Pagi itu, cahaya matahari menyelinap masuk lewat celah tirai sutra yang melambai pelan tertiup angin dari balkon. Kilau emasnya memantul lembut di atas permukaan lantai marmer putih yang berkilau, menyentuh selimut tebal tempat Kirana berbaring. Suara burung-burung kecil dari halaman taman belakang terdengar samar, bersahut-sahutan, seperti menyambut pagi yang baru.
Kirana membuka matanya perlahan. Pandangannya masih buram, dan tubuhnya terasa sedikit pegal setelah seharian kemarin berdiri, tersenyum, dan pura-pura menjadi pengantin paling bahagia di dunia. Ia menoleh ke sisi ranjang, sisi kosong yang tetap rapi, tanpa sedikit pun bekas tubuh Devano.
Hening. Dingin.
Ia menghela napas panjang.
“Oh, ya ampun…” gumamnya lirih.
Tangannya menyibak selimut dan ia segera duduk di pinggir tempat tidur. Kakinya menyentuh permukaan karpet bulu lembut yang menghampar luas di bawah tempat tidur berukuran king size. Ia menyapu pandangan ke sekeliling kamar pengantin mereka yang sebenarnya terasa terlalu besar dan terlalu sepi untuk dihuni seorang diri.
Kirana berdecak kecil. "Dasar laki-laki itu. Sudah resmi menikah, tapi tetap saja tidur di kamar sebelah."
Ia bangkit dan berjalan menuju jendela, membuka tirai lebar-lebar. Cahaya pagi langsung membanjiri kamar, menambah kehangatan di dalam ruangan. Kirana mengangkat dagu, memandangi halaman belakang rumah yang luas, dengan kolam renang biru yang masih tenang dan pepohonan rindang yang berjajar rapi.
Hari ini adalah hari pertamanya secara resmi menjadi nyonya Devano Horison. Tapi rasanya seperti masih tinggal sendiri, hanya saja dengan rumah yang sangat besar dan segalanya serba mewah.
“Aku istri sahmu, Devano,” gumamnya sambil menatap langit. “Kalau kau pikir kau bisa terus-terusan tidur di kamar lain dan menganggapku hanya pemeran figuran, kau salah besar. Lihat saja nanti.”
Kirana langsung melangkah menuju lemari pakaian yang ukurannya nyaris seperti ruang kecil tersendiri. Ia mengambil baju tidur yang sopan tapi tetap anggun, lalu segera berjalan ke dapur besar di lantai bawah. Langkahnya cepat namun penuh semangat.
Kirana ingin menyiapkan sarapan untuk Devano. Bukan karena dia ingin bersikap manis saja, tapi ia punya misi. Dia akan menaklukkan hati pria itu, perlahan tapi pasti.
Di dapur, Kirana membuka kulkas dua pintu yang isinya penuh bahan makanan segar. Dia tersenyum kecil, mengikat rambutnya ke atas, lalu mulai memasak.
“Telur orak-arik, roti panggang, sosis, dan jus jeruk. Gaya bule.” Ia mengangguk kecil. “Tapi kutambahkan juga nasi goreng spesial biar dia tahu kalau aku juga bisa masak lokal.”
Waktu berlalu. Aroma harum menyebar ke seluruh dapur. Kirana menata semua makanan di atas nampan kayu mewah, menambahkan vas kecil berisi bunga mawar putih di sudutnya.
Lalu, ia melangkah mantap menuju kamar Devano.
Kamar suaminya itu terletak di ujung koridor lantai atas. Ia berdiri di depan pintunya, menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk.
Tok. Tok. Tok.
Tak ada jawaban.
“Devano?” panggilnya.
Hening.
Dengan perlahan, Kirana membuka pintu. Kamar itu lebih maskulin, dengan nuansa abu-abu dan hitam. Dan di sana, di atas ranjang, Devano masih tertidur, hanya mengenakan kaos putih dan celana tidur panjang. Wajahnya terlihat tenang, bahkan sedikit lelah.
Kirana berdiri sejenak di ambang pintu, menatap pria yang kini secara sah menjadi suaminya. Ia ingat bagaimana pria itu menyematkan cincin di jarinya di depan ratusan pasang mata. Tapi tetap saja, di balik semua keramaian dan pesta, hanya hampa yang ia rasakan karena Devano tidak benar-benar bersamanya.
Ia melangkah pelan mendekat, meletakkan nampan sarapan di meja kecil dekat ranjang. Lalu, dengan sedikit ragu, ia menyentuh bahu Devano.
“Devano… bangun. Sarapan sudah siap.”
Devano membuka matanya perlahan. Ia tampak sedikit kebingungan, lalu duduk perlahan dan menatap Kirana.
“Kau… bangun pagi?” gumamnya.
“Tentu saja. Aku istrimu, kan?” jawab Kirana dengan senyum lebar.
Devano menatapnya dalam-dalam. Mata tajamnya sempat memicing, seolah mencoba membaca maksud tersembunyi dari senyum Kirana.
“Kau tak perlu repot seperti ini,” ujarnya dingin. “Aku bisa makan sendiri.”
“Tapi aku mau. Lagipula… kita sekarang satu rumah. Aku tak mau hanya jadi istri pajangan.” Kirana menarik kursi dan duduk di sebelah ranjangnya. “Dan mulai hari ini, aku ingin kita tidur di kamar yang sama.”
Devano menoleh cepat. “Apa?”
“Kita sudah menikah, Devano. Orang-orang tahu itu. Mama juga tahu. Wartawan tahu. Dunia tahu. Jadi kenapa kita harus terus pura-pura hanya saat kamera menyorot?” suara Kirana mulai mantap.
“Karena ini hanya kontrak, Kirana,” jawab Devano. “Kau tahu peraturannya.”
“Aku tahu,” balas Kirana sambil menatap mata Devano dengan berani. “Tapi peraturan bisa diubah, kan? Aku akan buat kamu mau tidur sekamar denganku tanpa paksaan.”
Devano terkekeh kecil, lalu mengangkat sendok dan mulai makan perlahan. Kirana memperhatikannya, memperhatikan cara pria itu mengunyah tanpa bicara banyak, tapi sesekali matanya melirik ke arah Kirana seolah menilai sesuatu.
“Apa?” tanya Kirana tak tahan.
“Kau mengejutkanku pagi ini.”
“Biasa saja. Itu baru permulaan.” Kirana menyeringai. “Kau belum lihat kalau aku mulai mendekorasi kamar pengantin kita dengan aroma lavender kesukaanmu. Dan, kupesan selimut baru yang lebih lembut dari yang sekarang.”
“Jangan harap aku pindah kamar,” ujar Devano sambil minum jus jeruk.
“Kita lihat nanti,” balas Kirana santai. “Aku bukan tipe istri yang mudah menyerah.”
Dan sejak hari itu, dimulailah obsesi Kirana: Merebut hati suaminya yang dingin dan mengusir jarak di antara mereka.