Alina bergeming, ia menatap Adi lalu bertanya, "Sebenarnya kamu siapa?"
Adi pun menjawab, "Ya, aku calon suamimu."
Alina tak menerima jawaban itu, ia hendak bertanya lagi, tapi Adi langsung memegang tangan Alina dan mengajaknya untuk segera naik helikopter yang sudah ada di sana, "Ayo kita berangkat sekarang agar kita cepat sampai."
Alina pun mengikuti langkah kaki Adi, sadar bahwa ia sudah tanda tangan kontrak. Hatinya bergejolak, namun ia merasa tidak punya pilihan selain mengikuti apa yang sudah terjadi. Dalam hati, ia merasa terjebak dalam keputusannya yang tergesa-gesa.
Alina dan Adi sudah duduk di bangku belakang helikopter, di depan ada pilot yang mengendalikan helikopter dengan cermat.
Di sebelah pilot, ada seorang laki-laki bertubuh tegap dan berpakaian serba hitam yang sedari tadi berdiri di samping helikopter. Orang itu melihat ke arah belakang, melihat Alina dan Adi dengan tatapan tajam yang membuat Alina merasa tidak nyaman.
Alina merasa tegang karena kehadiran orang tersebut, tetapi mencoba untuk tetap tenang.
Alina memperhatikan laki-laki tersebut dengan rasa curiga yang semakin besar, merasa bahwa ada sesuatu yang tidak biasa dengan kehadirannya di dalam helikopter ini.
Dalam persiapan helikopter terbang, pilot memberikan instruksi kepada penumpang helikopter tentang apa yang harus mereka lakukan dan pakai selama perjalanan.
Pilot menjelaskan bahwa penumpang harus memakai sabuk pengaman yang disediakan dan menunjukkan kepada mereka cara menggunakannya dengan benar.
Dia juga menegaskan bahwa selama penerbangan, penumpang harus duduk dengan tenang dan tidak boleh bergerak terlalu banyak untuk menjaga keseimbangan helikopter.
Selain itu, pilot juga menjelaskan bahwa penumpang harus mematikan ponsel mereka dan tidak menggunakan perangkat elektronik lainnya selama penerbangan karena dapat mengganggu sistem navigasi helikopter.
Dia menegaskan bahwa kepatuhan terhadap instruksi ini sangat penting untuk keselamatan semua orang di dalam helikopter.
Adi memperhatikan dengan serius instruksi yang diberikan oleh pilot, sementara Alina merasa sedikit gugup karena ini adalah pengalaman pertamanya naik helikopter. Mereka berdua bersikap patuh dan siap mengikuti semua instruksi yang diberikan demi keselamatan selama perjalanan.
Setelah semua siap dan tak ada yang lain di sekitar helikopter, helikopter mulai terbang, meninggalkan lapangan luas itu.
Alina merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia benar-benar ketakutan. Ia mengepalkan tangannya erat-erat, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.
Sekilas, Alina melihat ke arah Adi yang terlihat begitu santai di sampingnya, membuatnya merasa iri akan ketenangan Adi.
Alina berkata dalam hati, ‘sebenarnya Adi ini siapa sih? Ga mungkin lah kerja sopir bisa naik mobil mewah dan helikopter begini. Apa dia menipuku?’
Beberapa saat kemudian, Alina mulai bisa mengendalikan detak jantungnya yang berdebar-debar, dan ia mulai melihat pemandangan dari ketinggian yang menakjubkan di bawahnya.
Meskipun masih merasa sedikit gugup, Alina mulai merasakan keindahan perjalanan ini dan merasa terpesona oleh pemandangan yang mengagumkan di sekitarnya.
Adi bertanya, "Apa ini pengalaman pertama naik helikopter?" Alina menjawab tanpa melihat ke arah Adi, "Ya! Jangankan helikopter, pesawat aja belum pernah."
Setelah itu, Alina melihat ke arah Adi yang sedang melihat ke luar jendela helikopter, "Kamu orang kaya ya?"
Adi pun melihat ke arah Alina hingga keduanya saling pandang, lalu Adi menjawab, "Kalau kamu berpikir seperti itu. Ya silahkan."
Alina merasa kesal dengan jawaban Adi, "Aku nanya serius loh! Kalau kamu bukan orang kaya, mana ada kita naik helikopter untuk sampai ke desa tempat pamanku tinggal."
Adi menatap mata Alina tajam, "Kamu banyak bicara sekali ya!" Alina pun menjawab, "Aku kan punya mulut. Memangnya apa aku salah bicara?" Adi mengangguk, "Aku akan keluarkan peraturan baru." Alina mengerutkan keningnya, "Maksudnya?"
Adi lalu menjawab, "Kamu jangan banyak bertanya! Kalau ada pertanyaan, simpan saja untukmu sendiri. Kamu harus patuh jika tak mau kenal denda." Alina menghembuskan nafasnya, merasa semakin tertekan dengan sikap Adi yang otoriter.
Adi lalu berkata, "Kamu jangan banyak bicara bukan hanya padaku. Tapi pada siapapun. Kamu itu calon istriku jadi kamu harus menurut padaku, mengerti?" Alina tampak keberatan, "Memangnya kenapa?"
Adi pun menjelaskan, "Kalau kamu salah bicara karena banyak bicara, aku juga yang akan malu. Anggapnya kamu bekerja padaku jadi kamu harus nurut!"
Alina pun mengangguk dan menjawab, "Baik."
Keduanya bicara sambil setengah teriak karena suara baling-baling helikopter cukup keras, namun Alina merasa semakin tertekan dengan peraturan baru yang diberlakukan oleh Adi.
Sementara itu di rumah Alina, Damian menghampiri Rose yang sedang mencuci piring di dapur. "Sayang," panggilnya. Rose melihat ke arah Damian, "Ya?"
Damian berdiri di samping Rose dan bertanya, "Kamu yakin akan membiarkan Alina menikah dengan seorang sopir? Yang benar saja?"
Rose terdiam sejenak, kemudian Damian melanjutkan, "Seharusnya kamu sebagai ibu bisa melarang dan membatalkan pernikahan Alina. Aku yakin jika kamu berhasil menggagalkan pernikahan itu, kamu bisa memaksanya menikah dengan pengusaha itu dan tentunya kamu akan mendapatkan semua hal yang kamu inginkan."
Rose menjawab dengan suara pelan, "Ah, benar juga." Dalam dirinya, terbersit pikiran untuk mempertimbangkan kembali langkah yang akan diambil terkait pernikahan Alina.
Damian lalu berkata, "Aku yakin kamu tak akan melewatkan kesempatan begitu saja."
Rose menjawab, "Tapi aku tidak tahu sekarang Alina tinggal dimana, Mas."
Damian menjawab, "Aku akan mencari tahu. Aku akan memberitahumu jika aku sudah menemukan alamatnya." Rose pun mengangguk dan merasa senang karena merasa didukung oleh Damian, "Oke, siap sayang.”
Damian lalu memberikan instruksi, "Kamu jangan main kasar dulu. Kalau bisa kita undang dia makan malam bersama dulu. Kamu jadilah ibu peri untuknya, jangan sampai Alina pergi dan menghilang lalu menikah dengan sopir itu." Rose mengangguk.
Setelah itu, Damian berkata, "Aku pergi kerja dulu, sayang." Rose mengangguk, "Iya. Selamat bekerja. Hati-hati." Damian mengangguk dan meninggalkan Rose.
Kini di dapur hanya ada Rose. Ia pun memikirkan apa yang dikatakan oleh Damian, mencoba mencari cara terbaik untuk mengatur segalanya tanpa membuat Alina merasa terancam atau ingin pergi.
“Aku harus merencanakannya dengan matang. Aku juga harus menahan emosiku,”pikirnya.
Di sisi lain helikopter yang ditumpangi Adi dan Alina tiba di sebuah desa jauh dari kota. Terbilang desa terpencil. Meskipun begitu, helikopter mendarat dengan sangat baik di helipad milik seorang pengusaha di sana.
Saat Alina keluar dari helikopter, ia terkejut karena disambut oleh beberapa orang di sana. Mereka tampak ramah dan sopan, tetapi Alina tetap merasa kaget karena ternyata ia sedang berada di halaman rumah mewah.
Pengusaha tersebut, yang telah mengetahui kedatangan mereka, datang menghampiri dengan senyum ramah. "Selamat datang, Tuan Adi dan Nona Alina," sambutnya hangat. "Saya senang bisa menyambut kedatangan Anda di sini."
Seorang lelaki kisaran lima puluh tahunan menyambut keduanya. Dan disampingnya ada 2 orang lelaki yang memiliki tubuh tegap dan terkesan kaku, seperti bodyguard.
Alina masih tercengang melihat kemewahan di sekitarnya, sementara Adi tampak tenang, seolah sudah terbiasa dengan situasi tersebut. Mereka pun diundang masuk ke dalam rumah untuk melanjutkan pertemuan mereka.
Alina bertanya-tanya dalam hati, 'tujuannya kan ruman Paman. Kenapa malah ke sini?'
Tiba-tiba Adi melakukan hal yang membuat Alina terkejut