Bab 5

1873 Words
Aku masih mencintai Romi? Tentu saja tidak. Aku sama sekali tak mencintainya. Aku membencinnya. Sangat membencinya. Maka dari itu, aku ingin balas dendam kepadanya. Kenapa bisa Darryl berpikir kalau aku masih mencintai Romi? “Hai Sweetheart,” ucap seseorang dari arah kananku. Aku menoleh ke arah tersebut dan kudapati Darryl tengah berdiri di depan pintu dan memandang benda di hadapanku dengan mata berbinar. Darryl sekarang sedang mengagumi motor barunya yang kemarin sore telah datang. Sejak motor tersebut sampai di rumah, Darryl terus-terusan memanggil benda tersebut dengan sebutan 'Sweetheart'. Lihat kan, siapa yang gila? “Lo kelihatan berwibawa kalau pakai baju rapi kayak gitu,” ucapku kepadanya. “Gue selalu berwibawa. Lo aja yang nggak bisa lihat.” Pagi ini aku sempat kaget melihat penampilan Darryl yang cukup mengesankan. Dia benar-benar terlihat dewasa dan lebih tampan dari yang seharusnya. Padahal dia cuma mengenakan kemeja lengan panjang dengan celana kain. Dia juga mengenakan sepatu kerja—entah apa sebutannya. Oh dan rambutnya juga terlihat keren, mirip model-model masa kini. Aku yakin, dengan penampilan Darryl yang seperti ini, semua mahasiswi yang diajarnya tidak akan ada yang bolos sampai akhir semester. Aku juga pernah kuliah. Dan ketika ada dosen kita yang tampan dan rupawan, rasanya benar-benar seperti mendapatkan vitamin A. Vitamin mata. Dan sebisa mungkin tak akan bolos demi kelangsungan mata kita. “Hati-hati Ryl, mahasiswi sekarang banyak yang agresif.” Aku berdiri dari posisi dudukku dan berjalan mendekat ke arahnya. “Lihat dosen kayak lo, bisa-bisa mereka meraung-raung pada nyakar.” “Terakhir kali gue cek, gue ngajar manusia, bukan macan,” ucapnya santai seraya merapikan kemejanya. “Tapi cewek agresif, lumayan juga.” Dasar cowok. “Berangkat deh, sana. Takhlukan makhluk-makhluk buas itu.” Aku menepuk pundaknya dan tersenyum lebar “Gue ngajar di kampus Shab, bukan di kebun binatang.” Aku tertawa mendengar ucapannya. “Darryl,” terdengar seseorang memanggil nama Darryl yang membuatku menoleh ke sumber suara tersebut. Kini tak jauh dari posisiku berdiri, terlihatlah Liny yang sedang memandang Darryl dengan ekspresi tak percaya. Kemudian pandanganku kembali ke arah Darryl yang tengah memandang ke arah Liny dengan ekspresi yang sama. Mereka berdua saling memandang dengan ekspresi rindu. Perlahan Darryl berjalan ke arah Liny. Semakin Darryl mendekat ke arahnya, terlihat sekali mata Liny yang semakin berbinar. Bahkan senyum Liny semakin merekah bak bunga mawar yang tengah mekar. Tatapan itu terlihat begitu penuh cinta. “Kok kamu bisa di sini?” tanya Liny dengan ekpresi tak percaya bercampur kaget bercampur senang dan bercampur sejenisnya. Entahlah, terlalu banyak emosi di tatapan matanya. Dan aku rasa, Darryl pun merasakan emosi yang sama. “Ceritanya panjang,” jawab Darryl dengan tawa kecilnya. “Kamu apa kabar?” “Baik. Kamu sendiri?” “Aku juga baik. Baik banget.” Darryl tersenyum lebar ke arah Liny. Ia terlihat bahagia. Benar-benar bahagia. “Kamu ngikutin aku ya? Hayo ngaku?” tanya Liny sambil tertawa kecil. “Nggak, sama sekali enggak. Ini murni kebetulan.” Darryl terlihat sedikit panik dengan pertanyaan Liny. “Sumpah.” Liny kembali tertawa mendengar perkataan Darryl. “Kebetulan?” Aku mendengus kesal melihat Liny yang terlihat begitu bahagia. Ayolah, haruskah dia memperlihatkan kebahagiaan itu ketika mantannya menderita? Maksudku, dia mencampakan Darryl dan sekarang dia sok bahagia bertemu dengan Darryl. Apa dia pernah memikirkan perasaan Darryl? “Sweetheart, lihat, cowok lo selingkuh sama mantannya,” bisikku kepada motor Darryl yang berada di sebelahku. “Oh Tuhan!” terdengar teriakan yang langsung membuatku mendongak dan melihat ke arah sumber suara. Kini kutemukan sosok Romi tengah memandang kaget mobil hitam miliknya yang terparkir di halaman rumahnya. “Ada apa, sayang?” Itu suara Liny yang bertanya kepada Romi. “Ban mobilnya kempis. Semuanya kempis.” Dan sekarang pandangan mereka berdua kompak memandang ke arahku. Bahkan Darryl pun memandangku. Pandangan mereka seolah menuduhku. “Apa?” tanyaku menantang. Tanpa memedulikan mereka lagi, aku langsung berjalan menuju pintu ruang tamu. Mungkin seharusnya aku pergi dari sini. Ya aku harus pergi dari sini. Setelah sampai ruang tamu, segera aku berjalan ke arah jendela berada. Kubuka sedikit tirainya dan kuintip keadaan di luar. Sekarang terlihat Darryl berpamitan dengan Liny yang kemudian langsung berjalan ke arah motornya dan pergi berangkat kerja. Sedangkan Romi, dia terlihat sedikit frustasi dengan ban mobilnya yang kempis. Bukan sedikit, tapi dia benar-benar terlihat frustasi. Emang enak! Rasain! Asal dia tahu, aku masih jauh lebih frustasi daripada dia. Harusnya dia sadar. Untung aku hanya membuatnya kempis saja. Tanpa memedulikan nasib Romi lagi, aku memilih berjalan menuju dapur dan mencuci piring bekas sarapan tadi. Darryl tadi membuatkanku dan Papa sarapan. Masakannya pun lumayan enak. Sangat jauh dari masakanku yang dibawah standar. Dia benar-benar koki yang hebat. Dan dia menjanjikan akan memasakanku makanan yang super lezat jika nanti aku kelaparan. Entah mengapa janji itu membuatku ingin sekali kelaparaan sampai mau mati. Sebenarnya, aku masih tak percaya dengan semua ini. Bertemu dengan Romi, serumah dengan Darryl, bertetangga dengan Liny dan semuanya. Bahkan aku masih tak percaya bahwa Romi pergi meninggalkanku dan menikah dengan orang lain. Entahlah, rasanya ini semua adalah mimpi. Mimpi buruk yang sangat rumit. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan kulakukan untuk membalas perbuatan Romi terhadapku. Membuat ban mobilnya kempis bukanlah cara yang hebat untuk membalas dendam. Itu bahkan tidak membuat hatinya sakit atau terluka. Itu sama sekali tidak sebanding dengan apa yang aku rasakan. Rasa sakit yang kuderita karenanya tak akan pernah hilang. Semakin hari, rasanya semakin sakit. Ini bukanlah luka yang dapat orang lain lihat. Tapi luka ini rasanya benar-benar sakit. Seperti ada sebuah peluru yang bersarang di d**a. Semakin hari, peluru itu seolah bergerak perlahan menuju jantungku. Mungkin aku tak akan selamat dari peluru ini. Ini semua karena Romi. Rasanya, melupakan apa yang telah ia perbuat itu sangat mustahil. Bahkan terkadang, jika aku sedang sendiri seperti ini, yang terbayang di otakku adalah Romi yang pergi dariku dan membuatku terluka. Bayangan itu berputar berulang-ulang. Dan setiap adegannya terasa sama, menyakitkan. Aku sungguh ingin membuatnya menderita. Kurasakan ponsel yang berada di kantongku bergetar menandakan ada sebuah panggilan masuk. Segera kulap tanganku yang basah dan kemudian kuangkat panggilan yang ternyata dari Darryl. “Apa?” tanyaku langsung sebelum Darryl berbicara kepadaku. “Hai Shaby,” sapanya dengan nada ceria dan terdengar sangat semangat. “Lo lagi apa?” Mendengar nada bicaranya tersebut membuatku mengernyitkan dahi. “Bersantai di Hawai,” jawabku sedikit ketus. “Ngapain nelpon gue? Oh, lo mau ceramah soal gue yang ngempesin ban mobil Romi? Gue nggak butuh ceramah lo. Gue tutup telponnya.” Iya, pasti dia mau ceramah. Dia pasti mau sok menasihatiku mengenai hal baik dan hal buruk. Basi. Aku tidak butuh ceramahnya. “Tunggu, jangan tutup teleponnya.” Darryl terdengar panik yang membuatku semakin mengernyitkan dahi. “Gue bukan mau ceramah atau hal semacamnya. Gue bahkan nggak peduli lo mau ngempesin ban mobil dia atau mau sekalian nyopot spion mobilnya. Oke, sebenarnya gue peduli dan mau ngasih lo nasihat, tapi bukan itu tujuan gue telepon lo. Mungkin nanti kalau kita ketemu di rumah, gue bakalan ngasih lo ceramah panjang lebar soal hal itu, tapi nggak sekarang—" “Terus?” potongku sebelum Darryl berbicara lebih panjang lagi. “Gue butuh bantuan lo. Sangat butuh. Butuh banget. Ini antara hidup dan mati gue. Please, tolong gue, Shab.” “Bantuan apa?” “Gue lupa bawa tas. Bisa tolong anterin ke kampus?” Orang macam apa yang lupa bawa tas ketika berangkat kerja? Apa yang dia ingat coba? Oh, yang dia ingat pasti Liny. Iya Liny, si mantan yang tadi sempat mengobrol dengannya. Aku sangat yakin bertemu dan berbicara kepada Liny seperti tadi sudah cukup membuat dunianya teralihkan. Kalau tidak, mana mungkin dia lupa membawa tasnya. Darryl bodoh. “Shaby, lo masih di sana? Halo? Shab, tolongin gue. Susah nih, buat putar balik. Lagi di jalan satu arah. Nanggung juga kalau balik ke rumah. Terus bakalan telat kalau harus bolak—“ “Iya gue anterin ke sana. Berisik.” Dan kumatikan sambungan telepon kami. Segera kuambil tas ranselnya yang ternyata berada di meja makan. Sepertinya Darryl terlalu semangat dengan hari pertamanya mengajar sehingga melupakan benda paling penting ini. Atau mungkin dia terlalu gugup sehingga melupakan tas ini. Entahlah, hanya Tuhan dan Darryl yang tahu. Setelah mengambil tas Darryl dan tas slempangku di kamar, aku bergegas keluar rumah dan berniat mengantarkan tas ini ke kampus tempat di mana Darryl mengajar. Tapi sekarang yang jadi masalahnya, aku ke sana naik apa? Motor Papa? Mana bisa aku naik motor. Kemudian kulihat sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah Romi. Sebaiknya aku bergegas masuk ke dalam taksi tersebut sebelum Romi atau Liny—yang kuyakin memesan taksi itu—muncul. Setelah aku berada di sebelah taksi ini. Dengan segera kubuka pintu belakang taksi yang berada di hadapanku. Namun sebelum pintu taksi ini terbuka, kurasakan tangan seseorang memegang tanganku yang membuatku menoleh ke arah kananku. Dan kini terlihatlah wajah Romi tengah memandangku bingung. “Bee, aku yang pesan taksinya,” ucapnya dengan nada bingung. “Gue nggak peduli.” Aku mencoba membuka pintu taksi ini yang membuat tangannya mendorong pintu taksi agar tertutup kembali. “Aku buru-buru Bee, pasienku udah pada nunggu.” “Gue bilang, gue nggak peduli,” ucapku memandangnya marah. “Aku nggak ada waktu buat main-main sama kamu. Aku beneran buru-buru.” “Main-main? Oh iya, gue baru inget. Semua waktu lo sama gue itu kan cuma main-main,” kataku memandangnya tajam. Entah mengapa, kalimat yang ia ucapkan bagaikan sebilah pedang yang menusuk jantungku. “Astaga, Bee. Bukan itu maksudku.” Terus apa maksud dia, ha? Lagian benar kan, dia dari dulu hanya main-main saja terhadapnku. Dia mempermainkanku. “Bee, jika kamu mau, aku bisa jelasin semuanya sama kamu. Tapi saat ini bukanlah saat yang tepat. Aku benar-benar buru-buru.” “Gue nggak peduli.” Tatapan matanya terlihat sama dengan tatapannya yang dulu. Tatapan mata yang terlihat memujaku. Dulu mungkin aku akan luluh dengan tatapan mata itu. Namun sekarang, jangan harap aku melakukan kesalahan yang sama. Tatapan itu adalah tanda bahwa betapa dia sangat jago memanipulasi orang lain. “Mas sama Mbaknya jadi ndak naik taksi?” terdengar suara sopir taksi yang ternyata sudah menyembulkan kepalanya keluar jendela. “Jadi.” Aku dan Romi menjawab dalam waktu yang bersamaan. “Ya sudah, silakan masuk. Nanti saya antar kalian berdua.” Aku menoleh ke arah Romi yang tengah tersenyum kecil ke arahku. Kemudian ia membukakan pintu taksi tersebut dan berkata, “Denger kan? Silakan.” “Gue nggak mau semobil sama lo.” “Cari taksi lain kalau kamu nggak mau,” ucapnya masih membuka pintu terebut untukku. “Masuklah, Bee. Aku beneran buru-buru banget.” Di saat itulah kurasakan ponselku bergetar. Segera kurogoh kantong celanaku dan kuambil benda persegi panjang tersebut. Kini terpampanglah nama Darryl di sana. Sepertinya dia benar-benar membutuhkan tas ranselnya ini. Darryl, lo beneran berhutang banyak sama gue! “Don't call me Bee!” Dengan begitu segera aku masuk ke dalam taksi yang disusul oleh Romi. “Aku suka manggil kamu Bee,” ucapnya seraya duduk manis di sebelahku dan menutup pintu di sampingnya. “Kamu masih sama ya, nggak berubah.” Aku memandangnya dengan kening berkerut. Sama? Nggak berubah? Apa dia buta? Kini kulihat dia tersenyum manis ke arahku. Senyum yang selalu membuatku damai. Aku dulu menyukainya. Segera kubuang pandanganku ke arah jendela yang berada di sampingku. Aku tak akan jatuh ke lubang yang sama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD