesah lega, Fiera bangkit mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Dia melepas ikatan rambut lalu menyisir rambutnya dengan jari hanya untuk sedikit merapikan. Setelah itu ia kembali mengikat dengan asal-asalan.
“RACHLES! RUSSEL!” Fiera berteriak seraya keluar kamar.
Kening Fiera berkerut bingung karena tidak menemukan tanda-tanda kedua orang itu. Dia sudah mencari ke ruang tengah, ruang bermain Russel, perpustakaan, bahkan ke ruang depan. Namun tidak bisa menemukan keberadaan mereka.
Tidak mungkin Rachles membawa Russel pergi keluar rumah karena mobilnya dan mobil lelaki itu masih terparkir di halaman dan pagar tinggi yang mengelilingi rumah masih terkunci.
Kembali Fiera masuk sambil sesekali berteriak memanggil nama mereka. Kali ini tujuannya adalah dapur. Mungkin mereka lapar lalu mencoba bereksperimen di dapurnya.
Lagi-lagi Fiera tidak menemukan seorangpun di sana. Tapi samar-samar Fiera mendengar suara tawa dan percakapan dari halaman belakang. Segera ia membuka tirai yang menutupi jendela kaca tinggi di dapur. Ternyata mereka di sana. Berenang sambil bercanda di kolam.
Bibir Fiera melengkung membentuk senyuman melihat Russel tertawa senang ketika bergelayut di punggung Rachles saat lelaki itu berenang. Kolam renang itu dalamnya hanya satu meter. Tapi tinggi Russel yang masih kurang dari satu meter jelas tidak memungkinkannya untuk berenang tanpa bantuan. Lagipula Russel tidak pernah benar-benar berenang. Dia hanya suka bermain air di pinggir kolam bersama Fiera.
Tak terasa, air mata Fiera menitik. Dia terharu melihat kedekatan mereka. Andai—
Astaga! Sampai kapan dirinya akan terus berandai-andai.
Fiera menggelengkan kepala untuk mengenyahkan apapun yang tadi melintas di pikirannya. Dia segera menghapus air mata, lalu menuju pantry untuk menyiapkan sarapan. Roti panggang isi keju dan berlapis mentega serta segelas s**u hangat pasti nikmat untuk menemani mereka mandi.
Segera Fiera menyiapkan bahan-bahan untuk membuat sarapan yang sudah terbayang di benaknya. Sesekali ia menoleh, memperhatikan dua lelaki beda usia yang masih asyik bermain air. Tawanya juga lepas melihat tawa mereka. Kegembiraan itu membuat hati Fiera terasa ringan, lalu tanpa sadar ia bersenandung pelan dengan suara merdu. Suatu hal kecil yang sudah lama tidak Fiera lakukan.
Beberapa menit kemudian, sarapan sudah siap di atas nampan. Satu piring dengan beberapa irisan roti dan tiga gelas s**u hangat. Aromanya sangat lezat dan menggiurkan.
Dengan senyum cerah, Fiera keluar ke halaman belakang menuju tempat Russel dan Rachles kini beristirahat di tepi kolam. Keduanya tampak kelelahan tapi tawa mereka masih terdengar.
“Waktunya sarapan!” seru Fiera.
“Mama!” Russel berseru senang. Dia melompat-lompat sambil bertepuk tangan melihat Fiera. “Ma, Russel sudah bisa berenang. Papa bilang Russel akan jadi juara renang setelah besar nanti.” Bocah itu bercerita dengan riang.
“Wah, hebat sekali. Mama tidak sabar melihat Russel mendapat medali emas.” Fiera tersenyum lebar sambil meletakkan nampan di meja pinggir kolam. Di kanan kiri meja itu hanya terdapat dua kursi yang nyaman untuk berbaring setelah berenang.
“Medali emas itu apa?” tanya Russel dengan kening berkerut.
Rachles terkekeh lalu mengangkat Russel dalam gendongan. Dia membawa bocah itu ke dekat Fiera lalu mendudukkannya di kursi santai. “Medali emas itu adalah kalung untuk para pemenang. Kalau Russel menang lomba, Russel akan dapat medali.”
Bocah itu mengangguk-angguk tapi tampak masih bingung. Rachles dan Fiera tertawa melihatnya.
“Sekarang minum s**u yang banyak agar tubuh Russel cepat tinggi.” Fiera mendekatkan gelas ke bibir Russel.
Tanpa protes Russel meminum s**u di gelas yang masih ibunya pegang. Setelah itu Fiera menyerahkan seiring roti ke tangan Russel yang langsung dilahap bocah itu.
Fiera menoleh pada Rachles yang hanya minum s**u. “Kenapa kau tidak makan?”
Fiera mengambil irisan roti yang lain lalu ia sodorkan ke arah Rachles. Bukannya mengambil roti dari tangan Fiera, lelaki itu malah langsung menggigit roti itu tanpa berniat mengambilnya hingga tampak Fiera sedang menyuapi Rachles.
Kening Fiera berkerut. “Kenapa tidak diambil? Kau tidak suka?”
“Aku suka. Rasanya enak dan gurih.” Kini lelaki itu malah memegang pergelangan tangan Fiera lalu mengarahkan roti kembali ke mulutnya.
Fiera mendengus saat menyadari maksud Rachles. “Dasar manja. Apa kau tidak malu pada Russel? Dia saja makan sendiri.”
Wanita itu sama sekali tidak tampak tersipu malu atau merasakan getaran aneh di hatinya saat menyuapi Rachles. Dia benar-benar melihat Rachles hanya seperti seorang adik. Tidak ada perasaan lebih. Dan itu lagi-lagi membuat Rachles kecewa. Tapi Rachles tidak mau menyerah.
Saat ini Fiera masih terlalu fokus pada Raynand dan perselingkuhannya. Entah berapa kali wanita itu memikirkan si b******n Raynand dalam sehari.
Sekarang yang harus dilakukan Rachles adalah memastikan pikiran Fiera teralihkan dari Raynand. Membuatnya terlalu sibuk dengan kebersamaan mereka bertiga hingga perlahan keberadaan Raynand di hati Fiera memudar. Memang melaksanakan tidak semudah merencanakan. Tapi siapa yang tahu? Hati manusia bisa berubah baik perlahan maupun seketika.
Rachles hanya menyeringai menanggapi komentar Fiera. Dia terus makan hingga roti di tangan Fiera tandas.
“Kurang?” tanya Fiera.
Rachles menggeleng. “Aku harus mengurus beberapa hal karena kepindahanku ke sini. Nanti siang aku kembali dan kita bisa makan siang di luar.”
“Oh, baiklah.” Setitik kekecewaan mengisi hati Fiera. Tapi hanya sebentar. Dia mulai terbiasa dengan kehadiran Rachles sepanjang waktu walau baru dua hari. “Kau sudah pamit pada Russel?”
“Aku akan pamit sekarang.” Rachles mendekati Russel yang kini sedang menjilat jari-jemarinya. Dia berlutut di depan bocah itu. “Russel, Papa pergi kerja sebentar ya. Nanti siang kita main lagi.”
Bocah itu menatap mata Rachles lekat. Matanya berkaca-kaca mendengar kata yang sangat familiar di telinganya. “Kerja?” suara bocah itu terdengar lirih.
Rachles bingung melihatnya. Perlahan dia mengangguk karena tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
“Tidak boleh.” Russel menangis keras. Lengan mungilnya secara tiba-tiba melingkari leher Rachles seolah melarang lelaki itu pergi.
Rachles semakin bingung. Dia menoleh ke arah Fiera yang kini juga berlutut di sampingnya dengan berurai air mata. Wanita itu membelai rambut Russel dengan penuh sayang.
“Russel, Papa Rachles hanya pergi sebentar.” Bisik Fiera lembut lalu beralih pada Rachles. “Dia pasti mengira kau akan pergi lama seperti dulu. Atau pergi kerja selama berhari-hari seperti Raynand.”
Dada Rachles sesak karena haru. Russel benar-benar tidak ingin ia tinggalkan. “Sebaiknya kalian ikut saja. Aku hanya harus menemui beberapa orang termasuk Papa dan Paman Luke.”
“Itu akan merepotkanmu.”
Rachles menggeleng. “Sama sekali tidak. Kau cepat bersiap. Aku dan Russel akan mandi bersama.” Setelah berkata demikian, Rachles berdiri sambil membawa Russel dalam gendongan. Dia berjalan kembali ke dalam rumah seraya membelai punggung telanjang Russel dan membisikkan kata-kata hiburan.
Fiera berdiri, memperhatikan punggung Rachles yang semakin menjauh. Air matanya semakin deras mengalir. Kali ini terharu akan kepedulian Rachles pada Russel.
Lagi-lagi, kata ‘andai’ itu muncul di benak Fiera.
Andai Rachles yang dijodohkan padanya hari itu, mungkin hidup Fiera akan bahagia dan penuh cinta. Dirinya juga tidak harus memendam cinta menyakitkan dan melihat putranya menangis hanya karena ingin bermain bersama papanya.
Sebelumnya Fiera tidak pernah menyesali apapun dalam hidupnya. Tapi kini dia menyesal telah menerima perjodohan itu dan lambat laun menyerahkan hatinya pada Raynand hingga mencintai sedalam ini.
***
“Jadi kau akan bekerja di perusahaan ini? Kupikir kau akan satu kantor dengan Raynand mengingat perusahaan kalian masih bagian dari perusahaan milik keluarga Reeves.”
“Bidang yang aku geluti berbeda dengannya. Jadi kami tidak satu gedung. Aku di bidang properti sedangkan Raynand di bidang sumber daya alam. Semua usaha milik keluarga Reeves yang berhubungan dengan kekayaan alam seperti sawah, hutan, dan hasil laut diatur di bagian Raynand. Sementara aku bagian tanah dan bangunan. Tentu saja masih banyak bagian-bagian lainnya.”
Fiera hanya mengangguk-angguk. Dari dulu topik mengenai bisnis sama sekali bukan minatnya. “Lalu kapan kau mulai bekerja?”
Rachles memperhatikan Russel yang duduk di pangkuan Fiera dan tampak asyik dengan mobil-mobilannya. “Mulai senin depan. Untuk seminggu ini, aku akan bermain sepanjang waktu dengan Russel.”
Senyum Fiera mengembang. “Russel pasti senang sekali.”
“Hanya Russel?”
“Aku juga senang.” Fiera tertawa kecil.
Rachles juga tertawa tapi kemudian keningnya berkerut. “Apa kau yakin aku tidak pernah menyumbang benih untuk membuatnya? Russel benar-benar lebih mirip aku daripada Raynand.”
Setelah kalimat itu terlontar, terdengar seruan kesakitan dari Rachles. Lelaki itu mengerang keras merasakan cubitan Fiera di pinggangnya. Sementara Russel memperhatikan raut wajah kesakitan Rachles dengan bingung.
“Dasar buaya! Kau membicarakan Russel seperti membicarakan tanaman.” Fiera berkata kesal setelah melepaskan cubitannya. Dia masih cukup sadar bahwa Rachles masih menyetir.
“Aku hanya bertanya. Aduh.” Rachles masih mengaduh sambil menggosok pinggangnya.
“Pertanyaanmu sungguh membuat jengkel. Kalau ada yang dengar, pasti mereka pikir Russel hasil iuran.” Fiera berkata masih dengan nada kesal.
Iuran?
Seketika Rachles tertawa. Dia sama sekali tidak bisa menahan diri meski wajah Fiera masih tampak kesal.
“Ada yang lucu?” Fiera melotot.
Rachles berdehem. “Hmm, tidak.” Dia berusaha menahan tawa.
“Papa kenapa, Ma?” tanya Russel dengan wajah penasaran. Mungkin dia bingung tadi Rachles mengerang kesakitan lalu mendadak tertawa.
“Papa sudah gila.”
“Gila?”
Fiera menggaruk pelipisnya bingung bagaimana harus menjelaskan. Russel memang tidak pernah melihat orang gila. Pasti dia tidak mengerti maksudnya. Kemudian Fiera menoleh pada Rachles meminta bantuan untuk menjelaskan.
Rachles yang melihat tatapan Fiera malah menjulurkan lidah. “Jawab saja sendiri.”
Fiera merengut. Dia memutar otak mencari jawaban yang paling bisa diterima anak seusia Russel. Tapi lalu perhatian Fiera tertuju pada mainan di tangan Russel.
“Russel, mobil ini warnanya apa?” Fiera menunjuk mobil mainan di tangan Russel.
“Merah.”
“Wah, anak Mama pintar sekali.” Kebetulan memang hanya warna merah dan hitam yang dihafal Russel. Jika ditanya warna lain dia akan menjawab asal-asalan. “Russel kenapa cuma punya yang warna merah? Setelah ini minta Papa belikan mobil warna hitam, putih, hijau, biru, dan yang lainnya.”
Rachles berdecak. “Pengalih perhatian yang bagus.”
Russel memperhatikan mobil di tangannya lalu mendongak menatap ibunya. “Russel mau mobil merah yang besar, Ma.”
“Kalau begitu minta pada Papa.”
Bocah itu beralih menatap Rachles. “Pa, belikan mobil merah yang besar.”
“Hmm,” Rachles pura-pura berpikir seraya membelokkan mobilnya memasuki lahan parkir sebuah rumah makan. Dia mematikan mesin mobil sebelum melanjutkan, “Cium Papa dulu. Nanti kita beli di toko mainan.”
Rachles mendekatkan wajahnya ke wajah Russel. Dengan senyum senang, Russel mengecup bibir Rachles seperti yang biasa ia dan ibunya lakukan.
“Bukan seperti itu.” ujar Rachles sambil menangkup kedua pipi Russel. Dia mengecup bibir Russel sekilas, lalu kedua pipinya bergantian. Setelah itu ia menempelkan keningnya di kening Russel sambil perlahan menyentuhkan hidung mereka dengan kening masih menempel. “Kalau Papa minta cium, harus seperti itu. Oke?”
“Oke, Papa.” Bocah itu menyeringai lebar hingga pipinya yang tembam semakin terlihat membulat. Sangat lucu dan menggemaskan.
“Pintar.” Rachles mengacak-acak rambut Russel kemudian melepas sabuk pengaman. “Ayo turun. Kita makan dulu setelah itu cari mainan.”
“Hore!”
Rachles keluar lebih dulu lalu mengitari kap mobil menuju sisi Fiera untuk membukakan pintu. Beberapa saat kemudian Rachles sudah berdiri tegak dengan Russel dalam gendongan sementara Fiera berdiri di sebelahnya.
Saat mereka hendak menuju pintu rumah makan, ponsel Fiera berbunyi. Fiera mengeluarkan ponselnya dan segera mengecek caller id.
“Siapa?” tanya Rachles sebelum Fiera menerima telepon.
“Raynand.” Jawab Fiera seraya menerima panggilan.
Belum sempat ponsel sampai ke telinga Fiera, mendadak Rachles mengambilnya. “Halo, Raynand.” Sapa Rachles dengan senyum di bibirnya.
“Rachles? Kenapa kau yang menerima telepon?”
“Aku sedang menemani Fiera dan Russel.”
“Kalian di mana? Tidak biasanya Fiera pergi keluar rumah saat aku pulang.”
“Kami hendak makan siang. Sepertinya menjelang malam baru pulang. Kalau kau masih sibuk, lanjutkan saja kesibukanmu. Sampai jumpa.”
Tanpa menunggu jawaban, Rachles langsung mematikan sambungan telepon.
“Kenapa Raynand menelepon?”
Rachles pura-pura bingung. “Pertanyaanmu aneh. Bukankah wajar seorang suami menelepon istrinya saat ia keluar kota? Aku sengaja menerima panggilan telepon agar Raynand tahu bahwa kalian bersamaku. Jadi dia tidak perlu khawatir.”
“Ah, iya.” Jawab Fiera gugup.
“Kalau begitu, ayo kita makan!” seru Rachles sambil menggandeng tangan Fiera.
Dengan pasrah Fiera mengikuti langkah Rachles meski dalam hati dia masih bertanya-tanya alasan Raynand menelepon. Tidak mungkin Raynand hanya ingin menanyakan kabar Fiera dan Russel.
Sementara itu Rachles menyeringai dalam hati. Apa kata Raynand tadi? Tidak biasanya Fiera pergi keluar rumah saat dia pulang? Sepertinya dia terlalu nyaman dengan sikap Fiera yang memperlakukan dirinya bak raja. Lihat saja bagaimana kesalnya makhluk satu itu sekarang di rumah. Bukan jadi pihak yang ditunggu, melainkan jadi pihak yang menunggu.
-----------------------
♥ Aya Emily ♥