Godaan Istri Kontrak

1481 Words
Kirana menghela napas panjang saat melihat pantulan wajahnya di cermin. Matanya sayu karena bangun terlalu pagi, rambutnya baru setengah dirapikan, dan tangannya sibuk mengancingkan blus putih kerjanya. Ia memandangi dirinya sendiri dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Ini bukan bayangan hidup setelah menikah yang kuimpikan," gumamnya pelan sambil merapikan kerah bajunya. Ia berpaling sejenak ke jendela besar yang menyuguhkan pemandangan taman belakang rumahnya yang luas. Di sana ada kolam renang biru jernih, ayunan putih di bawah pohon kamboja yang berbunga, dan set meja makan dari rotan elegan yang selalu menggodanya untuk duduk santai sambil minum kopi dan membaca majalah mode. Tapi kenyataannya? Ia masih harus ke kantor. Setiap hari. Setiap pagi, Kirana berangkat kerja ke Horison Corp. Ya, perusahaan milik suaminya sendiri, Devano Horison. Dan yang lebih menyakitkan? Ia masih menjadi karyawan biasa. Staf biasa. Hanya staf. Tidak ada kenaikan jabatan, tidak ada ruangan pribadi, bahkan tempat duduknya masih berada di ujung lorong lantai empat bersama karyawan magang dan staf marketing lainnya. Padahal… bisa saja, bukan? Ia istri CEO. Kalau Devano mau, ia bisa dengan mudah mendapatkan posisi direktur keuangan, manajer senior, atau minimal sekretaris pribadi Devano. Ya, yang terakhir itu terdengar sangat menarik. Kirana berdecak kesal sambil menarik tas tangan mewahnya, hasil hadiah pernikahan dari Devano—yang dibelikan mungkin hanya karena tuntutan media. “Devano Horison,” gumamnya pelan saat menuruni tangga spiral marmer di rumah megah itu, “kau pikir kau bisa perlakukan istrimu seperti karyawan rendahan terus-terusan?” Hari itu, di kantor, Kirana mulai melancarkan aksinya. Ia sengaja memakai blus putih tipis, dipadu rok pensil hitam ketat yang memeluk tubuhnya pas. Rambut panjangnya digulung setengah naik, dengan poni menyamping yang dibentuk rapi, menambah kesan manis dan dewasa. Make-up-nya flawless, dengan lipstick merah marun yang menggoda. Begitu sampai di kantor, semua mata tertuju padanya. Beberapa rekan kerja perempuan saling berbisik. Pria-pria yang berjalan melewatinya mencuri pandang. Namun Kirana tidak peduli. Ia hanya punya satu target hari ini: suaminya sendiri. Dengan langkah anggun namun mantap, ia menuju ruang CEO, melewati meja resepsionis tanpa permisi. Sekretaris Devano yang saat itu duduk di balik meja hanya bisa menatap dengan dagu nyaris jatuh. Kirana membuka pintu ruang kerja Devano tanpa mengetuk. “Sayang?” panggilnya. Devano, yang sedang membaca laporan di balik meja kerjanya yang besar dan gelap, mendongak seketika. Tatapannya tajam, nyaris tak terkejut melihat Kirana berdiri di sana dengan senyum penuh rahasia. “Aku sedang sibuk,” ucap Devano cepat. “Bagus. Karena aku juga sedang sibuk memikirkan masa depanku,” jawab Kirana sambil berjalan ke arah pria itu, duduk di sofa panjang dan menyilangkan kaki anggun. “Aku mau jadi sekretarismu.” Devano menurunkan laporannya. “Apa?” Kirana menatapnya sambil tersenyum miring. “Jangan pura-pura kaget. Aku tahu kau punya kuasa penuh di perusahaan ini. Kalau kau mau, kau bisa mencopot siapa saja dan menunjuk siapa saja sebagai sekretarismu, termasuk… istrimu sendiri.” Devano memutar matanya. “Kirana, kau sudah bekerja di departemen lain. Kenapa ingin jadi sekretaris?” Kirana bangkit dari sofa dan berjalan pelan menghampiri meja Devano. Ia bersandar di meja itu, tepat di depan Devano yang masih duduk, dan menatap dalam ke matanya. “Karena aku ingin lebih dekat denganmu. Lebih bisa membantumu. Lagipula… aku yakin sekretarismu yang sekarang tidak tahu semua jenis kopi yang kamu suka, atau kapan waktunya kamu harus dipaksa istirahat, atau siapa saja klien yang harus kau hindari karena selalu bertele-tele.” Kirana mencondongkan tubuh sedikit, hingga wajah mereka hanya berjarak beberapa senti. “Dan jangan lupa… aku jauh lebih menarik dibanding sekretarismu sekarang.” Devano berdeham kecil dan mengalihkan pandangannya. “Kirana, ini bukan tempat untuk—” “Kalau kau tidak setuju,” potong Kirana cepat, “maka jangan salahkan aku kalau aku berhenti kerja dan mulai menghabiskan waktuku di rumah, mengundang para sosialita lain untuk arisan, dan menghabiskan semua kartu kredit platinum yang kau kasih.” Devano langsung mendongak. “Ancaman?” “Tidak,” jawab Kirana cepat. “Itu janji.” Devano menatap Kirana lama. Ia tampak menimbang sesuatu dalam pikirannya. Setelah beberapa detik yang terasa lama, pria itu menghela napas berat. “Baik. Mulai minggu depan, kau sekretarisku. Tapi jangan buat kekacauan, Kirana. Aku serius.” Kirana langsung tersenyum lebar. “Terima kasih, Pak Devano Horison.” Ia menyentuh dagu suaminya sebentar. “Sekarang kau akan lihat seberapa profesional aku saat menjadi istrimu sekaligus sekretarismu.” Dan benar saja. Minggu berikutnya, Kirana sudah menempati meja sekretaris pribadi di luar ruangan CEO. Dengan headset kecil di telinganya, laptop terbuka, dan jadwal Devano di tangannya, ia tampak seperti sekretaris yang terlatih, tegas, dan cerdas. Namun di balik itu, ia punya satu tujuan lain—memecah lapisan dingin Devano dan mengubah pria itu menjadi suami yang tidak hanya sah di atas kertas, tapi juga mencintainya sepenuh hati. *** Pagi itu, udara kantor Horison Corp terasa lebih hangat dari biasanya, setidaknya bagi para pegawai yang baru saja melihat penampilan terbaru sekretaris CEO—Kirana. Dengan blus satin merah menyala yang sedikit menerawang dan rok pensil hitam dengan belahan samping yang naik cukup tinggi, Kirana berjalan menyusuri koridor kantor lantai eksekutif dengan kepala tegak. Sepatu hak tinggi mengklik lantai marmer putih yang mengilap, dan rambutnya diikat setengah naik dengan detail pita kecil di belakangnya. Aroma parfum mewahnya menyebar halus di sepanjang jalannya. Beberapa staf wanita melirik sinis, sementara beberapa staf pria berusaha tidak terlalu jelas memandangi. Tapi Kirana tidak peduli. Ia tahu siapa dirinya—istri dari sang CEO. Dan hari ini, ia sedang dalam misi besar untuk menguji batas kesabaran pria dingin itu. Setibanya di depan ruang kerja Devano, ia menarik napas perlahan dan melepaskannya perlahan, menarik blazernya sedikit agar bahu kirinya terlihat, lalu mengetuk dua kali sebelum membuka pintu tanpa menunggu izin. Devano sedang duduk serius di balik mejanya, membaca laporan. Namun detik suara sepatu Kirana terdengar memasuki ruangan, pria itu mendongak, dan matanya langsung membelalak singkat. Sorot tajam khas Devano muncul seketika. “Apa kamu baru dari klub malam semalam dan lupa ganti baju?” tanyanya, suara datarnya membuat ruangan terasa membeku. Kirana hanya tersenyum manis, menghampiri meja Devano dengan langkah pelan. “Tentu tidak. Ini seragam kerja baruku, sayang. Cantik, kan?” Devano memejamkan mata sejenak, menghela napas dengan gusar. “Kirana, aku tidak pernah mengizinkan pegawai wanitaku berpakaian seperti itu. Terlalu terbuka. Ini kantor, bukan runway Paris.” Kirana pura-pura tidak mendengarnya. Ia berdiri di depan meja kerja Devano, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit, menyodorkan map berisi laporan jadwal rapat. Tapi niatnya lebih dari itu. Tangannya perlahan menarik dasi Devano, menggulungnya ke jemarinya sendiri, wajahnya semakin dekat dengan wajah suaminya. “Kenapa? Kamu terganggu?” bisiknya, mata nakal menatap pria itu lekat-lekat. “Atau… kamu terpesona? Katakan saja kalau kamu suka aku berpakaian seperti ini, Devano.” Pria itu masih mematung, rahangnya mengeras. Kirana menambahkan godaan lagi, menggoda dengan lembut di ujung kata, “Kamu tahu aku bisa melakukan lebih dari sekadar menyusun jadwal rapat, kan? Aku bisa menyegarkan harimu, membuatmu lebih produktif… lebih bersemangat.” Namun tiba-tiba, tangan Devano terangkat, menahan lembut tangan Kirana yang masih memegang dasinya. Tatapannya tajam, tapi kini ada sedikit kelelahan di dalamnya. “Kirana,” ucapnya datar, “aku menyuruhmu menjadi sekretarisku karena aku tahu kamu ingin lebih dekat denganku, bukan untuk bermain seperti ini.” Kirana sedikit tertegun. “Aku menghormatimu sebagai istriku, dan aku ingin kamu juga menghormati posisi itu. Di kantor ini, kamu adalah staf. Profesional. Aku tidak pernah mencampur urusan pribadi dengan pekerjaan,” lanjut Devano. Kirana terdiam, jari-jarinya perlahan melepas dasi yang tadi digenggamnya. “Mulai sekarang, pakailah pakaian yang layak untuk sekretaris. Aku tidak butuh godaan, Kirana. Aku butuh bantuanmu sebagai tangan kananku. Kalau kamu hanya ingin bermain-main, maka lebih baik kamu kembali ke posisimu semula.” Suasana ruangan menjadi sangat hening. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Kirana menelan ludah. Dadanya panas. Ia tidak menyangka akan mendapat penolakan setegas itu. Selama ini, ia mengira Devano akan mulai mencair—tapi nyatanya, pria itu masih sama. Tegas. Dingin. Tidak goyah oleh godaan seberapa pun besarnya. Dengan perlahan, Kirana mundur satu langkah. Ia menarik napas dan tersenyum kecil, meski hatinya sedikit nyeri. “Baik, Tuan Devano. Akan saya ganti pakaian ini mulai besok.” Devano tidak menjawab. Ia hanya kembali menunduk menatap laporan di tangannya. Kirana pun melangkah keluar dari ruang kerja itu, diam-diam menahan perasaan campur aduk di dalam hatinya. Ia merasa kalah. Tapi di saat yang sama, ia kagum. Suaminya bukan pria sembarangan. Di luar ruangan, ia berdiri sejenak, menarik napas dalam-dalam sambil menatap sekeliling. "Baiklah, Devano Horison," gumamnya dalam hati. "Kalau kau ingin aku profesional, maka aku akan menjadi sekretaris paling hebat yang pernah kau miliki. Tapi jangan salah… suatu hari nanti, kau akan datang sendiri ke kamarku. Bukan sebagai bos… tapi sebagai suami." Kirana melangkah kembali ke mejanya, duduk dengan anggun, dan membuka laptop. Di layar, jadwal Devano sudah siap untuk dia atur. Hari ini dia tidak akan menggoda. Hari ini dia akan bekerja. Tapi dalam diam, Kirana bersiap: ini baru permulaan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD