Hujan turun rintik-rintik di atas tanah merah yang masih basah. Di bawah langit kelabu, nisan bertuliskan nama Arya Wijaya berdiri kokoh, meski baru beberapa jam tertancap. Wajah Celestine tertutup kacamata hitam besar, tapi matanya sembab di baliknya. Bram berdiri di sampingnya, diam dan sigap, seperti biasa. Orang-orang penting berdatangan, tapi Celestine tidak berbicara banyak. Ia hanya berdiri tegak di bawah payung hitam, matanya kosong menatap lubang yang kini telah tertutup tanah. Bram mendekat perlahan. Suaranya lirih. “Ini bukan akhir. Ini permulaan, Celestine.” Celestine tak menjawab. Setelah semua tamu pergi, hanya mereka berdua yang tersisa. Celestine meletakkan bunga mawar putih di atas gundukan tanah, lalu berbisik, “Akan kubakar semua yang kau wariskan. Termasuk dosa-do

