Bab 2 Lebur dalam Hasrat

1266 Words
Celestine tak bisa berhenti memikirkan pria itu. Aidan. Meski dia menolak tergoda, tetap saja, sesuatu dalam dirinya yang sekian lama mati, telah bangkit dan tidak mudah diabaikan. Pemilik senyuman manis dengan bibir ranum merekah itu membuatnya tidak bisa fokus pada hal lain. Bukan sekadar wajah Aidan saja yang mengganggu pikiran cara bicaranya. Cara dia menatap. Seolah pria itu tahu sesuatu yang tak seharusnya diketahui atau lebih parah lagi—seolah dia bisa melihat isi hati yang selama ini ia sembunyikan dari dunia. Celestine membencinya dan itu membuatnya semakin tertarik. Karena itulah, saat sebuah pesan undangan, dari nomer yang sama, memberinya sebuah alamat, dia dengan cepat menyiapkan dirinya lalu pergi ke tempat di mana pria dengan wajah dan tubuh menawan itu sedang menunggunya. Ruangan hotel itu sunyi. Hanya cahaya lampu gantung yang temaram dan suara napas mereka yang menjadi saksi. Celestine berdiri di depan jendela besar, menatap kelap-kelip kota dari lantai 36. Gaun merah darah yang ia kenakan terlalu pas di tubuhnya—dan terlalu berbahaya untuk pertemuan biasa. Karena tentu saja, itu pertemuan yang istimewa baginya. Di belakangnya, Aidan mendekat. Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan setan. “Kenapa kau datang?” Tangannya belum menyentuh, tapi suaranya sudah seperti sentuhan itu sendiri. Celestine menjawab tanpa menoleh. “Karena aku ingin tahu... apa yang terjadi kalau aku berhenti menahan diri.” Aidan tertawa kecil. “Dan kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja setelah itu?” Ia kini berdiri tepat di belakangnya. Napasnya hangat di tengkuk Celestine. Lambat, tangannya menyentuh pinggang wanita itu. Tak menuntut. Tapi mendalam. Celestine menutup mata, menikmati sentuhan yang seharusnya ia tolak. “Aidan…” “Hm?” “Ini gila…” “Tapi kau suka,” bisik Aidan. Tangan mereka saling menemukan. Tubuh mereka mendekat. Saat bibir mereka bertemu, dunia terasa hancur dalam diam. Ciuman itu tidak hanya panas, tapi penuh pelampiasan, penuh luka, dan hasrat yang tak terucap. Aidan menciumnya seperti pria yang kehausan akan keadilan. Celestine membalas seperti wanita yang terlalu lama kehilangan kendali atas hidupnya. Mereka tenggelam dalam ciuman panas dan b*******h seolah mereka adalah dua sejoli yang dimabukkan cinta. Meski hanya beberapa kali bertemu. Di balik tirai jendela yang setengah tertutup, cahaya kota berpendar samar menerangi bibir mereka yang saling berpangutan. Napas Celestine memburu, jantungnya berdegup tak karuan saat tangan Aidan perlahan menjelajah di bagian punggungnya yang terbuka. Aidan menatap mata Celestine dalam-dalam, seolah ingin menyampaikan seluruh perasaannya tanpa kata. “Tuhan, kau terlalu indah untukku,” bisiknya dengan suara rendah yang menggoda. Celestine menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gelombang emosi yang semakin membuncah. Namun, saat tangan Aidan menyentuh bahunya dan perlahan menuruni lengannya, semua pertahanan itu runtuh. Sentuhan mereka bukan sekadar fisik; itu adalah bahasa hati yang paling jujur, yang selama ini terpendam dalam diam. Celestine membalas dengan lembut menggenggam tangan Aidan, merasakan kehangatan yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Ketika bibir mereka bertemu lagi, dunia di sekitar seakan hilang. Hanya ada mereka, dalam ruang kecil yang penuh dengan gairah dan janji. Malam itu, mereka berbicara tanpa suara, mengukir kenangan yang tak akan pernah terlupakan. Aidan menatap Celestine dalam pelukan, suaranya bergetar penuh hasrat, "Setiap detik bersamamu, aku seperti terjebak dalam mimpi di mana aku tidak ingin terbangun." Celestine membalas dengan napas tersendat, "Aidan, sentuhanmu membuatku lupa segalanya, bahkan rasa sakit yang selama ini kupendam." Aidan membelai wajahnya perlahan, "Aku ingin kau tahu, aku di sini bukan hanya untuk malam ini. Aku ingin menjadi alasan kau tersenyum, dan juga menangis. Jika itu membuatmu merasa hidup, aku akan melakukannya." "Aku sudah memiliki suami." "Aku tidak peduli, Sayang." Celestine menunduk, bibirnya menyentuh leher Aidan, "Jangan biarkan aku pergi. Aku tak kuat jika harus menghadapi dunia ini tanpa kau di sisiku." Aidan mengusap rambutnya dengan lembut, "Aku tak akan pernah membiarkanmu sendiri, Celestine. Kita hadapi semuanya bersama, apapun konsekuensinya." Aidan mendekatkan wajahnya ke leher Celestine, membisikkan dengan hangat, “Aku ingin jadi alasan kau percaya lagi pada cinta. Bukan sekadar permainan atau pelarian, tapi sesuatu yang nyata, sesuatu yang hanya milik kita.” Celestine menggigit bibir bawahnya, menatap dalam mata Aidan, “Kadang aku takut… takut kau hanya akan pergi seperti yang lain.” Aidan meraih tangan Celestine, menggenggamnya erat, “Aku tak akan pernah pergi. Aku di sini untuk bertahan, untuk melindungimu. Bahkan jika dunia berusaha menjatuhkan kita, aku akan tetap di sisimu.” Perlahan, ia menyentuh wajah Celestine dengan penuh kelembutan, bibir mereka bertemu lagi dalam ciuman yang lebih dalam, lebih penuh hasrat. Suara napas mereka bergantian, hangat dan berat, saling mengisi kekosongan yang selama ini mereka rasakan. “Cel, kau adalah yang terbaik yang pernah terjadi padaku,” kata Aidan dengan suara parau. Celestine tersenyum tipis, “Dan kau, Aidan, adalah api yang membakar dinginnya hatiku.” Aidan menarik Celestine lebih dekat, tubuh mereka nyaris menyatu. Tangannya turun pelan menyusuri punggungnya, menimbulkan sensasi hangat yang membuat Celestine menggigil. “Aku ingin kau merasakan setiap detik ini,” bisik Aidan di telinganya, suara penuh janji dan gairah. Celestine menutup mata, membiarkan dirinya hanyut dalam sentuhan yang membuatnya lupa dunia luar. “Jangan berhenti, Aidan… aku ingin kau di sini, sekarang.” Bibir mereka bertemu lagi dalam ciuman yang lebih dalam, lebih menuntut. Tangan Celestine menjelajah ke tubuh bidang Aidan, merasakan detak jantungnya yang cepat, seirama dengan napas mereka yang mulai berat. “Setiap kali kau dekat, aku merasa hidup kembali,” ucap Celestine pelan. Aidan membalas, “Dan aku akan selalu ada untuk membuatmu merasa begitu, setiap saat.” Mereka berdua terhanyut dalam gelombang emosi dan gairah yang membara, menulis bab baru dalam kisah mereka yang tak akan terlupakan. Aidan menurunkan bibirnya perlahan ke leher Celestine, meninggalkan jejak hangat yang membakar kulitnya. Napas Celestine semakin berat, ia menekan tubuhnya lebih erat ke Aidan. “Tiap sentuhanmu, seperti gelombang api yang mengalir di seluruh tubuhku,” bisik Celestine, suaranya penuh dengan getar. Aidan mengangkat dagu Celestine, menatap matanya dalam-dalam. “Aku ingin kau rasakan betapa aku menginginkanmu, bukan hanya malam ini, tapi selalu.” Tangan Aidan merayap ke pinggang Celestine, mengangkatnya perlahan hingga ia duduk di pangkuannya. Tubuh mereka beradu, panas dan penuh gairah. Celestine merasakan detak jantung Aidan yang kuat di dadanya, seolah menjadi musik latar dari keinginan yang tumbuh di antara mereka. “Aku tak akan biarkan kau merasa sendiri lagi,” ujar Aidan dengan suara serak. Celestine menutup matanya, membiarkan semua rasa itu membanjiri dirinya — kehangatan, gairah, dan janji yang begitu manis. Mereka berdua larut dalam sentuhan dan ciuman yang tak terburu-buru, menikmati setiap detik dengan penuh kesadaran dan rasa. Aidan menatap Celestine dengan senyum tipis penuh arti, lalu menggoda, “Kau tahu, aku bisa jadi alasan kenapa kau lupa makan malam. Tubuh ini siap jadi hiburan pribadi, kapan pun kau mau.” Celestine tersenyum malu tapi matanya penuh tantangan, “Hiburan pribadi? Apa cuma itu yang bisa kau tawarkan?” Aidan meraih gelas anggur di meja, lalu menyeruputnya sambil menatapnya penuh janji, “Oh, bukan cuma hiburan. Aku juga ahli membuatmu lupa segala masalah. Percayalah, aku sudah latihan khusus untuk itu.” Celestine tertawa kecil, “Kalau begitu, hiburan macam apa kau ini?” Aidan menggoda dengan suara rendah, “Hiburan yang tahu cara membuat wanita sepertimu ketagihan. Siap-siap, Cel, aku akan buat malam ini jadi kenangan yang tak terlupakan.” Celestine menyentuh pinggang Aidan, “Kalau begitu, tunjukkan kemampuanmu. Aku siap diuji.” Aidan membalas sentuhan itu dengan jari-jari yang lembut, “Ini baru permulaan, sayang. Tunggu saja, aku akan buat kau ingin lebih setiap saat.” Mereka tenggelam dalam tempat tidur hotel mahal, menanggalkan tidak hanya pakaian… tapi juga batas-batas yang selama ini mereka pasang rapat-rapat. Mereka melebur dalam hasrat dan gairah yang tak tertahankan seolah mereka sudah jatuh cinta dalam waktu yang lama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD