Malam

1227 Words
PERNIKAHAN - Malam Suara gedebug mengagetkan Bram. Spontan pria itu meloncat dari tempat tidur. Puspa merintih sambil memegangi lengannya yang sakit. "Puspa, kamu kenapa?" "A-aku nggak apa-apa." Puspa tergagap sambil bangkit. Bram berusaha meraihnya. "Aku bisa sendiri, Mas. Jangan sentuh. Aku kotor untukmu." Puspa menghindari tangan yang hendak membantunya. DEG. Bram terkesiap oleh kalimat itu. Sejenak terpaku menatap Puspa yang terlihat sangat berantakan. Ucapan Puspa terasa nyeri di dadanya. Dalam remang lampu kamar, Bram melihat wajah istrinya yang sembab. Rambutnya masai terurai sebagian menutupi wajah. "Kenapa bisa jatuh?" "Nggak apa-apa," jawab Puspa canggung. Entahlah, kenapa dia bisa jatuh. Dia tadi hendak bangun, perasaan kaki sudah menapak di lantai, ternyata masih jauh dan akhirnya dia tersungkur. "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ngambil air minum." Tak ada lagi kata saya, yang ada sebutan aku. Bram mengikuti istrinya yang keluar kamar dan mengambil air minum dari dispenser yang ada di pojok ruang santai lantai dua. Tubuh Puspa lemah oleh perasaannya yang sedang kacau. Berdiri pun tidak bisa tegak. Sempat terhuyung ketika hendak mengembalikan gelas di tempatnya. Bram melangkah cepat untuk menghampiri. Namun Puspa memberikan isyarat tangannya supaya pria itu berhenti. "Aku nggak apa-apa. Jangan mendekat, Mas. Sekarang aku sadar kalau tak layak untukmu. A-aku akan duduk di sini sebentar. Mas, tidurlah." Dalam temaram lampu ruangan yang kekuningan, Puspa melangkah pelan kemudian duduk di sofa. Sedangkan Bram masih berdiri memandangi. Ada nyeri dan iba yang muncul tiba-tiba, ada apa dengan Puspa? Dia ingin bicara dengannya tapi Bram belum menyediakan waktu. Banyak hal dipikirkan di kepalanya, termasuk rasa kecewa pada Puspa. Mungkin waktu yang diminta oleh istrinya, adalah untuk menjelaskan pertanyaannya malam itu. "Mas, tidur saja. Aku ingin di sini." Puspa berkata tanpa mengangkat wajahnya. Bram menghela nafas panjang, lantas duduk di sofa yang berseberangan dengan istrinya. Belum sempat ada yang berbicara, pintu kamar Sony terbuka. Bocah umur sepuluh tahun itu mengucek matanya. Dia pun terkejut melihat papa dan bundanya duduk di sana. "Papa dan Bunda, belum tidur?" tanyanya sambil menguap. "Kenapa Sony terbangun?" tanya Bram. "Sony haus, Pa. Mau ngambil air minum." Anak itu menunjukkan botol yang biasa ditaruh di kamarnya telah kosong. "Biar bunda isikan." Puspa bangkit dari duduknya dan mengambil botol dari tangan Sony lantas mengisinya. Setelah itu mengantarkan Sony masuk kamar. Menyelimuti tubuh itu dan memijit kakinya. Tadi sore Sony mengeluh kalau kakinya terasa pegal. "Bunda, jangan pergi sebelum Sony tidur," pintanya dengan manja. Lengan Puspa diraih kemudian dipeluknya. "Oke." Puspa tersenyum. Namun hatinya sedih. Anak ini sudah bisa menerimanya. Bahkan terlihat mengkhawatirkan dirinya yang sedang sakit. Ya, Sony bisa menemukan sosok ibu dalam diri Puspa yang selama ini ia rindukan. Walaupun Puspa masih muda, tapi dia sangat pengertian dengan anak kecil. Akhirnya Puspa ketiduran di kamar Sony. Wanita itu duduk di kursi dan kepalanya di letakkan di tepi pembaringan. Dia terbangun saat sentuhan mengagetkannya. Spontan Puspa bergeser untuk menghindari tangan Bram. Rasa tak pantas dan tidak percaya diri itu selalu timbul dalam hati disaat suaminya mendekat. Ucapan Bram malam itu begitu membuatnya nelangsa. Juga saat disentuh tangannya di rumah sakit, Bram menghindarinya. Apa dia jijik? Puspa bangkit dari duduknya. Saat itu azan subuh sudah berkumandang. Bram juga bergegas mengambil air wudhu. Saat Puspa ketiduran di kamar Sony, Bram juga ketiduran di sofa. Usai salat subuh, Bram sibuk dengan laptopnya sedangkan Puspa ke dapur seperti biasa untuk menyiapkan sarapan. Dia tidak pandai memasak. Makanya selalu ke dapur untuk belajar pada Mak Sri, tentang apa saja masakan yang disukai suami dan anak-anaknya. "Kak, apa kausmu itu nggak terlalu ketat?" Hati-hati Puspa menegur pelan anak tirinya yang sudah duduk di ruang makan. Setelah sejak tadi ia hanya memperhatikan dan membatin. Kaus warna putih itu membentuk lekuk tubuh Vanya yang mulai berisi sebagai remaja pubertas. Menggantung dan jika bergerak perutnya pasti kelihatan. Vanya memandang tidak suka. Tatapannya sangat tajam pada Puspa. "Bukan urusanmu," hardiknya. "Vanya, yang sopan kalau bicara. Ganti bajumu." Bram yang muncul di ruang makan, berkata tegas pada putrinya. Membuat Vanya kaget lantas berlari kembali ke kamarnya. Puspa jadi serba salah. Setiap kali papa dan anak bersitegang, itu karena dirinya. Apa dia salah jika menegur? Hari ini memang ada acara bebas di sekolahan Vanya. Acara bazar di hari ulang tahun sekolahan itu. Kalau bukan dia yang menegur, pasti di sekolah nanti akan ditegur juga oleh gurunya. Justru orang tua yang malu kalau begini. Dikira tidak mendidik anak dengan baik. "Mas, sehabis nganterin Sony ke sekolah. Aku mampir ke rumah ibu." Puspa bicara sambil menyiapkan piring untuk suami dan anak-anak di meja. "Iya," jawab Bram singkat. "Jangan lupa, aku ingin ngomong serius dengan, Mas." Bram diam memandangi istrinya yang sedang menyiapkan sarapan. Kemudian Sony yang menyeret tas sekolahnya datang dan duduk di kursi. Disusul Vanya yang sudah berganti memakai kaus longgar. Saat Bram menasehati anak-anaknya, Puspa diam. Di matanya, Bram adalah seorang ayah yang baik. Selalu mengajarkan anak-anak untuk sopan dan jujur. Makanya Bram tak terima saat Puspa tidak mau jujur padanya. ***L*** Puspa terkejut saat melihat beberapa poster berukuran 1X1 meter dengan foto seorang laki-laki berada di meja panjang ruang pertemuan di rumah orang tuanya. Melihat wajah itu, darahnya mendidih sekaligus kembali terpuruk. Luka yang tak pernah kering, kembali berdarah-darah dan terasa sangat perih. Tangannya mengepal di kedua sisi tubuhnya. "Nduk, ayo masuk. Kenapa berdiri di situ." Bu Rukayah yang lebih kerap dipanggil Bu Lurah muncul dari dalam rumah dan tergopoh menghampiri putrinya. "Ini posternya Nak Dikri yang dikirim tadi malam." Bu Lurah memandangi gambar lelaki yang masih terbungkus plastik di atas meja. "Rencananya Mbak Indah sama Mas Irwan mau menemui suamimu." "Untuk apa, Bu?" Puspa melangkah duduk di kursi berukir di ruang pertemuan itu. "Mau dirangkul untuk diajak mendukung Nak Dikri. Nak Bram kan punya karyawan dan relasi yang banyak." "Nggak usah, Bu. Bahkan aku pun nggak akan mendukungnya." Ucapan Puspa datar dan dingin. "Kenapa? Kita sudah lama kenal keluarga Pak Maksum. Mereka orang-orang yang amanah. Pak Maksum sudah beberapa kali menjadi anggota dewan, menjabat camat." "Zaman sekarang uang yang bicara. Bisa membuat orang mendapatkan apa saja yang diinginkan. Uang bisa untuk mendapatkan jabatan, kedudukan, bahkan bisa membeli harga diri orang lain." "Puspa," tegur Bu Lurah lembut sambil menyentuh lengan putrinya. "Tapi bener kan, Bu?" Bu Lurah tidak memungkiri hal itu. Benar, politik adalah uang. Uang untuk berpolitik. "Pak Maksum kan omnya Irwan. Sebagai kerabat, apa salahnya kita memberikan dukungan. Semoga saja Nak Dikri benar-benar amanah." Puspa menggeleng. "Aku nggak akan mendukungnya. Bilang ke Mbak Indah atau Mas Irwan, nggak usah datang ke rumah untuk bertemu Mas Bram, Bu." Wanita anggun dengan hijab lebar itu tertegun memandangi putrinya. Heran dengan sikap Puspa. Bukankah Puspa dan Dikri kenal dengan baik. "Bu Lurah, dicari Bu Marto di belakang." Seorang asisten rumah tangga memberitahu Bu Lurah. Wanita itu bangkit berdiri. "Ibu masak sup iga kesukaanmu. Ayo, masuk ke dalam. Ibu mau nemui Bu Marto dulu." Setelah ibunya berlalu, Puspa pun berdiri melempar setumpuk poster itu ke lantai dan menginjak-injaknya. "Mati, mati kamu," desisnya lirih. Puas mengacak-acak, walaupun plastiknya hanya kusut sedikit karena cukup tebal membungkus poster itu. Puspa masuk rumah dan langsung ke kamarnya. Mengunci diri dan menangis di lantai. "Aku menyukaimu sejak dulu. Apa alasanmu menolakku? Katakan Puspa. Apa kamu punya pacar? Siapa dia? Apa lebih tampan dariku, lebih kaya? Dia teman kuliahmu?" "Lihatlah, bagaimana aku akan memilikimu dengan caraku. Dan kamu akan menyesali itu, Puspa." Terbayang bagaimana cowok itu menyeringai sinis tepat di depan wajahnya. Dan peristiwa kelam itu berputar-putar di kepala. Puspa mendesis untuk menghalaunya. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD