PERNIKAHAN
- Khawatir
Benda-benda tajam, darah, dan penjara. Menjadi sesuatu yang menakutkan bagi Puspa selama ini. Andai semua terungkap, itulah yang akan terjadi.
Puspa tahu ayahnya seperti apa. Kalau sampai ia menceritakan semuanya. Habis sudah. Keluarganya hancur berantakan. Rumah tangga kakaknya dipertaruhkan. Lalu apa dia sanggup diam menahan semua luka dan penderitaan ini sendirian?
Jika sang ayah masuk penjara, apa tega Puspa melihat lelaki itu menghabiskan masa tuanya di sana. Tidak. Puspa sangat sayang dengan ayahnya. Lalu sampai kapan dia sanggup diam, sedangkan lelaki yang telah menghalalkannya sekarang mempertanyakan kesuciannya, kejujurannya.
Puspa tersedu-sedu. Nafasnya sampai serasa tercekik mengingat bayangan peristiwa kelam itu. Lelaki kejam itu tanpa ampun mengambil paksa kesuciannya. Hanya karena tidak terima saat cintanya ditolak.
Ditutupnya wajah dengan telapak tangan. Tak sanggup mengingat kembali kejadian itu.
***L***
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Bram memandang ke arah pintu. Seorang wanita bersama anak perempuan seumuran Sony tersenyum seraya melangkah menghampirinya.
"Hai, kalian berdua saja?" Bram menyalami perempuan itu dan anaknya.
"Iya. Nyetir sendiri. Kebetulan Sasa sekolahnya pulang pagi karena gurunya ada rapat. Aku tadi nyekar ke makam Mbak Sandra, Mas."
"Oh. Silakan duduk."
Perempuan bernama Santi duduk di sofa. Bram membuka kulkas dan mengambilkan dua minuman dingin lalu menaruhnya di atas meja. "Silakan diminum."
Wanita itu adiknya Sandra. Mereka hanya dua bersaudara.
"Kabar mama gimana? Sorry, aku belum sempat ngajak anak-anak berkunjung ke sana."
"Maklumlah, pengantin baru," goda Santi yang disambut senyum oleh Bram.
"Kabar mama baik, Mas. Sebenarnya dia kangen pengen bertemu Vanya dan Sony. Tapi kemarin sempat vc-an sama Vanya. Gimana anak-anak, Mas? Mereka enjoy kan?"
"Maksudnya?" Dahi Bram mengernyit.
"Emm, Vanya chat aku beberapa hari yang lalu. Dia cerita ...."
"Tentang Puspa?" sahut Bram yang langsung disambut anggukan kepala oleh Santi.
"Maaf, Santi. Aku harap kalian nggak terlalu ikut campur dalam urusan ini. Aku yang paham tentang anak-anak. Kamu pasti dah tahu kalau Vanya tidak bisa menerima Puspa. Kuharap jangan ditanggapi serius tentang curhatannya. Vanya dalam masa pubertas yang kerap memberontak. Dia pasti cerita pada kalian dan membenarkan dirinya sendiri. Sony baik-baik saja dengan Puspa." Bram tidak suka kalau keluarga dari pihak almarhumah istrinya ikut campur.
Sekecewa apapun hatinya pada Puspa, tapi dia paling tidak suka ada orang luar masuk dalam personal life-nya.
"Kuharap kamu tidak terpancing dengan cuitan Vanya. Itu tanggungjawabku," tambah Bram.
"Iya, Mas. Maaf, kami hanya khawatir. Terlebih-lebih lagi mama. Semalam beliau nangis ingat Mbak Sandra, Vanya, dan Sony."
"Kabarkan pada mama kalau kami baik-baik saja. Kalau ada waktu, kami akan main ke sana."
"Iya. Oh ya, jam segini Sony sudah pulang sekolah, kan? Sasa pengen ketemu."
Bram melihat jam tangannya. Pukul dua belas. "Sudah. Dia ada di rumah. Main saja ke sana. Vanya ada acara di sekolahnya hari ini. Mungkin sebentar lagi juga pulang. Biasanya dia full day."
"Oke. Kalau gitu aku mampir ya, Mas. Istrimu pasti ada di rumah juga, kan?"
Bram tidak tahu, Puspa sudah pulang apa belum dari rumah orang tuanya. "Tadi Puspa ke rumah ibunya. Mungkin juga sudah kembali."
"Baiklah, kami ke sana." Santi meraih tangan putrinya. Gadis kecil itu mencium tangan Bram. Dan seperti biasa, dia akan mendapatkan beberapa lembar uang saku dari lelaki itu.
"Makasih, Om."
Bram tersenyum sambil menepuk pipinya Sasa.
Pria itu kembali duduk di kursi, lantas menatap keluar. Dari sana tampak kesibukan kuli yang menjemur dan memproses padi untuk digiling menjadi beras. Beberapa hari lagi, dia harus bisa memenuhi kuota dari kontrak yang disepakati bersama sebuah perusahaan swasta.
Makanya belum punya waktu bicara dengan Puspa. Ini juga kesempatan baginya untuk mengungkapkan kekecewaannya. Dia paling benci dibohongi apalagi untuk permasalahan sensitif seperti ini.
Bram menghela nafas panjang. Tapi jujur, dalam hati penasaran, apa yang membuat Puspa begitu frustasi seperti tadi malam. Namun egonya yang terluka, masih mendominasi.
Sedingin dan sekeras itu Wira Bramasta.
Dia juga ingat, dua tahun setelah meninggalnya Sandra. Mertuanya sempat mengajaknya bicara berdua. Wanita itu ingin agar Bram menikah saja dengan Santi.
"Santi sudah cerai dari suaminya, Nak Bram. Masa iddahnya juga habis sebulan yang lalu. Mama kepikiran, bagaimana kalau kalian menikah saja. Biar anak-anak nyaman. Vanya dan Sony sudah mengenal Santi dengan baik."
Tentu saja Bram kaget dengan permintaan mamanya Sandra. Sedikit pun dia tidak punya pikiran untuk menikahi kerabat dari Sandra. Entah itu Santi atau keluarga yang lainnya.
"Maaf, Ma. Saya belum kepikiran hendak menikah lagi. Saya fokus ke pekerjaan sama anak-anak saja dulu," tolak Bram halus.
"Sandra sudah dua tahun lebih meninggal. Anak-anak pasti butuh sosok ibu. Tapi mama harap, Nak Bram bisa mempertimbangkan hal ini. Supaya hubungan kita nggak terputus."
Bram tersenyum dan tidak berkata apapun. Setahun kemudian ia ditanyai lagi, jawaban Bram tetap sama. Dan tahun depannya, ia mengabari kalau hendak menikah dengan Puspa. Mereka semua kecewa. Bahkan mamanya Sandra sempat marah. Namun setelah itu mereda dan minta maaf.
Mereka masih tinggal di kota yang sama. Hanya saja beda wilayah.
Lamunan Bram terganggu oleh ponsel yang berpendar. Temannya menelepon.
"Halo."
"Hai, Bro. Kamu sudah berangkat?" Pertanyaan teman di seberang membuat Bram spontan berdiri. Kenapa dia sampai lupa kalau ada jadwal bermain bola dan pertandingan antar club.
"Bro," panggil temannya. "Jangan bilang kamu lupa atau sibuk untuk hari ini. Aku aja kubelain nggak over time kerja Sabtu ini."
"Sorry, aku berangkat sekarang. Aku tadi lupa."
"Nah, bener kan. Setelah nikah kamu jadi pelupa. Keseringan lembur agaknya." Tawa rekannya pecah di seberang. "Buruan berangkat, kita perlu ngobrol dulu."
"Oke."
Bram bangkit dari kursinya. Kemudian bicara sama Tika yang tengah meneliti rekapan. Meja stafnya berada di luar ruangannya.
Sebelum pergi, dia sempat ke gudang dan melihat beberapa pekerja yang bertugas menerima barang masuk dan mengeceknya.
"Nggak ada masalah, Bos. Semua sesuai kriteria," kata Dahlan. "Kita bisa langsung packing malam ini dan besok pagi siap berangkat kirim."
"Oke. Kalau gitu saya tinggal keluar."
"Siaaap."
Bram menuju mobilnya yang terparkir di depan gudang packing. Beberapa perempuan sibuk menimbang dan kaum lelaki yang mengangkatnya. Beras kemasan lima dan sepuluh kilo sudah ada beberapa tumpuk.
***L***
Di stadion, dia disambut rekan-rekannya. Rata-rata usia mereka sama. Sebagian dari mereka adalah teman SMA Bram yang akhirnya melanjutkan kuliah di universitas yang berbeda.
"Yang baru beristri perawan, jadi lemot sekarang," seloroh seorang teman. Yang disambut gelak tawa satu tim.
Seperti biasa, Bram hanya menanggapi dengan senyuman.
Mereka ngobrol sejenak, terus persiapan masuk lapangan. Biasanya kalau sudah di arena begini, otomatis permasalahan yang ada terlupakan. Namun tidak untuk sekarang. Bayangan Puspa dan anak-anaknya terbayang dalam benak. Apa yang terjadi di rumah sekarang setelah Santi datang?
Pertandingan di mulai. Namun semangat yang seharusnya menyala seperti biasa, tinggal kehampaan yang terasa. Entah kenapa? Jiwanya terusik dengan kalimat Puspa. "Aku kotor untukmu, Mas."
Untungnya klub mereka memperoleh kemenangan meski sangat tipis. 2:1.
"Kamu kenapa?" tanya seorang rekan yang menyadari kalau Bram terlihat tidak seperti biasanya. Seharusnya bahagia menyambut kemenangan mereka.
"Tidak apa-apa," jawab Bram sambil mengelap keringat dengan handuk kecil. Pria itu bangkit dari duduknya. "Aku ke toilet dulu."
Saat melangkah ke luar tribun, Bram berserempak dengan Pipit. Gadis itu mengangguk sopan padanya. Canggung juga meski Bram ini suami temannya. Tapi usia mereka terpaut jauh. Kendati dari segi penampilan, Bram tidak seperti pria usia menjelang empat puluh. Dia masih terlihat jauh lebih muda. Mungkin karena rajin berolahraga.
"Maaf, Pak Bram. Apa Puspa nggak ikut?" Pipit memberanikan diri bertanya saat Bram keluar dari toilet dan lewat di depannya yang sedang menunggu temannya.
"Tidak. Dia di rumah." Bram berhenti untuk menjawabnya. Dia memang sesopan itu. Menghargai siapapun yang mengajaknya bicara.
"Saya titip salam buat Puspa. Semoga lekas pulih."
Bram termangu sejenak. Pipit rupanya tahu kalau Puspa sakit kemarin. "Kamu main saja ke rumah."
"Iya, Pak Bram. Saya terakhir kali ketemu pas mengantarnya ke klinik. Waktu Puspa keguguran."
Bram terkejut. Keguguran? "Maksudnya gimana?"
Ganti Pipit yang kaget, apa iya Puspa tidak memberitahu suaminya.
"Semingguan yang lalu Puspa keguguran. Janinnya baru berusia empat minggu. Saya yang mengantarkan ke klinik waktu itu. Apa dia takut cerita sama Pak Bram karena keguguran? Eh, tapi Pak Bram jangan marah sama Puspa. Mungkin dia takut hendak memberitahu." Pipit yang keceplosan jadi serba salah. Apalagi melihat Bram yang terdiam tampak tak memahami.
"Saya pergi dulu, Pit."
"I-iya, Pak Bram."
Bram melangkah kembali bergabung dengan rekan-rekannya. Tapi untuk pamitan pulang. Dia menolak diajak makan bersama.
Empat minggu. Berarti itu anaknya. Bram memacu mobilnya dengan cepat. Sampai di rumah ia disambut oleh Sony yang bermain dengan seorang temannya di teras rumah.
"Bunda mana, Dek?" tanyanya pada Sony.
"Sejak Sony pulang sekolah, Bunda udah nggak ada di rumah, Pa. Kata Mak Sri, bunda belum pulang."
Next ....