Jumat (00.12), 09 April 2021
------------------------
Suara mobil memasuki halaman rumah terdengar samar-samar di telinga Fiera. Ia segera menyingkirkan selimut yang menutupi kaki jenjangnya lalu turun dari kursi santai yang menyerupai ranjang di depan tv.
Sejenak Fiera mengintip dari jendela kaca disamping pintu depan untuk memastikan bahwa yang datang memang benar-benar orang yang ditunggunya.
Tidak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa orang yang sedang menembus gerimis sambil menenteng tas besar adalah Rachles. Segera Fiera membuka pintu, menunggu di teras rumah.
“Kenapa belum tidur?” tanya Rachles begitu berada di hadapan Fiera.
Fiera meraih tas besar Rachles agar lelaki itu bisa melepas mantelnya yang agak basah. “Kau tidak punya kunci rumah. Jadi aku menunggumu pulang.”
Rumah? Pulang?
Rachles merasa benar-benar memiliki istri dan anak sekarang.
“Besok aku akan membuat duplikat kunci rumah ini.” Rachles terdiam sejenak. “Jika kau mengizinkan.”
Fiera tersenyum lalu merangkul lengan Rachles yang dingin. “Kenapa kau sungkan sekali. Ini rumah kakakmu.”
Seketika jantung Rachles berdegup tak terkendali. Kehangatan yang mengalir dari sentuhan Fiera membuat Rachles ingin merengkuh wanita itu lalu menciumnya kuat-kuat.
“Aku hanya merasa tidak enak. Nanti kau berpikir aku merebut rumahmu.”
“Asal kau tidak mengusir aku dan Russel, tidak masalah.” Fiera bermaksud bercanda.
“Mana mungkin aku melakukannya? Tempat ini tidak akan menjadi rumah tanpa kalian.” Karena bagiku, di mana ada kalian di situlah rumahku, lanjut Rachles dalam hati.
“Puitis sekali.” Fiera tertawa kecil. Saat melewati ruang tengah ia meletakkan tas Rachles di meja besar kemudian mematikan tv yang tadi ia tinggalkan dalam keadaan menyala. “Ke dapur dulu. Aku akan membuatkanmu teh jahe agar kau merasa hangat.”
“Dengan senang hati, My Lady.”
Rachles meletakkan sebelah lengan di depan perut lalu membungkuk seperti gaya pengawal kerajaan. Fiera terkekeh melihat itu. Ia menarik tangan Rachles agar lelaki itu menghentikan tingkah konyolnya.
Mereka tertawa bersama hingga mencapai dapur.
“Duduklah.” Ujar Fiera seraya menuju kompor.
Rachles duduk di depan pantry, memperhatikan Fiera yang tampak sangat manis. Padahal wanita itu hanya mengenakan jubah kamar yang membalut tubuhnya hingga mata kaki. Rambutnya digelung asal-asalan. Wajahnya polos tanpa make-up. Meski penampilannya terkesan acak-acakan, Rachles merasa Fiera jauh lebih cantik daripada yang biasa ia lihat.
“Kau sudah bilang akan tinggal di sini?” tanya Fiera seraya meletakkan secangkir the jahe hangat di hadapan Rachles lalu duduk di samping lelaki itu.
“Iya, tapi hanya Mama, Papa, dan Nenek.” Rachles mengangkat cangkir ke depan bibir, meniupnya selama beberapa saat lalu ia sesap teh hangat itu dengan nikmat.
“Bagaimana tanggapan mereka?”
“Tentu saja sangat senang.” Sekali lagi Rachles menyesap minumannya. “Enak sekali. Ini pertama kalinya aku minum teh semacam ini.”
“Benarkah?” Fiera terkekeh.
“Iya, sungguh. Bolehkah aku minta lagi besok malam? Sepertinya minuman ini akan membantuku tidur nyenyak.”
“Aku akan membuatkannya untukmu tiap malam selama kau tinggal di sini.”
“Aku anggap itu janji.” Rachles mengedipkan sebelah mata lalu menyesap teh jahe itu lagi.
“Iya, aku janji.” Fiera tersenyum lembut. “Oh ya, ada dua kamar tamu di rumah ini. Di lantai atas dan di bawah. Kau pilih saja.”
“Aku ingin tidur bersama Russel.”
Fiera kecewa mendengar itu. Dia benar-benar tidak ingin tidur sendirian. Tadi siang saja dia sangat gelisah berada di kamar utama seorang diri. Dia berbohong pada Rachles bahwa dirinya juga istirahat siang. Padahal Fiera memasak karena tidak sanggup memikirkan Raynand dan selingkuhannya.
Fiera juga tidak mau bayangan-bayangan itu muncul. Tapi dia tidak bisa mencegahnya. Terutama bayangan saat Fiera mengetahui perselingkuhan Raynand untuk pertama kali.
Saat itu Russel yang baru menginjak usia dua tahun terserang demam. Karena khawatir, Fiera memohon agar Raynand tidak pergi—yang katanya harus ke luar kota. Tapi permohonan Fiera malah membuat Raynand marah. Fiera sempat kaget karena itu pertama kalinya Raynand marah padanya.
Malamnya Fiera menangis sendirian karena Raynand tetap bersikeras pergi. Tak disangka, demam Russel kian menjadi dan membuat Fiera panik. Di tengah hujan deras malam itu, Fiera berkendara seorang diri bersama Russel menuju rumah sakit.
Ternyata penderitaan Fiera malam itu belum berakhir. Saat Russel sudah ditangani dokter dan Fiera keluar hendak mencari kopi, tanpa sengaja dia melihat seorang lelaki yang tampak seperti Raynand. Hanya untuk mengenyahkan kecurigaan yang mendadak muncul, Fiera mendekat ke arah lelaki yang duduk sambil mendekap seorang wanita di taman rumah sakit yang agak temaram. Saat itulah, Fiera benar-benar merasakan apa yang namanya sakit hati.
Sebelumnya Fiera tidak pernah berprasangka buruk terhadap Raynand meski sikap Raynand agak berubah beberapa bulan terakhir dan kerapkali melakukan perjalanan dinas ke luar kota. Fiera sangat mempercayai suami yang begitu ia cintai. Namun malam itu, kepercayaannya terhadap Raynand hancur berkeping-keping. Apalagi setelah mencuri dengar pembicaraan mereka.
Wanita itu menangis karena terpaksa menggugurkan bayi dalam kandungannya. Dia tidak mau bayinya lahir di luar pernikahan. Bahkan sangat jelas di telinga Fiera saat mendengar suara Raynand menawarkan agar wanita itu menjadi istri keduanya. Namun wanita itu menolak dan tidak mau menjadi yang kedua. Menurutnya Raynand harus memilih, istrinya atau wanita itu.
Hati Fiera semakin hancur mendengar pengakuan Raynand. Suaminya mengatakan tidak bisa menceraikan Fiera karena keluarga Reeves pasti akan mencoretnya dari daftar keluarga jika ia melakukan itu. Dia menikah dengan Fiera hanya untuk menyenangkan orang tuanya. Apalagi orang tua Fiera adalah rekan bisnis keluarga Reeves. Jika perceraian terjadi, maka perusahaan milik keluarga Reeves akan mengalami masalah.
Ya, Raynand sudah melukai hati Fiera sangat dalam. Tapi entah mengapa Fiera tidak bisa berhenti mencintainya. Dia masih terus bertahan dan berharap suatu ketika Raynand benar-benar menganggap dirinya adalah tempat pulang.
Kini sudah dua tahun berlalu. Rasa sakit masih terus menghantui hati Fiera, semakin parah dari hari ke hari. Sikap Raynand padanya tidak banyak berubah selama Fiera tidak mencampuri urusannya. Fiera hanya harus menjadi istri yang tidak boleh menuntut. Bahkan Fiera tetap diam meski Raynand sudah tidak menyentuhnya selama beberapa bulan terakhir.
Ya, Fiera hanya harus menutup mata atas perselingkuhan Raynand, tidak menuntut, dan tetap menjadi istri yang baik agar rumah tangganya baik-baik saja. Maka dia tetap bisa menjadi istri lelaki yang amat dicintainya.
“Fiera?”
Fiera tersentak kaget saat melihat tangan Rachles melambai-lambai di depan wajahnya. “Hah? Ya?”
“Kau melamun hampir sepuluh menit.”
Fiera tersenyum malu. “Kau bercanda.”
“Aku serius.” Rachles sama sekali tidak tersenyum. “Ada yang ingin kau ceritakan padaku? Aku adalah pendengar yang baik. Tanya saja Razita jika tidak percaya.”
Ingin sekali Fiera berbagi. Tapi tidak mungkin dia melakukannya, terutama pada adik suaminya. “Tidak ada. Aku hanya merasa lelah.”
“Ya, sudah larut malam. Maaf membuatmu terjaga karena menungguku.” Suara Rachles terdengar datar.
“Aku sama sekali tidak keberatan.” Fiera tersenyum ragu karena mata cokelat keemasan Rachles menatapnya sangat tajam seolah ingin membaca hatinya.
“Kalau begitu, terima kasih.”
“Sama-sama.”
Mendadak ruangan itu menjadi hening. Fiera makin merasa tidak nyaman karena Rachles masih menatapnya tajam. Bukan perasaan seorang wanita yang takut lelaki di hadapannya berbuat macam-macam. Hanya perasaan khawatir Rachles mengetahui apa yang dia pikirkan.
Fiera berdehem. “Hmm, kau ingin tidur bersama Russel, kan? Tapi tidak ada lemari kosong untuk menyimpan pakaianmu di sana.”
“Terpaksa aku akan menyimpannya di kamar tamu. Tapi aku akan tetap tidur bersama Russel.”
“Baguslah.”
Hening kembali.
“Sebaiknya aku istirahat sekarang. Aku sudah benar-benar lelah.” Fiera berdiri lalu berbalik meninggalkan Rachles. Tapi baru beberapa langkah dia berhenti, menoleh pada Rachles yang masih duduk nyaman. “Kau bisa menemukan kamar tamu seorang diri, kan?”
“Hmm.”
“Oh, baiklah. Kalau begitu selamat malam.”
“Selamat malam.”
Fiera hanya mendengar suara Rachles sangat lirih. Dia menggigit bibir saat bergegas ke kamar utama di lantai dua. Mungkinkah Rachles bisa menebak apa yang mengganggu hati Fiera? Semoga tidak. Karena jika Rachles tahu, mungkin lelaki itu akan mendesak Fiera agar bercerai.
Tidak. Fiera tidak mau.
Dirinya akan tetap bertahan meski ini sangat menyakitkan. Yang penting Raynand masih menjadi suaminya.
Egois memang. Tapi Fiera tidak sanggup kehilangan Raynand dan membuat Russel tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah.
***
Entah sudah berapa kali Fiera berganti posisi tidur di atas ranjang besarnya. Dari telentang, miring kanan, miring kiri, lalu telungkup. Tetap saja bayangan itu tidak bisa enyah dari pikirannya.
Bahkan tadi saat Fiera mencoba memutar ulang memori bahagianya saat b******a dengan Raynand untuk pertama kali, wajahnya malah berubah menjadi wajah wanita itu. Alhasil dia merasa sedang menonton adegan live sang suami dan selingkuhannya. Dan itu amat—sangat—menyakitkan.
Tidak sanggup bertahan lebih lama, Fiera turun dari ranjang lalu mengenakan jubah kamar untuk menutupi gaun tidurnya.
Sesampainya di depan kamar Russel, Fiera ragu. Tapi kemudian dia mengenyahkan keraguannya lalu membuka pintu. Saat ini pikirannya sangat mengkhawatirkan. Jika dibiarkan lebih lama, Fiera bisa jadi gila. Entah bagaimana nasib Russel nantinya jika memiliki seorang ibu yang gila.
KLEK.
Fiera kaget saat melihat Rachles masih duduk bersandar di ranjang sebelah Russel yang terlelap sambil membaca buku. Lelaki itu mendongak, menatap Fiera dengan salah satu alis terangkat ke arah Fiera.
“Oh, hai. Kupikir kau sudah tidur.” Ujar Fiera malu.
Mata Rachles menyipit. “Kau mengendap-endap ke sini karena mengira aku sudah tidur? Apa kau berniat macam-macam padaku.” Rachles segera menyilangkan kedua lengan menutupi d**a.
Fiera merengut karena tuduhan Rachles, tapi kemudian dia terkekeh. “Kau seperti perawan yang hendak kuperkosa.” Fiera cukup senang karena sikap Rachles sudah kembali seperti semula.
“Bukannya kau memang berniat seperti itu?”
“Hentikan, Rachles! Kau menjijikkan.” Fiera tertawa kecil seraya menutup pintu. Ia menuju ranjang lalu duduk di sisi bersebarangan dari yang Rachles tempati. “Apa tadi dia terbangun?” tanya Fiera sambil membelai rambut Russel.
“Sama sekali tidak.” Rachles memperhatikan Fiera yang kini berbaring miring di sebelah Russel. “Tidak bisa tidur?”
Fiera ingin mengelak. Tapi kemudian dia mendesah. Rasanya sangat melelahkan terus menerus berbohong. “Ya.”
“Karena tidak ada Raynand?”
“Ya.”
“Jadi itu sebabnya kau tidak suka aku tidur bersama Russel. Kau juga ingin tidur di sini.”
Fiera mendongak menatap mata cokelat keemasan Rachles. “Bukan tidak suka. Aku hanya sedih karena harus tidur sendirian.”
“Apa bedanya?” cibir Rachles. “Tidurlah di sini. Aku tidak akan macam-macam dan ranjang ini cukup besar untuk kita tempati bertiga.”
“Itu tidak baik. Kau adik iparku. Apa kata orang jika mereka tahu bahwa kita tidur seranjang.”
“Pertama, tidak ada yang tahu bahwa kita tidur seranjang. Kedua, kita tidak berbuat macam-macam. Ketiga, suamimu sama sekali tidak keberatan. Jadi apa masalahnya?”
Fiera berdecak. “Enteng sekali kau berkata seperti itu.”
“Kalau tidak mau ya sudah. Kembali saja ke alammu. Hush…hush…” Rachles mengibas-ngibaskan tangan mengusir Fiera.
“Aku ingin di sini.” Fiera melingkarkan sebelah lengan di tubuh Russel.
Rachles tersenyum sambil berusaha menenangkan debar jantungnya. Segera ia menutup buku yang dipegangnya lalu ia letakkan di atas nakas. Kemudian Rachles berbaring miring menghadap Russel dengan sebelah lengan juga melingkari tubuh Russel.
“Kenapa kau juga menghadap ke sini?” Fiera menepis tangan Rachles di tubuh Russel.
“Aku memang selalu tidur seperti ini saat bersama Russel. Kalau tidak suka pergi saja.”
“Dari tadi kau yang terus mengusirku. Aku yang harusnya mengusirmu.”
“Sejak kau memberi izin padaku tinggal di rumah ini, aku sudah mengklaim kamar ini sebagai kamarku dan Russel. Jadi aku berhak mengusirmu.”
“Dasar menyebalkan!”
Fiera mencubit lengan Rachles, tapi Rachles balas mencubit pipi Fiera.
“Lepaskan pipiku!” seru Fiera. Lumayan panas cubitan Rachles di pipinya.
“Lepaskan dulu tanganku.” Rachles tidak mau kalah.
“Nngg…Mama! Papa! Russel ngantuk!”
Seruan Russel membuat Rachles dan Fiera menghentikan tingkah kekanakan mereka lalu menunduk menatap bocah yang masih memejamkan mata. Kemudian keduanya kembali saling memandang. Mata cokelat keemasan bertemu mata hitam teduh.
Ada banyak hal yang ingin diungkapkan keduanya dalam tatapan itu. Fiera ingin berterima kasih karena sejak kedatangan Rachles, hidupnya yang biasanya sepi dan penuh air mata mendadak jadi berwarna dan penuh tawa. Rachles ingin mengatakan betapa ia mencintai Fiera dan berharap wanita itu membebaskan diri dari kesedihannya dan memilih bersama Rachles.
Namun mereka sama-sama tidak bisa melakukan itu. Yang keduanya pikirkan hanya tercermin dari tatapan masing-masing.
“Tidurlah.” Perintah Rachles lembut.
Lelaki itu membungkuk mencium kening Russel lalu membelai kening Fiera sekilas. Setelahnya ia kembali berbaring dengan posisi seperti tadi.
Perasaan nyaman itu melanda hati Fiera. Sudah lama sekali dia tidak merasakan perasaan seperti ini hingga air matanya menitik. Bukan karena teringat pada Raynand. Tapi karena dia terharu dengan kenyamanan yang dibawa Rachles dalam hidupnya.
--------------------
♥ Aya Emily ♥