Patah Hati

1354 Words
PERNIKAHAN - Patah Hati Pria itu merokok dengan tatapan menerawang. Mungkin tengah memperhatikan foto keluarga yang berada tepat di dinding depannya. Atau memperhatikan foto mendiang sang istri. Puspa mundur kembali ke kamar dan duduk di tepi pembaringan. Nyalinya menciut. Dia benci dengan situasi seperti ini. Pergi ke mana keberaniannya tadi. Rasa kepercayaan diri benar-benar memudar di hadapan lelaki yang bergelar suami. Ditariknya napas dalam-dalam. Jutaan kata yang terangkai buyar sudah. Yang tersisa hanya embun di kelopak matanya. Beberapa lama hanyut dalam rasa pedih dan sakit, akhirnya ia beranjak meraih ponsel yang berpendar di meja rias. Netranya sedikit berbinar melihat siapa yang mengirim pesan. Dita, teman kuliahnya dari Surabaya. [Apa kabar, Puspa? Waduh yang pengantin baru jarang banget mau nongol di grup sekarang. Lagi nikmatin bulan madu ya, Neng? Cie cie cie.] [Hmmm, ganteng banget suamimu. Dewasa dan pasti pengertian kan? Tajir pula tuh. Bisa ngemong kamu. Pantesan nggak noleh kiri kanan langsung tancap gas ke pelaminan. Aku juga pengen dapet yang kayak gitu, no basa-basi langsung nikah he he he .... Ada lagi nggak, satu untukku. Sorry, canda.] [Aku kangen ngobrol sama kamu. Tapi nggak berani nelepon. Takut ganggu. Makanya kukirimkan pesan panjang kali lebar ini. Biar bisa kamu baca diam-diam. Btw, kamu tahu nggak? Yang kemarin patah hati kamu tinggal nikah, sampai sekarang masih merana. Segitunya kamu matahin hatinya Rayyan.] [Padahal dia masih berharap sama kamu. Saat kamu menjauhinya ketika kita sedang skripsi, dia pikir setelah semua selesai dan wisuda, kamu akan kembali. Ternyata kamu malah nikah sama pria lain, Pus.] [Kemarin dia ngajak ketemuan sama aku. Dia nangis kamu tahu nggak. Patah banget tampaknya. Aku iba, Pus. Makanya aku ceritain ini ke kamu. Dia cinta banget sama kamu. Apa sebenarnya kamu dah lama diam-diam kencan sama suamimu sebelum nikah. Makanya kamu tinggalin Rayyan? Kenapa sih kamu nggak ngomong saja waktu itu, biar Rayyan nggak berharap lebih padamu.] [Rayyan sangat baik, Pus. Aku tahu mungkin kalian memang nggak berjodoh, tapi aku kasihan banget, tau. Coba di mana kita mendapatkan lelaki sholeh seperti dia di zaman sekarang? Tapi mungkin suamimu juga termasuk pria yang baik dan sholeh, makanya kamu memilih dia.] Puspa berhenti membaca. Air matanya kembali mengalir deras. Ingat bagaimana ia menjauhi Rayyan. Mereka sempat pendekatan, laki-laki itu telah mengungkapkan perasaannya. Namun sebelum Puspa menjawab, peristiwa hitam itu terjadi. Puspa mengurung diri di kamar kosnya hampir dua minggu. Setelah siap kembali ke kampus, justru dia menjauhi Rayyan. Padahal mereka sudah berteman lama semenjak awal perkuliahan. Lelaki baik seperti dia tidak pantas mendapatkan barang bekas. Begitu juga dengan Bram. Tapi kenapa pada Bram, Puspa berani masuk ke dalam kehidupannya? Sebab Puspa berharap, Bram yang lebih dewasa bisa menerima apa adanya, tanpa bertanya tentang masa lalunya. Kembali dipandanginya layar bening dalam genggaman. Melanjutkan membaca pesan. [Baru kali ini aku lihat lelaki yang benar-benar patah hati. Nggak malu dia nangis di hadapanku. Nangisin kamu.] [Rayyan sudah bekerja sekarang. Dia dapat pekerjaan bagus di Surabaya. Rencana sambil melanjutkan S2. Tapi nanti setelah pikirannya tenang. Sekarang benar-benar broken heart.] [Puspa, apa yang terjadi denganmu, Say. Hubungan kalian sangat baik waktu itu. Setelah kamu menghilang berhari-hari, begitu muncul lantas menjauhinya. Tahu nggak, ibaratnya perasaan Rayyan sekarat sekarang. Dia nggak berani menghubungimu karena kamu sudah menjadi istri orang. Meski hanya untuk memberitahu kalau dia sangat terluka.] Puspa kian tersedu-sedu. Andai Rayyan tahu apa yang terjadi pada dirinya, apakah dia masih mau menerima? Rayyan pria yang baik. Dia pantas mendapatkan gadis suci. Puspa merasa sangat kotor dan menjijikan. [Maafkan aku, Say. Kalau isi pesanku ngelantur. Aku hanya ingin kamu tahu, ada hati yang hancur berkeping-keping karena pernikahanmu. Jangan jadikan ini beban. Tetaplah berbahagia dengan keluarga kecilmu. Kita akan tetap jadi sahabat. Sesekali bisa kan kita ketemuan?] Dengan tangan gemetar, Puspa mengetik balasan. [Bisa, Dit. Makasih banyak udah chat aku. Kabarku baik. Kabar kamu gimana? Udah dapat kerjaan apa belum? Aku juga kangen sama kamu.] [Sampaikan permintaan maafku pada Rayyan. Aku nggak bermaksud menyakitinya, Dit. Pria baik seperti dia, layak mendapatkan gadis baik-baik lebih dariku.] Mata Puspa masih berair. Sesekali ia memandang pintu, khawatir suaminya tiba-tiba masuk. Di layar ponsel, kata 'mengetik' terus berkedip-kedip. [Ada apa sih, Pus? Kita kenal sudah lama. Aku tahu bagaimana kamu. Dari gadis ceria, tiba-tiba menjadi menutup diri. Kamu bukan korban perjodohan dari orang tua, kan? Ayah ibumu bukan orang seperti itu, deh. Mereka sangat terbuka orangnya. Beberapa kali kau ajak aku pulang ke desa dan nginap di sana, Pak Lurah sangat baik.] [Puspa, apa ada yang kamu rahasiakan dari pertemanan kita?] [Nggak ada, Say. Aku baik-baik saja. Mungkin aku dan Rayyan nggak berjodoh. Itu saja. Btw, kamu kerja di mana sekarang?] [Aku masih nunggu panggilan. Entah diterima apa nggak. Doain diterima ya, Say.] [Iya. Aku doain. Udah ya, Dit. Besok kita sambung lagi.] Buru-buru Puspa menelungkupkan ponsel di nakas tanpa menunggu balasan Dita. Sebab ia mendengar langkah suaminya ke arah kamar. Puspa segera menarik selimut dan meringkuk seperti bayi. Bram tidak boleh curiga lagi. Dan ia juga tidak bisa bicara dengan perasaan kacau begini. Kacau karena mengetahui betapa Rayyan patah hati karenanya. Pintu kamar terbuka. Puspa memejam rapat. Ia merasakan pergerakan di belakang punggungnya. Sang suami sudah merebahkan diri. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halusnya. Puspa menarik napas panjang. Ingatannya tertuju pada pria itu. Rayyan Muhammad Fatih. "Puspa, tunggu!" Rayyan mengejarnya di koridor kampus saat ia tergesa-gesa menghindari pemuda itu. "Aku mencarimu berhari-hari. Kenapa nggak bilang kalau kamu pulang kampung. Ponselmu juga nggak aktif," ucap Rayyan setelah berhasil menjajari langkahnya. "Apa ayah atau ibumu sakit?" Puspa yang terus melangkah menuruni tangga menggeleng. "Lalu?" "Aku yang sakit, Ray." "Sakit apa?" Rayyan menghentikan langkah Puspa dengan berdiri tepat di depan gadis dengan wajah memucat. Rayyan khawatir. "Wajahmu pucat. Kuantar ke dokter." "Nggak usah. Aku sudah baikan sekarang." Rayyan mengajaknya makan di kafe depan kampus. Tatapannya penuh rasa penasaran saat melihat perubahan drastis pada Puspa. Gadis periang yang sangat dicintainya, terlihat sangat berbeda. Sendu, kusam, dan diam. Biasanya Puspa makan dengan lahap. Tapi saat itu hanya mengacak-acak nasi dalam piringnya. "Puspa, kamu sakit apa? Kamu ceritakan saja padaku. Kuantar kamu berobat." "Aku udah baikan, kok. Beberapa hari lagi pasti dah pulih," jawab Puspa sambil memaksakan tersenyum pada Rayyan. "Beneran?" "Iya." Hening. Mereka menikmati makanan yang dipesan. Rayyan menyuap nasi sambil memperhatikan gadis di hadapannya. "Ray." Puspa mengangkat wajah setelah diam cukup lama. "Ya." "Aku mau fokus ke skipsi dulu. Tinggal dikit lagi selesai. Untuk sementara kita jangan keseringan bertemu. Aku mau fokus dulu. Nggak apa-apa, kan?" Perkataan itu membuat Rayyan terkejut. Ada raut kecewa juga. Kenapa tiba-tiba Puspa berkata demikian setelah dua mingguan menghilang. "Aku mengganggumu?" Puspa menggeleng. Mati-matian dia menahan tangisnya. "Tapi kenapa? Kamu nggak bermaksud menjauhiku kan? Puspa, kalau kamu ada masalah. Bisa kamu bagi denganku." Rayyan serius memandangi Puspa. Sementara gadis itu sibuk menghindari tatapan Rayyan. Apa yang harus dibaginya. Semua yang terjadi sungguh memalukan dan penuh ancaman. Dia sudah kehilangan segala-galanya. Harga diri pun sudah tidak ada. Apa yang bisa dibanggakan dihadapan lelaki yang mencintainya, jika kehormatan yang menjadi kebanggaan seorang perempuan sudah tidak dimiliki lagi. d**a Puspa seperti dihimpit bongkahan batu. Rayyan berterus terang sebulan yang lalu setelah menyimpan perasaannya sekian lama. Ternyata cowok itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama semenjak mereka dipertemukan di kampus. "Puspa, ada apa? Kamu jatuh cinta pada cowok lain?" "Nggak. Bukan itu. Tapi ada sesuatu yang nggak bisa kuceritakan pada siapapun. Termasuk pada kedua orang tuaku." "Tapi aku ingin tahu. Nggak bisa kamu menjauhiku tanpa memberikan alasan." "Alasannya jelas, Ray. Aku ingin menyelesaikan skripsiku dulu. Kamu pun sama, kan. Kita fokus dulu di akhir perkuliahan kita." "Oke. Nggak apa-apa. Tapi sesekali kita bisa keluar makan, kan?" Puspa mengangguk. Kemudian meraih tali tasnya. "Aku pergi dulu, ya. Mau pulang ke kosan." "Kuantar." "Nggak usah. Aku bareng Dita." Dan semenjak hari itu, Puspa benar-benar menghindari Rayyan. Tidak menerima dan membalas telepon hingga wisuda. Dan pada suatu hari ia mengabarkan kalau akan menikah. Rayyan datang bersama teman-temannya dengan perasaan yang hancur lebur. Mata itu menunjukkan luka yang teramat dalam. Puspa tidak bisa berkata apa-apa, bahkan untuk mengucapkan kata maaf. Hanya dalam diam ia mendoakan, semoga Rayyan akan mendapatkan gadis salehah. Puspa masih ingat betul tatapan cowok itu seperti apa? Dia juga kembali mengingat kejadian di mana dia kehilangan segala-galanya. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD