Begitu Arya meninggalkan ruang kerja dengan sedikit membanting pintu, Celestine tetap berdiri di sana—diam, seperti patung dalam galeri yang hanya dihargai karena tampilan luar, bukan isi jiwa yang retak-retak. Napasnya berat, tertahan. Ia membiarkan beberapa detik berlalu, cukup untuk memastikan Arya benar-benar menjauh, cukup untuk membiarkan kemarahan mengendap menjadi sunyi. Ia melangkah perlahan ke kursi kerjanya—kursi yang lembut tapi terasa panas, seperti takhta yang dibayar dengan luka. Ia duduk, menatap meja kerja, lalu menarik laci tersembunyi di bawah tumpukan dokumen. Dari situ, ia mengambil satu ponsel kecil—bukan perangkat biasa. Ini dunianya yang lain. Dunia yang tidak mengabdi pada nama keluarga atau status hukum. Dunia tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, meski hanya s

