Langkah sepatu hak tinggi memantul di lorong marmer lantai delapan belas. Bram berjalan di belakang Celestine, cepat dan tegap. Dua bodyguard yang biasa berjaga di unit ujung lorong kini tergeletak tak sadarkan diri—masih bernapas, tapi jelas dikalahkan tanpa suara oleh Bram hanya beberapa menit lalu. Celestine tidak menoleh. Wajahnya datar, tapi tangan kirinya mengepal di balik mantel krem yang elegan, menyembunyikan emosi yang mulai mendidih. “Apa kamu yakin ini unitnya?” bisiknya tanpa melambat. “Sudah kukroscek ke daftar notaris dan dua staf developer yang dulu mengatur pembelian diam-diam. Nama pembeli: Andrew Wijaya. Alias—” “—Arya,” Celestine menyelesaikan kalimat itu dengan suara dingin. Mereka berhenti di depan pintu hitam yang tampak biasa. Celestine tahu: di balik pintu ini

