Alina bertanya-tanya dalam hati, 'tujuannya kan rumah Paman. Kenapa malah ke sini?'
Tiba-tiba Adi melakukan hal yang membuat Alina terkejut.
Adi menatap ke arah Alina agar Alina fokus. Alina pun mengangguk dan berjalan, tak melamun lagi.
Setibanya di ruang tamu, Alina dan Adi dijamu dengan minuman dan beberapa jenis kue. Dan keduanya mencicipinya.
Setelah keduanya menikmati hidangan yang tersedia. Pengusaha itu bertanya sambil melihat ke arah Alina yang duduk di samping Adi, "Jadi gadis ini adalah calon istri Tuan?"
Adi pun mengangguk dan menjawab, "Ya, itu benar." Alina terdiam, masih mempertanyakan kebingungannya dalam hati.
Alina tahu itu adalah pengusaha karena Adi sempat membisikannya pada Alina.
Pengusaha itu bertanya, "Kenapa dia tampak biasa?"
Adi pun tersenyum dan menjawab dengan tenang, "Aku memang melarangnya memakai make up, aku tak suka wanitaku terlihat cantik."
Alina terkejut mendengar perkataan Adi. Dia menatap ke arah Adi. Refleks Adi menyentuh pipi Alina lembut.
Pengusaha itu pun tersenyum. Dan ia berkata, "Ah, baiklah. Memang cara mencintai setiap lelaki itu berbeda."
Alina merasa sedikit tidak nyaman dengan komentar tersebut, tapi dia tetap diam, mencoba menyesuaikan diri dengan situasi yang tidak biasa baginya.
Pengusaha itu pun lalu memperkenalkan dirinya, "Oh iya, saya lupa belum perkenalan. Nama saya, Wilan. Saya dikabari oleh kakek Anda jika Anda kemari. Saya sangat senang dapat kedatangan tamu seperti Anda. Sering-seringlah kemari." Adi mengangguk sopan, "Iya, baik. Semoga nanti kita bisa kemari lagi." Wilan mengangguk dengan ramah.
Wilan lalu berkata, "Oh iya, mobil untuk kalian sudah disiapkan. Semoga kalian bisa menikmati perjalanannya." Adi kembali mengangguk sebagai tanda terima kasih.
Alina kini sudah di dalam mobil bersama Adi yang duduk di sampingnya. Mobilnya tidak semewah seperti yang sebelumnya membawa Alina dari kosan hingga helikopter.
Lelaki yang bertubuh tegap yang ikut dalam helikopter juga turut serta, menjadi sopir.
Alina melihat ke sekeliling, mobil keluar dari rumah mewah itu. Dia lalu bertanya, "Kita sebenarnya mau kemana?" Adi menjawab tanpa melihat ke arah Alina, "Ke rumah pamanmu."
Mobil terus melaju menjauhi rumah mewah dengan pagar tinggi. Rumah itu hanya satu dan tak ada bangunan lagi.
Alina memperhatikan jalan dan ia bingung, 'perasaan jalannya bukan ini deh.' Dia pun mengutarakan kebimbangannya, "Sepertinya jalannya bukan ini."
Adi menjawab, "Kapan kamu terakhir ke sini?"
Alina menjawab, "Sepuluh tahun yang lalu."
Adi berkata, "Kalau begitu, diam saja. Kamu tidak usah sok tau." Alina pun membuang nafasnya kasar.
Mobil melewati perkebunan teh yang sangat luas. Alina membuka jendela mobil dan merasakan udara yang begitu sejuk.
Alina berkata, "Ah, rasanya aku ingin tinggal di sini saja. Sejuk, jauh dari keramaian, dan damai."
Mendengar perkataan itu membuat Adi kesal. Dia pun berkata, "Jangan sembarangan bicara. Kamu sudah punya perjanjian denganku. Tak akan kubiarkan kamu pergi setelah kontrak kerja kita selesai." Alina pun melihat ke arah Adi dan menjawab, "Iya.”
Sesampainya di rumah paman Alina, mobil berhenti. Alina dan Adi turun dari mobil.
Alina cukup terkejut karena rumah pamannya sekarang tak lagi berdinding bambu. Sekarang rumah pamannya sudah memiliki tembok, dan terlihat masih baru. Alina tersenyum.
Namun nyatanya kedatangan Alina tak mendapat sambutan baik dari sang bibi, yang tak lain istri dari pamannya.
Saat Alina dan Adi berdiri di depan rumah dan mobil tak lagi di sana karena mencari tempat parkir. Sang bibi, Sita keluar dari rumah dengan wajah tak ramah seakan tak suka akan kedatangan Alina.
Sita, yang biasanya ramah, terlihat agak dingin. Alina memperhatikan perubahan ekspresi bibinya dengan cemas.
Alina pun berpikir, ‘ah mungkin bibi tak tahu ini aku.’
Sita, yang saat itu hanya memakai daster bermotif batik, bertanya dengan wajah datar, "Kamu siapa?"
‘Tuh kan, bibi tak kenal aku,’ ucap Alina dalam hati.
Alina pun menjawab dengan sopan, "Aku Alina Bi.”
Sita pun bertanya memastikan,” Alina? Anak Dani?" Alina mengangguk, "Iya, bi. Apa kabar?" Sita menjawab dengan datar, "Kabar bibi baik. Ayo masuk."
Sita sama sekali tak menunjukkan wajah ramahnya, membuat Alina merasa canggung. Dulu Sita tak sedingin itu terhadapnya.
Alina dan Adi duduk di ruang tamu. Sita berkata, "Kalian tunggu di sini. Aku akan memanggilkan pamanmu." Alina hanya mengangguk. Kini Alina hanya duduk berdua dengan Adi.
Sita tak menyajikan minuman untuk keduanya
Adi lalu berkata pada Alina, "Bibimu jutek sekali sih." Alina mengedikkan bahunya dan berkata, "Aku tidak tahu. Setahuku dulu tak seperti ini." Adi pun tak berkomentar lagi, membiarkan keheningan melingkupi mereka dalam ruangan itu.
Tak berselang lama Alina mendengar suara seorang lelaki, "Alina?" Alina melihat ke arah orang itu dan melihat Danu, adik dari ayahnya. Wajah Danu begitu mirip dengan Dani. Meskipun namanya mirip namun keduanya tidak kembar.
Alina langsung berdiri dan menghampirinya, "Paman." Alina tersenyum. Danu berkata, "Ini beneran Alina?" Terakhir kali Danu bertemu dengan Alina sepuluh tahun yang lalu, saat Dani memutuskan untuk pindah ke kota bersama Rose dan Alina.
Alina pun mengangguk dan Danu langsung memeluknya, "Alina, maafkan paman ya!"
Alina bertanya, "Minta maaf untuk apa?"
Pelukan terlepas dan Danu berkata, "Paman tak datang ke kota saat bapakmu meninggal."
Alina tersenyum getir, merasakan perih di hatinya. Ia ingat kembali bagaimana ia mengantar Dani menuju peristirahatan terakhir hanya sendiri dari pihak keluarga.
Danu pun berkata, "Dulu paman tak punya uang hanya sekadar untuk ongkos." Alina pun berbesar hati, "Iya, tak apa paman." Mereka saling memandang dengan penuh pengertian dan rasa haru
Alina dan Danu duduk. Alina memperkenalkan Adi, "Paman, aku datang ke sini bersama temanku, Adi." Danu mengangguk sambil menatap Adi dengan tajam.
Namun, Adi menyela, "Lebih tepatnya, calon suami Alina, paman."
Danu langsung memandang Alina, meminta penjelasan dari keponakannya.
Alina dengan tegas menjelaskan, "Iya, paman. Aku punya niat untuk menikah minggu depan. Aku datang kemari untuk meminta doa restu dan meminta paman untuk menjadi wali Alina." Adi ikut bicara, menyambung penjelasan Alina.
Adi menyampaikan pada Danu bahwa ia ingin melamar Alina. Danu bertanya pekerjaan Adi apa, Adi menjawab bahwa ia seorang sopir.
Danu pun tidak masalah dengan pekerjaan Adi, memberi pengertian bahwa itu bukanlah hal yang penting.
Lalu Danu bertanya pada Alina apakah ia yakin dengan keputusannya untuk menikah. Ia baru berusia dua puluh tahun. Alina mengangguk, menegaskan bahwa ia sudah siap.
Danu yang mengenal karakter Rose, bertanya,” lalu bagaimana dengan ibumu? Apakah dia memberikan restu?”
Alina menggeleng, “aku tidak membutuhkan restu ibu.”
Alina lalu bertanya, “jadi, apa paman bisa ke kota untuk menjadi waliku?”