Tidak Percaya Diri

1278 Words
PERNIKAHAN - Tidak Percaya Diri "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Bram yang mendapati Puspa duduk sambil menulis sesuatu di buku. Namun setelah menyadari kehadirannya, Puspa buru-buru menutup bukunya. Tentu Puspa sangat terkejut. Apalagi dia hanya menyalakan lampu belajar yang menyinari meja saja. Kehadiran Bram yang berdiri menjulang di belakangnya membuat kaget. "Nggak apa-apa," jawab Puspa gugup. "Sudah malam. Tidurlah. Kamu sedang sakit, kan? Jangan tidur di luar. Aku tidak ingin anak-anak terganggu dengan permasalahan antara aku dan kamu." Bram kembali melangkah ke kamarnya setelah selesai bicara. Untuk beberapa saat, Puspa diam menatap dinding yang gelap di depannya. Lantas berdiri dan masuk kamar yang sama. Berbaring miring seperti biasa. Bram memikirkan perasaan anak-anaknya, bukan perasaannya. Wajar bukan, dirinya hanya orang baru yang saat ini dianggap sebagai penipu. ***L*** "Kita tahu kan Pak Bos gimana orangnya. Dia paling nggak suka dicurangi seperti semalam. Bisa-bisanya mereka ngirim beras yang sudah kutuan padahal sudah dibeli dengan harga tinggi. Lihat saja, orang itu nggak bakalan bisa memasukkan barang ke gudang kita lagi. Bos kalau sudah dibohongi nggak bakalan ngasih kesempatan." "Sebenarnya bos kita itu orangnya sangat fleksibel dan baik. Barang belum ada sudah di kasih uang muka. Nggak menetapkan batas waktu yang penting barang dikirim sesuai quota meski secara bertahap. Kalau sudah gini ya susah. Kemarin saja bos sudah bilang kalau memutuskan kontrak kerja dengan mereka." "Bodohlah mereka ini. Jangan harap dikasih kesempatan lagi. Yang penting kita profesional, si bos paling royal orangnya." "Paling royal dan loyal meskipun nggak banyak bicara. Tapi jangan harap diberikan peluang lagi setelah berani macam-macam sama si bos." Sambil menyiapkan bekal di lunch box untuk Sony, Puspa mendengarkan percakapan dua kuli yang sedang minum kopi di teras dapur. Dari gambaran sekilas, ia bisa menyimpulkan kalau Bram tidak akan memaafkannya. Dia tidak jujur pada suaminya dan itu yang tidak disukai Bram. Mungkin setelah permasalahan pekerjaan selesai, Bram baru mengajaknya bicara. Masih ada waktu untuk bernafas lega. Setidaknya kekacauan yang bakalan terjadi di dua keluarga bisa tertunda. Ia juga bisa mengulur waktu dan berpikir bagaimana untuk menghadapi kemarahan kedua orang tuanya. Kemudian ayahnya akan tahu, terus bertanya pada putrinya. Jika Puspa jujur, ia takut ayahnya akan bertindak di luar batas. Semuanya akan hancur. Akan gempar seluruh desa. Bahkan sampai ke mana-mana. Puspa tidak bisa membayangkan itu. Pak Fathir akan melakukan apapun demi membela keluarganya. Lelaki yang siap menerjang apa saja jika keluarganya disakiti sedangkan pihaknya tidak bersalah. "Selamat pagi, Bunda." Sony menyapanya dengan ceria. Membuyarkan ketakutan Puspa. "Selamat pagi juga, Dek." Puspa tersenyum lantas mengambilkan piring dan menuangkan nasi. "Mau lauk apa?" "Ayam goreng sama bawang goreng saja, Bun. Kasih sambal kecap dikit." "Oke." Puspa menuruti permintaan Sony. Vanya muncul dan meletakkan tas di kursi. Gadis itu mengambil piring lain meskipun sudah disediakan oleh Puspa di atas meja. Puspa memilih diam daripada menyapa Vanya. Dia tidak ingin menambah beban dalam d**a. Ini saja rasanya sudah tidak kuat. Semalaman dia tidak tidur. Noktah hitam dalam hidupnya kembali terbayang begitu jelas dan menyakitkan. "Bunda, kenapa?" Sony yang peka beranjak menghampiri Puspa. Tatapannya tampak sangat khawatir. "Nggak apa-apa. Yuk, dilanjut sarapannya. Biar bunda potongkan buah untuk dibawa ke sekolah." Puspa menarik napas dalam-dalam. Kemudian membuka kulkas untuk mengambil buah pir dan semangka. "Bunda, istirahat saja kalau masih sakit." Sony masih juga khawatir. Sementara Vanya menatap sinis pada ibu tirinya. "Bunda udah baikan." Puspa tersenyum pada Sony. Setelah anak-anak selesai makan dan berangkat ke sekolah, Bram baru turun. Dia ketiduran lagi sehabis salat subuh. Terlihat sangat lelah. Tergesa Puspa membuatkan jahe hangat tanpa gula dan mengambilkan nasi. "Mas, mau lauk apa?" "Nanti aku ambil sendiri." Puspa meletakkan piring di depan suaminya. Dia juga duduk untuk sarapan. Kalau tidak ingat harus minum obat, rasanya malas untuk makan. "Mas, aku minta waktu untuk bicara. Nggak harus sekarang, selonggarnya mas saja." Puspa bicara pelan dan hati-hati. Sekarang atau nanti, ia harus memberikan penjelasan. Entah diterima atau tidak. Namun Puspa sangat pesimis melihat sikap Bram yang dingin. Bram hanya mengangguk tanpa bersuara apapun. Makan belum selesai, seorang karyawan kantor muncul dari pintu dapur dengan wajah tegang. Tampaknya ada yang urgent. Pria kepercayaan Bram masuk setelah dipanggil. Ternyata truk yang mengirimkan barang ke pelabuhan mengalami kerusakan di jalan tol. Bram langsung meninggalkan meja makan tanpa menghabiskan nasinya. Puspa menghela nafas panjang. Nasi serasa enggan untuk ditelan. Apakah Bram akan mendengarkannya nanti? Apa dia akan ditinggalkan atau dirinya yang harus pergi dengan kerelaan hati. Masih terbayang kemegahan pernikahan mereka dua bulan yang lalu. Sangat meriah. Satu desa menghadiri pernikahannya. Kerabat, kenalan, rekan bisnis, dan beberapa pejabat kenalan ayahnya. Apa semua itu menunggu waktu untuk menjadi kenangan yang harus ia lupakan? ***L*** Derit ponsel di atas meja ruang santai mengalihkan perhatian Puspa. Ada panggilan masuk dari ibunya. "Assalamu'alaikum, Bu." "Wa'alaikumsalam. Kamu sehat to, Nduk?" "Alhamdulillah. Agak nggak enak badan. Tapi sekarang sudah mendingan. Maaf, beberapa hari ini aku nggak ke rumah ibu." "Nggak apa-apa. Yang penting kamu sehat. Mbakmu sore ini pulang sama suaminya. Kalau kamu longgar, datang ke rumah. Besok kan hari Sabtu. Minggunya ajak anak-anak ke sini. Nak Bram juga." "Iya, Bu. Besok sehabis nganterin Sony ke sekolah, aku langsung ke rumah ibu." "Ibu tunggu. Tapi pamit dulu sama Nak Bram." "Iya." "Mbakmu sama suaminya mau jadi tim suksesnya Nak Dikri di pilcaleg awal tahun depan, Pus." Puspa terkesiap mendengarnya. Wajah yang tadinya ceria, kini mendadak kembali pucat. "Puspa," panggil wanita di seberang. "Iya, Bu. Besok aku ke rumah." "Yo wis kalau gitu. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumsalam." Tangis Puspa tumpah setelah meletakkan ponsel. Ia menelungkupkan wajah di meja. Tubuhnya terguncang oleh tangis. Mereka tidak tahu apa yang dialaminya. Mereka tidak tahu kalau Puspa pernah sangat putus asa. Kemudian mulai ada harapan saat dikenalkan dan dijodohkan dengan Bram. Namun sekarang, apa yang dialaminya seolah untuk hidup pun rasanya enggan. Ia malu dan tidak punya harga diri. Dia takut untuk bicara mengungkap peristiwa paling pahit dalam hidupnya. Dia takut berbagi kekejaman itu. Sekian lama ia simpan sendiri dan ia jauh lebih percaya diri menatap dunia jika tidak ada satupun orang yang tahu akan masa lalunya. Namun sekarang ia dituntut untuk jujur. Apa setelah ini semuanya akan membaik atau malah makin hancur. Bram yang melintas hendak ke ruang kerja, berhenti saat melihat istrinya. Ketika ingin mendekati, ponsel di saku celananya bergetar. Terpaksa pria itu menjauh untuk menerima telepon dan mengambil surat-surat di ruang kerjanya. Pagi ini banyak yang harus diurus. Truck di ruas jalan tol harus segera disusul dan barang-barang di evakuasi ke kendaraan lain. Supaya jangan sampai terlambat ke pelabuhan. "Bunda," panggil Sony pelan sambil menyentuh pundaknya. Puspa yang melamun mengerjabkan mata. Dia lelah lahir batin. "I-iya. Sony, sudah pulang? Pulang sama siapa?" "Di antar guru olahraga, Bun. Yang bertanding sore nanti disuruh pulang awal biar bisa istirahat. Tapi harus di antar ke ke stadion jam satu siang. Nanti Bunda yang ngenterin Sony, ya." "Iya." Puspa tersenyum. "Kenapa Bunda melamun di sini?" "Nggak apa-apa. Yuk, ganti baju dulu. Bunda akan siapin keperluan kamu." Sony mengangguk dan melangkah ke kamarnya. Puspa menyiapkan snack, air minum, dan baju ganti. ***L*** Bram datang setelah pertandingan selesai. Dia langsung memeluk putranya yang berbicara dengan Puspa. Untuk mengucapkan selamat atas kemenangan tim Sony. Tadi istri dan anaknya berangkat di antar oleh sopir gudang. "Maaf, papa terlambat." "Nggak apa-apa. Sony tahu papa sibuk. Lagian ada Bunda yang jadi suporter buat Sony." Bocah dengan tubuh bermandi keringat memandang bundanya. Begitu juga dengan Bram. Keduanya beradu pandang sejenak dan Puspa yang lebih dulu memutuskan tatapannya. Dia sudah kehilangan rasa percaya diri di depan suaminya. "Yuk, kita makan. Kamu pasti lapar." Menjelang Maghrib mereka baru sampai di rumah. Malamnya, Puspa melangkah ke ruang kerja sang suami. Pintu tidak tertutup rapat. Perlahan ia mendorongnya. Bram tidak menyadari kehadirannya, tapi Puspa melihat apa yang dilakukan pria itu di dalam sana. Next ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD