Bab 3 Tatapan Anjing, Taring Serigala

1150 Words
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai sutra, menyentuh kulit Celestine yang masih setengah tertutup selimut. Di sisi lain ranjang, Aidan duduk menyender pada sandaran tempat tidur, rambutnya berantakan, d**a telanjangnya naik-turun perlahan. Ia sedang menatapnya. Bukan dengan pandangan nakal, melainkan dengan sangat lembut. Seperti bocah lelaki yang baru saja diberi mimpi indah, dan takut bangun akan membuatnya kehilangan segalanya. Celestine menggeliat pelan, lalu membuka matanya. “Kau menatapku seperti anak anjing kelaparan.” Aidan tertawa pelan. “Mungkin aku memang lapar.” “Tapi bukan makanan yang kau cari, kan?” Aidan tak menjawab. Ia hanya menunduk, lalu meraih tangan Celestine dan menciumnya perlahan, nyaris menyembah. “Kalau aku bisa memilih…” bisiknya, “aku ingin ini berlangsung lebih lama. Namun aku tahu, sebentar lagi kau akan pergi. Lagi seperti malam itu.” Celestine menarik tangannya, berdiri, mulai mengenakan bajunya perlahan. Ada jeda di sana. Jeda yang membuat Aidan menatap lebih dalam. “Kau takut padaku,” katanya pelan. “Aku takut pada diriku sendiri saat bersamamu,” jawab Celestine dingin. “Kau membuatku lupa kalau aku sudah menikah. Lupa kalau aku CEO sebuah perusahaan yang menampung ribuan nyawa. Yang lebih parah… lupa bahwa aku pernah bersumpah tak akan jatuh cinta lagi.” Aidan turun dari tempat tidur, mendekat pelan. Ia tidak mencoba menyentuh, tapi matanya—matanya berubah. Dari bening dan memohon menjadi gelap dan dalam. Bukan lagi anak anjing. Itu tatapan serigala pada mangsa. “Kau tidak jatuh cinta padaku,” gumam Aidan. “Kau hanya tersesat di dalam dirimu sendiri. Dan aku hanya... kebetulan ada di sana.” Celestine membeku. “Kau salah,” bisiknya. “Tapi kau tidak bisa berhenti kembali padaku.” Ia mendekat. Tangannya kini menyentuh pinggang wanita itu, dan napas mereka bertemu lagi. “Karena setiap kali kau ingin pergi… aku tahu caranya menarikmu kembali.” Celestine menutup mata. Ingin menolak, tapi tubuhnya bicara lebih dulu. Ketika ia membuka mata lagi, Aidan sudah tersenyum—lembut, menggoda, menyesatkan. “Aku tak bisa lari darimu, Aidan,” katanya lirih, lalu melangkah mendekat. Aidan menggenggam tangan Celestine erat, menariknya ke pelukan yang hangat dan mengamankan. “Jangan lari, Cel. Aku di sini dan akan membuatmu bahagia,” ucapnya sambil menundukkan kepala, mencium pelan ujung telinga wanita itu. "Kita masih punya cukup waktu." Sentuhan tangannya membelai leher dan bahu Celestine, membuatnya gemetar dan menekan perasaan yang selama ini tertahan. Mereka perlahan-lahan tenggelam dalam kehangatan yang membakar, tubuh mereka saling melebur tanpa kata, hanya bisikan dan desahan yang mengisi ruangan. Saat Aidan mulai melepas kancing baju Celestine, tatapan mata mereka terkunci. “Kamu lebih dari sekadar CEO dingin,” kata Aidan dengan suara rendah. “Aku ingin kau tahu siapa aku sebenarnya.” Celestine menghela napas, sedikit tersenyum. “Dan aku juga ingin kau tahu siapa aku, di balik topeng ini.” Sekali lagi, di pagi yang cerah, mereka kembali membakar api di antara mereka yang tidak hanya membakar kulit, tapi juga mengobarkan emosi yang selama ini terpendam. Setelah semuanya, mereka berbaring di atas sofa, tubuh saling berpelukan, dan Celestine berkata dengan suara lembut tapi penuh arti, “Mungkin aku memang telah jatuh ke dalam jebakanmu, Aidan. Jebakan ini terasa seperti surga.” Aidan menatapnya dengan senyum penuh kemenangan dan kerinduan. “Aku akan menjaga surga ini, apapun yang terjadi.” Celestine tersenyum puas, lalu bangkit dari sana, menjauh dan mengambil pakaiannya yang berserakan di lantai. “Jadi… kau akan pergi lagi?” tanya Aidan pelan. Celestine terdiam. Ia tahu ia harus pergi, tapi hatinya—dan tubuhnya—masih tertinggal di ruangan itu. Di dalam genggaman pria yang tak pernah ia izinkan masuk, tapi tanpa diduga sudah terlalu dalam memasuki hatinya yang terkunci selama ini. Ini bahkan baru mengenalnya, tapi kedekatan mereka seperti sepasang kekasih yang sudah lama terpisah lalu kembali bertemu dalam alunan takdir dan direstui semesta. Celestine tidak pernah jatuh cinta. Bahkan meski dia sudah menikah dan memiliki cinta satu malam dengan beberapa pria lain, sebelum Aidan, tetapi itu tidak pernah membuatnya memberikan hatinya pada siapapun. Tidak pada suami atau pria satu malam itu. Tidak pernah! Celestine tidak ingin membuat sebuah kelemahan. Ayahnya mengajarkan bahwa cinta adalah sebuah kelemahan. Akan tetapi, bersama dengan Aidan, dia merasakan cinta untuk pertama kalinya. Dia merasa hidup dan bisa bernapas dengan kehadiran pria itu di sisinya. Celestine bahagia. Dia tidak bisa menyangkal gelombang merah muda yang menderanya saat ini. Dia tidak ingin menyangkal perasaan baru yang kini dirasakannya. Baginya, semua adalah sebuah pengalaman baru, berharga dan tidak ingin dilewatkannya. Itulah kenapa, meski tahu Aidan akan menjadi kelemahannya, dia masih berusaha merangkulnya tanpa berusaha mendorongnya pergi. "Tidak bisakah kamu tetap tinggal?" tanya Aidan dengan raut wajah memelas. "Kamu tidak ingin aku pergi bekerja? Seperti katamu, aku adalah CEO dingin. Aku perlu menghasilkan uang, untuk hidupku dan untuk membiarkanmu di sisiku." Aidan terkekeh, "Jadi, aku hanyalah pria yang harus kamu bayar?" "Tidak, jangan salah sangka. Aku berpikir untuk mengurungmu, menjadikanmu peliharaan yang berharga. Jadi, kamu bersedia pindah ke apartemen rahasia yang akan aku siapkan untukmu? Kamu harus menjadi milikku dan melupakan semua wanita kaya yang pernah kamu tiduri." Aidan menaikkan satu alisnya, "Kamu tahu?" "Tidak ada rahasia atau pengamatan dari seorang Celestine, Aidan." "Kalau begitu, maukah kamu bersedia menjadikan aku satu-satunya? Aku benci berbagi majikan." Celestine tersenyum lebar, "Kamu tahu itu?" "Fakta bahwa kamu sering memanggil pria muda dan tampan untuk dimakan di hotel?" Aidan terdengar sinis, cemburu atau marah. Celestine mendekati anak anjingnya yang terlihat marah dan tidak senang, "Sekarang, hanya kamu yang aku mau dan aku punya. Juga, hanya kamu yang aku kurung. Mereka selalu aku buang setelah satu kali pakai. Kamu, sudah aku gunakan sepuluh kali semalam, juga, membuatku menyukaimu. Kamu kesukaanku, Sayang." Aidan menatap lekat pada Celestine, “Kalau begitu, bagaimana jika aku sekali lagi membuatmu tak ingin pergi?” bisiknya, nyaris seperti tantangan yang dibalut kelembutan. “Jadi kau setuju menjadi anak anjingku?” Aidan hanya mengangguk kecil, tapi sorot matanya menyiratkan lebih dari sekadar kepatuhan. Ada taring tersembunyi di balik kesetiaan itu. “Hanya jika kau bersedia menjadikanku satu-satunya makhluk liar yang kau pelihara,” ucapnya, sambil mendekat, menyusupkan kehangatan ke dalam ruang-ruang di antara napas Celestine. Tangannya merayap pelan, tak tergesa tapi pasti, menyusuri sisi pinggang Celestine seperti sedang membaca peta rahasia yang hanya ia yang tahu jalurnya. Sentuhan itu bukan lagi godaan, tapi penegasan. Bahwa mereka adalah dua jiwa yang telah terlalu jauh terikat untuk bisa saling membebaskan. Celestine menegang sejenak, sebelum tubuhnya meluruh, menyerah pada gelombang rasa yang menghantam dalam diam. Suara napasnya berubah menjadi senandung lirih yang tak terucap, hanya bisa dipahami oleh pria di depannya. Dalam kamar VIP yang membungkam seluruh dunia luar, hanya ada bisikan dan hela napas yang saling berkejaran. Di sanalah Celestine sadar—bahwa ia sudah terlalu dalam. Bahwa mungkin, bukan ia yang tengah memainkan permainan ini. Melainkan pria yang kini memeluknya seolah tak akan pernah melepas, pria dengan tatapan anak anjing yang menyimpan jiwa seekor serigala, yang perlahan, mencuri segalanya darinya satu per satu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD