Bab 7

1181 Words
Apa aku pernah bilang bahwa Darryl menyebalkan? Jika sudah, aku akan mengulanginya lagi. Darryl menyebalkan. Sore ini dia memaksaku untuk menemaninya pergi ke kafe baru milik Liny. Dia membujukku dengan sejuta cara. Dari merayuku dengan berbagai jenis sepatu, ajakan nonton film, jadi tukang ojek gratisan dan masih banyak lagi. Dengan terpaksa aku mengiyakan ajakannya ketika dia tak henti-hentinya mengoceh mengenai banyak hal. Darryl benar-benar membuatku gila. “Hai Darryl, Shaby. Kalian datang,” sapa Liny ketika kami berdua memasuki kafe baru miliknya. Kafe Serba Cokelat , itulah nama yang tertera di depan kafe ini. Kafe ini terlihat cukup nyaman dengan kesan vintage-nya. Lagu milik Payung Teduh yang berjudul Sebuah Lagu mengalun menyambut kedatangan kami. “Hai, Lin. Selamat ya buat kafe barunya. Tempatnya keren.” Darryl menyalami Liny memberi selamat. Aku terpaksa melakukan hal yang sama karena Darryl sudah melotot kepadaku. “Makasih,” ucap Liny tersenyum bahagia. Setelah itu Liny mempersilakan kami duduk di salah satu meja di sudut tempat ini. Darryl kini sudah memegang daftar menu dan siap memesannya. Aku sendiri, lebih memilih mengamati keadaan sekitar. Para pengunjung di sini kebanyakan adalah remaja. Mereka terlihat bergerombol memasuki kafe ini. “Dia suka cokelat, maka dari itu dia menamai kafe ini Serba Cokelat,” ucap Darryl yang membuatku menoleh ke arahnya. “Gue nggak peduli.” Darryl berdecak sebal mendengar perkataanku. “Lo mau pesan apa?” Aku mengangkat kedua bahuku tak acuh. Meskipun menurutku kafe ini bagus, aku tetap malas untuk makan di sini. Entahlah, rasanya tidak selera. “Lo tau nggak, awal pertemuan mereka sampai mereka memutuskan untuk menikah?” tanyaku. Mendadak aku penasaran bagaimana Romi dan Liny bisa bertemu dan kemudian menikah. Apalagi sebelumnya Romi dan diriku masih berpacaran, setelah itu dia mendadak pergi tanpa ada kabar, tahu-tahu malah sudah menikah. “Mereka dijodohin,” jawab Darryl kembali membuka-buka daftar menu. “Dijodohin? Lo yakin?” “Liny bilang gitu.” “Dia putus dulu sama lo baru dijodohin, apa dia dijodohin dulu baru putus sama lo?” Darryl terdiam cukup lama sebelum dia menjawab pertanyaanku. Itu pun dia terlihat kebingungan ketika menjawabnya. “Putus dulu.” “Jadi dijodohin dulu,” kataku menarik kesimpulan dari keragu-raguannya. Tapi rasanya aneh sekali jika Romi mau menerima perjodohan itu. Dia pernah berkata bahwa dia sempat dijodohkan beberapa kali tapi dia menolaknya. Sangat sulit dibayangkan jika Romi meninggalkanku tanpa kabar karena sebuah perjodohan. Menyedihkan sekali diriku. “Gue bilang putus dulu baru dijodohin.” “Jadi lo dicampakkan demi Romi. Tak kalah menyedihkan dari gue ternyata.” “Hubungan kami merenggang karena kesibukan gue, setelah itu dia minta putus dan bilang kalau dia mau mencoba menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Jadi kami putus dulu. Oke.” “Berarti dia sudah kenal Romi sebelum putus sama lo,” ucapku seraya menopang daguku dengan tangan kananku. “Lo tau, Romi itu jauh ... jauh lebih sibuk dari lo. Sangat aneh kalau dia ninggalin lo dengan alasan lo sibuk." “Lo mau jadi kompor ya?” tanya Darryl menaikkan sebelah alisnya. Aku mengedikkan bahu tak acuh. Aku kan hanya mengutarakan pendapat. Menurutku, Romi dan Liny sudah kenal sebelum Liny putus dengan Darryl. Kemudian mereka selingkuh dan meninggalkan pacar mereka masing-masing demi dapat bersama di pelaminan. Membayangkan hal tersebut, tiba-tiba organ di tubuhku seperti dipelintir. Mengakibatkan sakit yang luar biasa. “Udahlah Shab, nggak usah mikir yang macem-macem.” Darryl menegurku yang membuatku mendengus kesal. “Gue ke toilet bentar.” Darryl meninggalkanku dan pergi menuju toilet yang berada entah di mana aku tidak tahu. Aku juga tidak peduli di mana letak toilet itu. Aku menghembuskan kasar mengingat Romi dan Liny yang berselingkuh. Ya aku sangat yakin bahwa mereka berselingkuh. Mereka tidak benar-benar dijodohkan melainkan menikah karena cinta yang timbul dari perselingkuhan. Aku tak tahu mengapa mereka sangat tega melakukan hal tersebut. Jika memang sudah tak suka, ya sudah. Lebih baik mengucapkan kata putus setelah itu silakan jika ingin mencari yang lain. Aku benar-benar membenci mereka berdua. “Bee,” ucap seseorang seraya duduk manis di hadapanku. “Aku senang kamu datang.” Aku menatap cowok yang berada di hadapanku dengan tatapan membunuh. Bahkan kurasakan kemarahan yang sangat luar biasa sampai-sampai aku ingin menamparnya lagi. Tapi aku tak boleh marah. Ini tempat umum. “Berhenti berlagak kalau kita saling kenal. Sejak lo pergi dari kehidupan gue, sejak itu juga gue nganggep lo itu hama yang patut dibasmi. Dan gue nggak pernah kenal sama yang namanya hama.” “Kamu masih marah sama aku?” “Lo nggak ingat kalau lo pergi gitu aja tanpa kabar terus tiba-tiba lo nikah sama orang lain? Terus lo nanya gue masih marah apa enggak?” “Aku beneran minta maaf atas semua yang sudah terjadi, Bee. Aku juga nggak mau akhirnya kayak gini. Aku tahu aku salah, aku sudah nyakitin kamu. Aku beneran minta maaf. Semuanya di luar kendaliku, Bee.” “Di luar kendali lo? Lo jalanin hidupnya siapa, sampai lo bilang di luar kendali lo? Basi tau nggak.” “Semuanya terjadi begitu saja, Bee. Aku dijodohin sama Liny, aku nggak bisa nolak, aku nggak mungkin bisa nolak.” Romi memandang tepat di mataku, dengan tatapan lembutnya, seolah meyakinkanku bahwa dia benar. Dia selalu melakukan hal ini untuk mematahkan semua ucapanku. “Lo tahu, jika di hadapan gue ada minuman, gue bakalan guyur kepala lo pakai minuman itu.” Aku memandangnya tajam yang membuatnya mengembuskan napas lelah. “Aku tahu,” jawabnya lirih seolah ia mengetahui apa yang akan kuperbuat tanpa pikir panjang. “Gue nyesel pernah percaya sama janji busuk lo. Gue nyesel pernah kenal sama lo. Gue bahkan berharap dilahirin setelah lo mati, jadi gue nggak harus ketemu sama lo di dunia.” Sekarang aku benar-benar tahu seberapa besar rasa benciku terhadapnya. Aku benar-benar membencinya. Sangat membencinya. Aku bahkan sanggup membencinya seumur hidup. Bahkan jika kehidupan berikutnya memang ada, aku akan terus membencinya. Sebesar itulah rasa benciku terhadapnya. “Tapi kenal sama kamu adalah salah satu hal terindah yang pernah aku alami, Bee,” ucapnya lirih dan terlihat sangat sedih. Deg. “Gue muak sama lo,” kataku tajam sebelum pergi meninggalkannya. Aku memilih bangkit dari posisi dudukku dan pergi dari tempat ini. Aku tak mau bertemu dengannya. Aku benci melihatnya. Sebaiknya aku pergi sebelum aku benar-benar melemparkan meja ke arahnya. Aku terus berjalan keluar dari kafe. Kakiku terus melangkah tanpa tahu ke mana aku pergi. Yang kuinginkan hanyalah pergi menjauh, menjauh darinya, menjauh dari keramaian. Aku benci rasa marah yang seperti ini. Rasa marah yang membuat d**a sesak dan berujung genangan air di pelupuk mata. Aku membencinya. Pertahananku kini runtuh. Air mata mulai menetes membasahi pipiku. Dadaku semakin sesak karena tangisan ini. Bahkan kurasakan lututku melemas yang membuatku terduduk di trotoar jalan. Aku benci dirinya yang membuatku rapuh seperti ini. Aku takut jika rasa benciku belumlah cukup untuk benar-benar membencinya. Aku tak akan mampu bertahan jika sesakit ini rasanya. Membencinya tak semudah yang kubayangkan. “Hei,” ucap seseorang yang kini sudah berjongkok di hadapanku. Kudapati Darryl tengah memandangku dengan sorot khawatir yang membuatku semakin terisak. “Gue benci sama Romi,” ucapku lirih yang berakhir dengan isakanku yang semakin menjadi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD