Singapura — Suite Hotel Langit mendung menggantung di atas kota. Celestine berdiri di depan jendela suite hotel, memandangi kilau lampu Singapura yang temaram di balik hujan gerimis. Rambutnya tergerai, tubuhnya tegak. Di belakangnya, Bram sibuk menatap layar laptop—daftar aset dan saham berserakan. “Aku nggak punya waktu untuk drama,” ucap Celestine datar. “Perusahaan mungkin bangkrut, tapi aku belum selesai. Mereka pikir aku sudah kalah. Mereka salah besar.” Bram menoleh. “Kita harus gerak cepat. Rumahmu bisa disita kapan saja. Saham-saham juga mulai dilepas murah. Wirawan sudah pasang langkah.” Celestine berpaling, nadanya dingin. “Kita mulai dari yang bisa kugenggam. Rumah. Saham kecil. Lalu kuambil semuanya. Bahkan kalau harus kotor.” Ponselnya bergetar. Pesan dari ibunya masuk:

