Brenda berlari di lorong menuju kelas pengendalinya, sialnya hari ini jam wekernya mati sehingga dirinya harus telat.
Brenda memasuki kelasnya dengan napas terengah-engah, dan wajahnya langsung berubah tegang saat melihat Bu Sisi sudah berdiri di depan kelas.
Tok tok tok.
Semua orang langsung melihat kearahnya.
"Brenda, kenapa kamu telat?!" tanya Bu Sisi tajam tak lupa dengan nada sinis tentunya.
Brenda tersenyum kaku, "m--maaf Bu, tadi saya bangunnya kesiangan." Jelasnya gugup dengan suara bergetar.
Bu Sisi berdecak malas, "kamu ini ... sudah lemah harusnya berusaha keras untuk menyeimbangi teman-teman mu, tapi apa ini, kamu malah malas-malasan!" cemoohnya habis-habisan, ia sudah tau kalau Bi Sisi tidak menyukainya sejak awal tapi apa sampai harus menghinanya seperti ini?
Brenda hanya bisa menunduk malu, semua teman-temannya juga memandangnya remeh kecuali Resa tentunya.
"Duduk!" titah Bu Sisi akhirnya.
Brenda berjalan dengan pelan, lalu duduk dibangkunya, namun seseorang di depan nya langsung mengatakan sesuatu yang sangat jelas menyindirnya.
"Udah lemah, gak punya kekuatan lagi. Ck! Dasar rendahan." Ejeknya dan Brenda sangat tahu jika itu adalah Dona.
Bu Sisi kembali memulai kelasnya, mengajarkan pelajaran yang berhubungan dengan kekuatan angin tentunya.
Hingga tak terasa jam istirahat pun tiba.
"Bren, kamu gak papa tadi?" tanya Resa cemas.
Brenda tersenyum kecut. "Udah biasa." Sahutnya sudah kebal.
Resa menepuk pundak Brenda pelan. "Yang sabar ya, pasti suatu saat kamu bisa balas mereka."
Brenda mengangguk kecil dengan senyuman samar. "Thanks, ya." Ucapnya tulus.
"Yaudah yuk ke kantin!" ajak Resa seperti biasanya.
"Yuk!" seru Brenda langsung semangat.
Di kantin.
"Eh..eh, udah pada tau belum?!" Bia tiba-tiba berseru heboh.
Megi menatapnya datar, "soal pertarungan random tahunan itu, ya?" tebaknya santai.
Bia mengangguk antusias." Iya, duuuuh aku udah gak sabar menunggu saat itu!" katanya dengan wajah sangat senang.
"Apa sih, aku gak ngerti?" bingung Brenda karena memang ia baru masuk Akademegicial.
Resa menatap Brenda dengan anggukan. "Ituloh pertarungan tahunan, yang digunakan buat nobatin yang terkuat." Jelasnya singkat.
Brenda mendadak lemas. "Aku gak ikut boleh, kan?" tanyanya belum apa-apa sudah ingin menyerah saja.
Resa menggerakkan jari tunjuk nya ke kanan dan ke kiri. "No no no, semua siswa wajib ikut." Kata Resa tegas.
Brenda menjatuhkan kepalanya makin lemas, menghembuskan napas pasrah. "Pasti aku bakal kalah juga." Brenda sudah pesimis duluan, masalahnya di sekolah ini ia adalah yang terlemah.
Bia menatap brenda tidak suka. "Ish! Apaan sih kamu Bren, lagian kamu kan sudah lumayan bisa menggunakan sihir, jangan pesimis gitu dong!" Kata Bia menggebu.
"Iya Bren, bener kata Bia." Sahut Megi menatap lurus Brenda.
Brenda hanya mengangguk kecil, "thanks ya, aku ke kelas duluan." Pamitnya lalu beranjak pergi, meskipun sudah didukung teman-temannya tapi tetap tak bisa memungkiri kalau kekuatannya sangat lemah.
Sangat mustahil dirinya bisa menang.
Brenda tidak jadi pergi ke kelasnya dan malah melipir ke halaman belakang sekolah yang selalu sepi saat istirahat, sepertinya tempat ini akan menjadi tempat favorite nya.
Brenda mengernyit dalam saat melihat seseorang yang membelakanginya sedang duduk di tempat favorite nya, sepertinya orang itu sedang membaca buku.
Dengan langkah pelan Brenda berjalan mendekatinya, dan tanpa sadar menyebut namanya. "Stev." Ucapnya begitu melihat wajah lelaki itu.
Stev langsung mendongak, menatap Brenda dengan tenang. "Eh ... Brenda, ngapain disini?" tanyanya kelihatan heran.
Brenda duduk disebelah Stev, melipat kedua kakinya. "lagi merenung aja." Jawabnya sekenanya.
Stev langsung mengerjap bingung namun tidak berniat meminta penjelasan lebih lanjut. Namanya juga kutub.
"Kamu sendiri?" tanya Brenda balik. Dia menyorot tanya Stev.
Stev dengan tenang mengangkat buku yang ada di tangan nya. "Baca." Jawabnya yang langsung diangguki Brenda. Stev selalu ngomong singkat, jadi Brenda tidak heran lagi.
Selanjutnya hanya keheningan yang melanda, keduanya sama-sama diam.
Brenda yang paling tidak suka suasana awkward pun memulai perbincangan lagi.
"Kamu udah tau soal petarungan tahunan itu, belum?" tanyanya memecah suasana, untung ia ada topik untuk dibahas.
Stev menoleh ke arah Brenda, "tahu."
"Kira-kira siapa ya lawan kita?" Brenda nampak menatap langit, menerawang.
Stev juga melakukan hal yang sama. "Hm katanya random kan, berarti bisa siapa pun." Jawab Stev sembari menaruh bukunya di pangkuan. Buku dengan judul 'Come on' itu cukup asing bagi gadis itu.
Brenda menatap Stev dari samping, tampan. Ah rasanya selalu itu yang ada dipikirannya saat melihat Stev.
"Berarti bisa kelas 2 atau 3, dong?" tanya nya untuk menyembunyikan pikiranya sebelum Stev memergokinya lagi. Kan malu-maluin.
Stev membalas tatapan Brenda. Matanya begitu indah dengan iris yang berwarna cokelat muda dan hijau keemasan, "iya." Balasnya.
"Itu gak adil dong, masa kelas 1 lawan Kakak kelas, kan gak imbang." Gerutu Brenda memainkan daun kering disekitarnya.
Stev tersenyum, tipis sekali .... sampai tidak mungkin ada yang melihatnya. "Ya itu memang tujuan nya, supaya bisa tahu siapa yang paling kuat." Jelasnya lagi.
Brenda mencuatkan bibirnya, "gimana kalo aku dapet lawan Bulan, kan itu namanya gali lubang trus kita sendiri yang loncat. Bunuh diri." Ucapnya mulai ngelantur.
Stev mengangkat alisnya dengan ekspresi kurang senang. "Memangnya kenapa kalau Bulan?" tanyanya balik dengan tanpa beban.
Brenda menatap Stev cepat. "Kan kamu juga tau kalau katanya Bulan itu setingkat sage, lah aku hanya setingkat magician, emangnya itu adil kelas tertinggi lawan terendah!" kesalnya karena bisa-bisanya Stev masih bertanya alasan yang begitu jelas itu.
"Menurutku adil." Jawab Stev tanpa menatap Brenda, "jangan minder cuma karena menilai diri sendiri kurang, karna yang terlihat pun belum tentu benar." Stev nampak menyunggingkan senyum yang ..... misterius.
"HAH?!" bingung Brenda tidak mengerti sama sekali.
Stev berdiri dari duduknya, menepuk kotoran di celananya sesaat. "Aku duluan." Pamitnya lalu pergi meninggalkan Brenda begitu saja.
Sungguh, kenapa lelaki itu makin aneh saja sih?!
:::::::::::::::
Brenda berjalan menuju kelasnya dengan masih memikirkan perkataan Stev tadi yang tidak dia pahami, karena menurutnya Stev sangat misterius dan penuh rahasia.
Brenda akhirnya menggedikkan bahu karena lelah berpikir, "sudahlah lupakan, mungkin dia hanya bergurau." Gumamnya lalu memasuki ruang kelasnya.
"Heh kamu rendahan, mending cepet keluar dari sekolah ini aja deh, gak level soalnya!" dan Brenda sangat tau siapa pelakunya, pasti Dona. Baru juga masuk kelas, nih cewek dan antek-anteknya kenapa sih selalu merecoki hidupnya.
Brenda menatapnya malas, "yang sekolah kan aku, yang rempong kok situ." Sindirnya tidak mau kalah, lama-lama kesabaran Brenda habis juga.
Dona nampak menggeram kesal, "ternyata selain rendahan juga belagu ya, tau gak bentar lagi bakal ada pertarungan tahunan, kamu mau mati konyol cuma karena gak punya kekuatan yang setara dengan kita? Jadi aku dengan segala kebaikan hatiku ngasih kamu saran buat cepet keluar dari sekolahan ini!" remehnya tertawa sumbang.
Brenda menggendik tidak peduli, "liat aja ntar." Balasnya sambil menguap lebar lalu berjalan melewati Dona begitu saja. Tentu saja membuat musuh-musuhnya itu makin menyerapah kasar.
"Kamu tadi diapain Bren sama tuh nenek lampir?" tanya Resa dengan nada ejekan untuk Dona.
Brenda menatap Resa tenang. "Biasalah, kayak gak hapal aja sama kelakuan mereka." Jawabnya dengan senyum mengembang.
Namun siapa yang tau kalau dibalik senyuman nya Brenda menyimpan kesedihan karena harus menerima cemoohan dari semua orang. Ia cuma ingin sekolah normal, apakah itu sulit?!
Dan tanpa diketahui siapapun, ada seseorang yang berdiri menatapnya dari kejauhan. "Pasti mereka yang mengejekmu bakal menyesal." Gumamnya dengan senyum seringai, lalu beranjak.
***
TBC.