Mobil Mewah dan Helikopter Membuat Alina Terkejut. "Alina: Kamu Siapa?"

1004 Words
Rose kemudian bertanya pada Adi, "Apa pekerjaanmu?" Sambil memperhatikan pakaian Adi yang biasa saja. Adi menjawab dengan tenang, "Saya sopir mobil box." Rose kaget, "Hanya seorang sopir?" Adi mengangguk. Rose melihat ke arah Alina dan tersenyum. Rose berkata dengan nada sinis, "Kamu mau menikah dengan seorang sopir, Alina? Yang benar saja? Kamu begitu bodoh." Alina pun bertanya, "Apanya yang salah jika suamiku seorang sopir?" Rose menjawab, "Katanya mau ambil alih kembali rumah ini, jika kamu menikah dengan sopir, kapan kamu bisa ambil lagi rumah ini? Harusnya kamu terima saja perjodohan dengan pengusaha. Maka hidupmu akan bahagia." Alina menggeleng, "Tidak mau." Dia melanjutkan, "Aku hanya ingin memberitahu saja pada ibu jika aku akan menikah, bukan meminta izin. Karena aku tahu ibu hanya akan mengizinkan jika aku menikah dengan orang kaya." Alina mengungkapkan keputusannya dengan tegas, tanpa memperdulikan pandangan Rose yang meragukan pilihannya. Adi tersenyum melihat Alina bisa setegas itu pada ibunya yang merendahkan profesi sopir. Setelah Alina bicara, Adi berkata dengan sopan, "Ibu saya harap Anda bisa datang di pernikahan kami. Kami akan menikah minggu depan." Rose menjawab dengan sinis, "Lihat nanti saja. Aku tidak bisa menjanjikan karena kamu hanya sopir." Adi hanya mengangguk, tetap mempertahankan senyumnya, sementara Alina merasa geram di sisi lain. Dia merasa terhina oleh sikap merendahkan ibunya terhadap Adi. Di dalam mobil, Adi kembali mengingatkan, "Besok kita ke rumah pamanmu. Aku akan melamarmu esok." Alina menjawab, "Rumah pamanku cukup jauh. Mungkin jika perjalanan darat, kita perlu menempuh perjalanan dua belas jam." Adi memikirkan solusi, "Kita naik pesawat saja. Aku punya tabungan untuk beli tiketnya." Namun Alina menjawab, "Tak ada pesawat ke sana, kecuali helikopter." Adi mengangguk mengerti, "Oke, baiklah." Mereka berdua terus melanjutkan perjalanan menuju kos Alina, dengan rencana yang akan mereka lakukan besok. Sementara itu Rose masuk ke dalam kamarnya dengan senyuman di wajahnya. Damian yang duduk di tepi ranjang menyimpan ponselnya, melihat Rose dengan heran. "Kenapa kamu tersenyum, sayang?" tanyanya. Rose berjalan mendekati Damian dan duduk disampingnya, menjawab sambil tersenyum, "Tadi itu Alina datang kemari. Dia memberitahuku bahwa ia akan menikah." Damian terkejut, "Menikah?" Rose mengangguk dan melanjutkan, "Dan Alina menikah dengan sopir." Damian terkesiap mendengarnya, tidak percaya dengan kabar yang ia dengar. Damian mengernyitkan keningnya, bingung dengan apa yang Rose ceritakan. "Bukannya kamu akan menjodohkannya dengan pengusaha? Kenapa sekarang kamu mengizinkannya menikah dengan sopir? Aneh sekali," ujarnya dengan nada heran. Rose menjawab dengan sinis, "Tentu saja aku tidak setuju dengan pilihannya. Tapi apa boleh buat, Alina memang keras kepala. Dia mengatakan kesini bukan untuk meminta izin dariku tapi hanya memberitahu. Tidak masuk akal." Damian mengangguk, tetap bingung dengan keputusan Alina. Damian menghela nafas, lalu berkata. "Ya sudahlah, jangan lagi urus anakmu itu. Memang Alina berbeda dengan anakku, Triana. Bahkan Triana belum menikah sampai sekarang karena standar calon suaminya sangat tinggi." Rose mengangguk, merasa frustasi dengan keputusan Alina. "Alina memang keras kepala. Mungkin uangnya sudah habis jadi ia mau menikah dengan siapapun asal bukan menikah dengan lelaki pilihanku," jawab Rose dengan nada penyesalan. Damian hanya menggeleng, masih merasa tidak percaya dengan apa yang terjadi. Keesokan paginya, Alina sudah siap berangkat ke rumah pamannya yang ada di desa. Ia sedang menunggu jemputan Adi. Jam baru menunjukkan pukul tujuh pagi. Ransel berisi pakaian Alina pun sudah dipersiapkan karena ia berpikir mungkin ia harus menginap di rumah pamannya. Tak lama kemudian, Alina mendengar suara ketukan pintu. Saat Alina membuka pintu rumahnya, ternyata itu Adi. Adi pagi itu memakai kaos yang begitu bersih, kaos berwarna abu-abu dan celana jeans biru. Rambutnya juga begitu rapih. Tampan, itu satu kata yang cocok untuknya. Alina terpesona. Adi lalu berkata, "Sudah siap?" Alina terkesiap, "Sudah." Adi pun berkata, "Ayo!" Alina mengangguk. Ia mengambil ranselnya dan mengunci kosannya, kemudian mengikuti langkah kaki Adi ke depan gang. Mereka berdua siap untuk memulai perjalanan menuju rumah pamannya. Saat di ujung gang, di jalan raya, Alina tak melihat mobil box Adi. Lalu ia pun bertanya, "Mana mobilmu? Mobil boxmu?" Lalu Adi bertanya dengan heran, "Kamu berpikir kita akan pergi dengan mobil box?" Alina pun mengangguk. Adi pun berkata, "Yang benar saja kita kesana naik mobil box.” “Ayo, ikuti aku,” ajak Adi. Alina pun mengikuti langkah kaki Adi, hingga Adi berhenti di dekat mobil sedan hitam yang mewah. "Ayo masuk!" kata Adi. Alina melebarkan matanya dan bertanya, "Ini mobil siapa?" Adi pun berseru, "Jangan banyak bertanya, masuk saja." Alina pun mengangguk, kemudian masuk ke dalam mobil itu, masih merasa heran dengan apa yang sedang terjadi. Alina dan Adi duduk di bangku belakang, sementara yang menyetir adalah seorang sopir yang memakai seragam hitam. Alina memperhatikan interior mobil sedan mewah itu. Benar-benar menakjubkan, Alina baru kali ini menaiki mobil mewah. Alina tak bisa bicara apapun, ia terus memperhatikan interior mobilnya dengan detail. Adi pun merasa risih dengan keheningan Alina dan bertanya, "Apa kamu baru sekarang naik mobil seperti ini?" Alina mengangguk. Adi pun berkata dengan nada sinis, "Kasihan sekali." Alina langsung menatap tajam ke arah Adi, kesalahannya terlihat jelas dalam pandangan Alina. Sepanjang perjalanan Alina tak memperhatikan jalanan. Ia sudah mengatakan dimana pamannya tinggal dan ia berpikir jika ia akan melakukan perjalanan darat. Walau ia masih bertanya-tanya mobil sedan mewah itu milik siapa. Adi berkata dengan santai, "Mulai sekarang kamu mungkin akan sering naik mobil mewah, jadi belajar terbiasa ya!" Alina pun bertanya, "Maksudmu?" Belum sempat Adi menjawab, mobil berhenti, dan Adi berkata, "Kita sudah sampai." Alina mengerutkan keningnya dan ia melihat ke arah belakang. Ternyata, ia sekarang ada di sebuah lapangan besar. Alina keluar dari mobil, dan ia terkejut melihat sebuah helikopter di lapangan yang luas itu. Matanya membulat kaget, “helikopter?” Sopir memberikan ransel pada Alina, "Ini tasnya, Nona." Alina mengambil tasnya tanpa mengatakan apapun. Dia menggendong tas ranselnya lalu menatap Adi. Alina bertanya, "Helikopter siapa ini? Kenapa ada helikopter di sini?" Adi menjawab dengan santainya, "Kamu bilang perjalanan lewat darat perlu waktu dua belas jam, tak ada pesawat ke sana. Dan hanya bisa naik helikopter, ya aku sediakan helikopternya agar kita cepat sampai.” Adi melihat ke arah Alina dan berseru, “Ayo! Jangan buang-buang waktu." Namun Alina bergeming, ia menatap Adi lalu bertanya, "Sebenarnya kamu siapa?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD