Bab 6

1967 Words
Duduk berdua bersama Romi di mobil yang sama bukanlah hal yang menyenangkan. Sepanjang perjalanan, ia terus berbicara mengenai masa lalu kami. Ia bercerita seolah tak pernah ada masalah di antara kami berdua. Aku sungguh sangat muak mendengarnya. “Lo nggak bunuh dia pas di mobil, itu bagus,” ucap Darryl seraya menuangkan s**u cokelat ke dalam gelas yang ia pegang. “Gue berharap kami berdua mengalami kecelakaan kemudian dia meninggal di tempat dan—” “Lo koma seumur hidup. Keren,” potongnya yang membuatku melotot tajam. “Berhenti membayangkan apa pun yang membuat Romi mati.” “Lo nggak ada benci-bencinya sama Romi?” tanyaku penasaran. Darryl selalu menyalahkan apa pun yang kulakukan untuk membuat Romi menderita. Bahkan niatku saja dia salahkan. “Nggak.” Darryl kini duduk di depanku dan meminum s**u cokelat yang katanya membuatnya sehat. Dasar anak kecil. “Bagaimanapun Romi lah yang udah merebut Liny dari lo.” “Ya udah. Berarti Liny bukan jodoh gue. Gampang kan?” “Ngomong sama lo bikin kesel!” ucapku seraya bangkit dari posisi dudukku dan berjalan meninggalkan Darryl yang berada di ruang makan. “Hei, apa yang salah?” tanyanya diiringi tawa menyebalkannya yang membuatku ingin menyumpal mulutnya itu dengan kain pel. Darryl selalu begitu. Dia selalu mencoba menjadi orang yang bijaksana. Walaupun begitu, aku tahu kok, sebenarnya dia sakit hati dan kecewa kepada Liny. Tapi entah mengapa dia berlagak kuat. Menyebalkan. Aku berjalan menuju teras berniat untuk menunggu Papa pulang. Tadi pagi Papa bilang bahwa ia akan pulang sebelum maghrib yang artinya sebentar lagi ia akan sampai di rumah. Jadi, sekarang aku akan menunggunya di teras, yang di mana tidak ada Darryl. Sembari menunggu Papa pulang, aku memperhatikan jalanan di depanku yang cukup ramai. Dari kendaraan yang berlalu lalang, orang-orang yang sedang berjoging sampai penjual bakso, sejak tadi lewat di depan rumah. Kompleks ini sepertinya jarang sepi. Pandanganku beralih ke arah langit yang kini sudah mulai gelap. Awan menggumpal membentuk pola-pola abstrak. Aku suka memandang awan dengan bentuknya yang beraneka ragam. Mereka seperti kembang gula yang berwarna putih—yang sekarang agak kehitaman. Sangat manis—tapi sekarang terlihat sedikit seram. Kalau pagi terlihat jauh lebih indah kurasa. “Hai.” Aku menoleh ke arah kananku di mana suara tersebut berasal. “Shaby, kan?” Dan sekarang terlihatlah Liny tengah berjalan mendekat ke arahku dengan ragu-ragu. Bibirnya membentuk senyum canggung yang masih membuatnya terlihat cantik. Liny memiliki mata bulat dikelilingi bulu mata lebat serta lentik. Bibirnya terlihat penuh dengan goresan lipstik warna peach. Wajah bulatnya terbingkai oleh rambut panjang melebihi bahu. Warna kecokelatan rambutnya terlihat menawan di kulit putihnya. Dia sangat tahu bagaimana cara berdandan cantik tapi tidak norak. Aku mengernyitkan dahi memandang ke arahnya. Semoga dia sadar bahwa ekspresiku ini adalah ekpresi 'gue-nggak-mau-ngomong-sama-lo-mending-pergi-sekarang-sebelum-gue-ngamuk'. Tapi sepertinya dia tidak sadar karena langkah kakinya semakin mendekat ke arahku. Dia mau apa? “Sendirian?” tanyanya ketika sudah berada di dekatku. Sangat dekat sampai aku dapat mencium bau parfumnya yang sangat manis. “Kelihatannya gimana?” Senyum kaku menghiasi wajahnya. Ia mengangguk dengan ekspresi bingung. Terlihat sekali ia sedang salah tingkah. “Nyari Darryl?” tanyaku dengan nada bosan. “Nggak juga, sih.” Liny menyibakkan rambut yang sedikit menutupi wajahnya. “Dia …, Darryl beneran tinggal di sini, ya?” Aku mengangkat kedua bahuku, tak peduli. Aku benar-benar tak ingin mengobrol dengannya. “Hai, Lin. Nyari aku?” Dan terdengarlah suara Darryl dari arah belakangku. Aku yakin kini ia sedang berdiri di ambang pintu sambil tersenyum manis ke arah Liny. “Itu Darryl,” ucapku malas seraya menunjuk ke arah Darryl. “Tanya sendiri dia tinggal di mana,” lanjutku. Sepertinya Darryl mempunyai semacam kompas yang hanya menunjuk ke arah Liny. Jadi kurasa jarum kompas tersebut sekarang tengah mengarah ke arah teras sehingga dia tahu bahwa ada Liny di sini. Atau mungkin sinyal Liny terlalu kuat sehingga Darryl dapat merasakannya. Maksudku, Liny di sini dan Darryl tiba-tiba muncul. “Ada apa, Lin?” Darryl kini berjalan mendekat ke arah Liny dan kemudian duduk di sebelah kiriku. Setelahnya, ia memberikan isyarat kepada Liny agar duduk di sebelah kananku. Dan Liny pun melakukannya. “Cuma mau nyapa, tadi liat Shaby duduk sendirian di sini,” ucap Liny seraya melirikku. Aku memandangnya malas dan kemudian menyandarkan punggungku pada kursi. “Oh iya, aku mau ngundang kalian berdua buat datang ke acara pembukaan kafeku besok. Bakalan ada diskon besar di sana. Dan khusus buat kalian berdua, gratis deh,” kata Liny tersenyum riang ke arahku dan Darryl. “Lo kira gue nggak mampu bayar, sampai lo kasih gratisan?” tanyaku melirik ke arah Liny. “Bukan gitu—” “Oh, atau mungkin itu harga khusus buat mantan?” tanyaku lagi menekankan kata mantan yang membuatnya semakin salah tingkah. Kini kurasakan nyeri pada kaki kiriku karena injakan kaki Darryl. Aku menoleh ke arah Darryl dan melotot sebal. Darryl balas melotot ke arahku seolah menyuruhku untuk diam. “Oke, kita pasti datang. Besok kan? Mumpung dikasih gratisan, kita nggak akan melewatkannya,” ucap Darryl dengan suara riang yang membuat Liny tersenyum kecil. “Oke. Aku tunggu kedatangan kalian berdua. Kalau begitu, aku pulang dulu. Bye.” Dengan begitu, Liny pergi meninggalkan kami berdua menuju rumahnya yang terlihat sepi. Sepertinya Romi belum pulang. “Lo kenapa, sih?” tanya Darryl terlihat kesal. “Gue kenapa? Lo tuh, yang kenapa!” Darryl mengernyitkan dahi bingung yang membuatku mengembuskan napas kesal. “Ngapain lo bilang kalau kita bakalan datang? Gue nggak mau.” “Lo nggak mau gratisan?” tanyanya terdengar tak percaya. Aku memandangnya dalam diam. Aku tak percaya Darryl tergiur dengan iming-iming gratisan. Darryl menghela napas dalam sebelum berkata, “Gue sama Liny nggak musuhan kayak lo sama Romi. Jadi nggak ada salahnya.” “Tetap saja judulnya mantan ngasih gratisan ke mantannya. Nggak ada harga dirinya.” Kenapa Darryl tidak kesal sih, sama Liny? Liny sudah punya suami. Dia hanya seorang mantan yang pernah meninggalkannya. “Hei, lo musuh lo itu Romi. Jadi nggak usah kesal juga sama Liny,” katanya memperingatiku. “Romi yang ninggalin lo dan semua hal buruk yang terjadi sama lo itu karena Romi. Nggak usah bawa-bawa Liny.” “Romi nikahnya sama Liny. Jadi mau nggak mau, dia juga ikutan salah!” Aku memandangnya sebal. Darryl pun memandangku dengan tatapan yang sama. Bagaimana bisa dia terus membela orang yang telah menyakitinya? Jika dia waras, dia akan menampakkan sikap yang sama seperti sikapku terhadap Romi atau Liny. Maksudku, dia sudah patah hati, sakit hati dan semacamnya. Itu semua karena mantannya, Liny. Tapi Darryl masih saja baik kepada Liny dan bersikap semuanya baik-baik saja. Ayolah, tidak usah sok jadi manusia paling baik sedunia! Darryl mendengus kesal dan mengalihkan pandangannya ke arah jalan di hadapan kami. Untuk waktu yang cukup lama kami berdua sama-sama diam. “Dia mutusin gue juga bukan sepenuhnya salah dia.” Darryl tiba-tiba bersuara yang membuatku menoleh ke arahnya. “Gue terlalu egois, menurut dia. Gue kadang suka lupa diri sama kerjaan gue yang membuat dia merasa nggak gue peduliin. Dia bilang gue terlalu sayang sama kerjaan gue daripada dia. Itu salah satu mengapa hubungan kami merenggang dan akhirnya putus. Gue sadar diri, sih.” “Maksud lo gue nggak sadar diri?” tanyaku yang membuatya menatapku bosan. “Lagian udah seharusnya lo bertanggung jawab sama kerjaan lo. Dia aja yang nggak bisa ngertiin lo. Harusnya dia dukung apa yang lo kerjakan selama itu nggak aneh-aneh. Gimana bisa sih, lo jatuh cinta sama cewek kayak gitu?” Aku merengut kesal membayangkan alasan Liny memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Darryl. Tidak masuk akal. “Astaga Shaby, lo beneran nggak bisa ya, melihat makna di balik sebuah kejadian?” tanyanya terdengar lelah yang membuatku mengedikkan bahu tak peduli. Baik, buruk, siapa peduli? Lagian, apa yang kuucapkan benarkan? “Gue cuma mau nunjukin ke lo kalau semua yang sudah terjadi itu pasti ada sebabnya, bukan datang begitu saja. Liny nggak suka gue yang kelewat sibuk, makanya dia mutusin gue. Dan begitu juga dengan Romi, mungkin dia ninggalin lo karena suatu hal.” “Maksud lo, gue yang salah gitu?” “Sumpah ya, ngomong sama lo capek banget. Semua dipandang salah,” keluhnya seraya berdiri dari posisi duduknya. “Emang salah,” balasku enteng yang membuatnya menggelengkan kepala. Lalu, ia berjalan meninggalkanku menuju dalam rumah. Aku menghela napas panjang. Kalau dipikir-pikir, omongannya Darryl memang ada benarnya. Mungkin Romi meninggalkanku karena memang diriku yang salah. Tapi Romi tak pernah mengeluhkan sikapku selama dulu kami berpacaran. Meskipun apa pun yang kulakukan semuanya bertentangan dengan apa yang ia inginkan, dia tidak pernah protes. Apa mungkin dia meninggalkanku karena aku memotong rambut panjangku menjadi sebahu begini? Dia pernah berkata bahwa dia menyukai wanita berambut panjang—entah mengapa aku jadi teringat kepada Liny—tapi aku dengan sengaja memotong rambutku agar lebih pendek. Aku hanya ingin mengetahui bahwa apakah dia mencintaiku karena rambutku, atau karena memang diriku. Dan hasilnya, dia tak keberatan dengan rambut pendekku. Dia bahkan berkata aku cantik dengan rambut panjang ataupun pendek. Aku rasa bukan karena ini dia meninggalkanku. Oh atau karena aku tidak bisa memasak? Ya, berulang kali aku mencoba membuatkannya makanan yang ternyata jauh dari kata enak. Aku tidak bisa memasak, apa pun yang kubuat berakhir tragis—entah mengapa aku jadi teringat Liny lagi, yang besok akan membuka kafe di kota ini. Tapi dia tak pernah marah. Dia bahkan berkata jika aku tidak bisa ya sudah, tidak usah dipaksakan. Dia tak keberatan jika aku adalah koki yang payah. Tapi bagaimanapun juga, dia tak pernah keracunan memakan masakan gagalku. Jadi aku rasa, ini juga bukanlah alasan mengapa dia meninggalkanku. Mungkin alasan yang paling pas mengapa dia meninggalkanku adalah karena dia memang tidak pernah serius denganku. Selesai. Tak berapa lama kemudian, mobil Papa memasuki halaman rumah yang membuaku tersenyum. Aku berdiri dari posisi dudukku berniat menyambut kedatangan Papa. Entah mengapa, melihat Papa rasanya lega sekali. Bagaimanapun juga, beliau adalah salah satu alasan mengapa aku masih bertahan. “Sore banget Pa, pulangnya? Hampir malam malah.” Aku mendekat ke arah Papa dan mengambil alih tas yang dibawanya. “Tadi ada rapat sampai sore, jadi ya begitulah. Darryl sudah pulang?” Aku mengangguk menjawabi pertanyaan Papa. “Sudah dari tadi sih, Pa.” “Yaudah, kalau gitu Papa juga mau mandi dulu. Habis ini Papa mau pergi lagi ke tempat Om Ridwan, ada acara selamatan di sana.” “Om Ridwan?” “Iya, tetangga komplek.” Aku tak mengenalnya. “Papa nggak capek?” Kami berdua kini berjalan memasuki rumah menuju kamar Papa. Darryl tak kutemukan di lantai bawah. Sepertinya ia berada di kamarnya. “Nanti malam kalau tidur juga capeknya hilang. Kamu nanti malam cari makan sama Darryl saja, ya?” Aku mengangguk menjawabi ucapan Papa. “Papa jangan capek-capek, nanti sakit.” “Papa tidak setua yang kamu bayangkan, Shaby.” “Ya tetap saja,” ucapku seraya menaruh tas Papa di meja kerja yang berada di kamarnya. “Papa kudu jaga kesehatan.” “Papa akan selalu sehat kalau anak Papa ini juga sehat. Jadi, jangan kamu sendiri jangan sakit, ya.” Papa tersenyum kecil yang membuatku mengangguk. “Ya udah, Shaby ke atas dulu kalau begitu.” Aku tersenyum kecil melihat Papa yang memandangku lembut. Setelahnya, aku pergi meninggalkan kamar Papa menuju lantai atas. Di lantai atas kudapati Darryl tengah duduk di sofa dan memandang ke arah jendela dengan tirai yang terbuka. Handuk masih tersampir di lehernya dan rambutnya pun masih basah oleh air. Sepertinya dia baru selesai mandi. Aku berjalan mendekat berniat bergabung dengan Darryl. Dari posisiku yang sekarang berada di belakang sofa, dapat kulihat sosok Liny yang sedang duduk di ruang TV rumahnya. Liny tampak sibuk dengan ponselnya, mengabaikan televisi yang entah sedang menampilkan acara apa. Pandanganku beralih ke arah Darryl yang masih tak menyadari kehadiranku. Matanya terpaku menatap Liny dengan penuh kerinduan. Darryl terlihat mengharapkan Liny kembali. Bagaimana bisa Liny meninggalkan orang yang begitu mencintainya seperti Darryl?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD