bc

Suamiku Dosen Galak

book_age18+
15
FOLLOW
1K
READ
HE
blue collar
sweet
campus
like
intro-logo
Blurb

"Pak, tolong bantu saya. Saya hanya ingin lulus tepat waktu!"

"Dengan otak pas-pasan itu? Coba kamu berlutut dan mohon di hadapan saya sekarang."

Senyuman tipis nan menyebalkan milik Rheo, berhasil menarik keluar akal sehat Cindra tanpa sisa.

Begitulah kehidupan seorang mahasiswi jurusan Teknik Informatika ini berubah 180 derajat untuk skripsinya. Demi bisa fokus mengurus Nana yang menginjak usia 2 tahun, Cindra harus membuang segala gengsi agar studinya cepat selesai.

Meskipun tantangan paling besar yang harus Cindra hadapi adalah dosen muda berparas tampan yang terkenal sangat galak seantero kampus.

Tidak ada yang berjalan mulus. Cindra yang berotak pas-pasan, ceroboh, dan hidup berantakan harus berhadapan dengan Rheo yang jenius, tidak sabaran, dan sangat mencintai kebersihan. Layaknya kedua kutub yang berlawanan, keduanya justru saling bertarikkan.

Sanggupkah Cindra dan Rheo menghadapi masalah dari lingkungan kampus, teman, keluarga, hingga masa lalu yang ternyata bagai benang kusut tapi menghubungkan keduanya?

chap-preview
Free preview
Ditolak Dosen Galak
"Jadi tugas kalian kali ini adalah membuat website kalian sendiri dan dengan nama kalian sendiri. Bisa memakai template yang sudah saya contohkan tadi." Ada sambaran petir penghancur kewarasan yang menimpa semua mahasiswa di kelas itu, ketika mendengar tugas mematikan lainnya dari seorang dosen muda yang amat menyebalkan di depan sana. "Mengingat kalian sudah semester akhir, pastinya tugas tadi tidak terlalu susah, ya. Mengenai deadlinenya akan saya hubungi ketua kelas, tugas dikirim ke email saya. Telat satu menit saja dari itu, tugas kalian tidak akan saya terima." Nama pria yang berbicara tadi adalah Rheo Ananda. Dosen muda berumur 25 tahun itu memang memiliki paras tampan. Rambutnya hitam legam dan tersisir rapi. Mata beonya sangat khas dan memiliki dua lipatan pada kelopak. Dengan kacamata yang tersampir di hidung mancungnya, sosok dosen itu bagai para aktor Korea yang memiliki aura dingin dan kesan misterius. Hanya saja Rheo yang terkenal tampan dan jenius ini juga memiliki sisi kejam yang membuat segenap mahasiswa begitu membencinya. Bahkan setelah memberikan tugas yang cukup sulit dengan waktu pengerjaan yang sangat sempit itu, Rheo meninggalkan kelas dengan wajah yang sangat datar. Tanpa ekspresi sama sekali. "Gila!" Kesya, seorang mahasiswi berambut keriting dengan wajah bantalnya di belakang sana langsung mengeluh pada teman di sampingnya. "Cin! Lo serius nih, mau milih itu orang buat jadi dosen pembimbing satu lo nanti?" Begitu pula dengan teman di sebelahnya, Gadis. Seorang mahasiswi berparas lugu dengan kulit eksotis. Cindra yang duduk di antara kedua orang itu hanya bisa menghela napas panjang. "Mau gimana lagi? Gue mending mati aja dari pada gagal ngerjain skripsi. Otak pas-pasan kaya gue ini emang harus dibina sama orang jenius kaya Pak Rheo, kan?" Kesya dan Gadis langsung terdiam. Mereka berdua tidak bisa membantah bagian itu. Masuk ke jurusan Teknik Informatika adalah sebuah bunuh diri tingkat dasar bagi orang-orang yang kurang berakal. "Pak Rheo itu udah menangin banyak lomba, dia bisa bikin drone canggih, dia mampu bikin kalkulator sistem android sejenis kaya papan tulis. Dia juga dapat banyak penghargaan tingkat internasional dengan buat berbagai macam robot dari yang sederhana sampai make sistem android!" Napas Cindra sampai tersengal-sengal menjelaskan semua itu. Gadis pun mengangguk setuju. "Ditambah lagi, muka Pak Rheo yang tampan kaya aktor Korea. Dia keturunan silang kali, ya?" "Tapi ingat, guys!" Kesya menggebrak meja dan langsung menyela. "Pak Rheo yang bikin kita semua hampir gak lulus semester kemaren. Dia ngasih tugas di luar akal sehat dan deadlinenya mepet! Kita gak bisa ngerjain secara maksimal, tapi dia gak mau ngerti dan bilang kita yang bodoh! Kelas ini juga ada seratusan orang lebih gara-gara campur sama kakak tingkat yang gak lulus mata kuliah dia!" "Gue tau, Sya." Cindra menyugar rambut berwarna cokelat madunya dengan kasar. "Dari rumor yang beredar juga, katanya Pak Rheo dapat keistimewaan bisa nolak mahasiswa yang milih dia sebagai dosen pembimbing, kan?" "Lo mungkin bisa bujuk dia pake uang." Gadis mulai memberikan usulan sesatnya. "Uang?" Mata hazelnut Cindra mengerjap beberapa kali. Ia menatap temannya penuh harap. "Iya. Gue denger Pak Rheo dari keluarga enggak mampu, dan dia kerja di sini buat ngerawat ibunya yang lagi sakit keras." "Oh!" Kesya menjentikkan jari nyaring. "Pantes aja meski dia banyak prestasi, tapi malah milih jadi dosen di sini!" Masuk akal. Cindra mungkin masih memiliki harapan. Meski kondisi keuangan Cindra sendiri tidak bisa dikatakan kaya juga. Keluarganya termasuk dalam kategori kelas ekonomi menengah ke atas. "Kalo gitu gue pamit dulu, ya. Mau bujuk itu dosen buat jadi dosen pembimbing satu skripsi gue." Cindra beranjak dari duduknya. Mengikat rambut yang sedikit ikal dan memiliki panjang sebahu itu, lalu melakukan tos dengan Kesya dan Gadis sebelum melenggang pergi. "Semangat, Cin!" "Boraheee!!" Cindra melambaikan tangan dan bergegas menyusul langkah laju sang dosen yang sudah pergi dari kelas itu tiga menit yang lalu. "Pak! Pak Rheo! Permisi, Pak!" Cindra berusaha mengejar sambil berseru dengan nada sesopan mungkin meski napasnya sudah pendek-pendek kelelahan. Cukup jauh dia berlari menempuh koridor fakultasnya tadi. Beruntung, usaha Cindra membuahkan hasil. Dosen galak itu menghentikan langkah tepat sebelum memasuki ruangannya. "Ada apa?" Rheo bertanya dengan nada dingin setelah membenarkan posisi kacamatanya. Kening pria itu berkerut dalam ketika memerhatikan secara seksama rupa penampilan Cindra. Sedangkan Cindra, mahasiswi yang baru menginjak usia dua puluh dua tahun itu sedang mengatur napas sambil tersenyum lega. "Pak, saya—" "Kamu pake baju terbuka kaya gitu di kelas saya tadi?" Rheo memotong kalimat sembari mengkritik pakaian Cindra, yang padahal sudah memakai kemeja untuk menutupi dalamannya. Hanya saja kemeja berkancing itu dibiarkan terbuka, serta rok tiga jari di atas lutut Cindra. Itu sangat mengganggu pemandangan mata Rheo. "Eh, anu, Pak ... hehe, iya." Sialan. Cindra lupa kalau dosen galak yang satu ini sangat sensitif perihal busana. "Besok datang kaya gitu lagi dan kamu saya kasih C." “Hah?!” “Apa? Mau protes? Langsung ke Kaprodi aja sana.” Dasar orang tua! Cindra sudah mengumpat di dalam hati. Meski umur mereka hanya terpaut tiga tahun saja, rasanya ada perbedaan ideologi sejauh puluhan abad jaraknya di antara mereka berdua. "B-baik, Pak. Nggak bakal saya pake lagi. Maaf." Walaupun Cindra ingin sekali melayangkan tinju, tapi ia sebagai mahasiswi yang baik budi pekerti harus menahan diri. Namun bukannya menjawab, Rheo malah memutar matanya malas lalu memasuki ruangannya begitu saja, meninggalkan Cindra di sana. "What the??" Mata Cindra mengerjap beberapa kali. "Gue baru aja diabaain nih, tadi?" Harusnya perempuan ini tidak heran lagi dengan tindak laku sang dosen galak yang menyebalkan itu, tapi rasa kesal tetap memenuhi dadanya. "Sumpah minta gue gampar!" desis Cindra melayangkan tangan ke udara. Setelah menarik napas dalam-dalam guna meredakan emosi, Cindra pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan Rheo tadi. "Permisi, Pak, saya mau—" "Kamu gak ngetok pintu dulu? Sopan kaya gitu? Gini yang namanya mahasiswa?" Belum sempat Cindra menyampaikan hajatnya, tapi lagi-lagi Rheo menyerang dengan kalimat yang memancing sakit jiwa. Bahkan dosen itu mengoceh sambil sibuk mengetik di laptop, tanpa merasa perlu untuk menatap lawan bicaranya. Banyakin sabar. Cindra bergumam di dalam hati, ia harus menahan semua ini demi bisa lulus dengan cepat. "Maaf, Pak. Tadi karena kita udah ketemu di depan—" "Keluar." Rheo mengalihkan pandangan, menatap Cindra sinis. "A-apa Bapak udah ada janji?" Nyali Cindra ciut seketika. Tatapan Rheo seolah menelanjanginya. "Nggak ada." Rheo menjawab santai. "Kamu keluar, terus ketuk pintunya. Setelah saya izinkan, baru boleh masuk." “Hah?” “Apanya yang ‘hah’?” Dosen sialan! Mata Cindra sempat melotot, tapi wajahnya segera tersenyum semanis mungkin. "Baik, Pak!" jawab Cindra dengan nada sok halus. Perempuan itu dengan sangat terpaksa melakukan seperti apa yang Rheo katakan. Ia keluar dari ruangan, mengetuk pintu, lalu setelah Rheo menjawab baru Cindra masuk dan duduk di depan sang dosen galak nan menyebalkan itu. "Jadi, kamu ada perlu apa sama saya?" "Saya mau—" "Kalau masalah tugas tadi, saya rasa itu udah jelas sekali. Masa otak kamu masih kurang ngerti?" Wah, wah, wah! Cindra sudah menyumpahi Rheo dengan mengabsen banyak nama-nama hewan di muka bumi ini. Meski hanya di dalam kepala perempuan itu saja. "Bukan masalah tugas tadi kok, Pak." Pipi Cindra mulai terasa pegal karena harus selalu tersenyum ramah. "Terus apa?" Rheo kembali mengangkat kepala sambil membalas tatapan Cindra. "Saya mau ... Bapak jadi dospem satu saya buat bantu saya nyusun skripsi, Pak." Cindra merasa tidak perlu lagi menyusun kalimat manis, karena isi kepalanya sudah mulai mendidih. "Hm ….” Terjadi keheningan mencekam selama sepuluh detik. Jantung Cindra sudah berdisko ria karena tatapan dingin Rheo yang seolah dapat menarik keluar ruhnya pada detik itu juga. Hanya suara pulpen yang di ketukan ke meja yang kini memenuhi ruangan itu. Rheo masih memerhatikan Cindra secara seksama, membuat sang objek jadi berkeringat dingin. "Cindra Estella, itu nama kamu, bukan?" "Ah, iya! Iya, Pak!" "Apa kamu tau penilaian dosen-dosen lain sama kamu itu kaya gimana?" Cinta sempat terdiam untuk berpikir, tapi akhirnya memilih untuk menggeleng saja. "Kurang tau, Pak." "Dari angka satu sampai sepuluh, kamu itu ada di angka lima atau enam." Itu artinya tidak buruk, kan? Cindra memang tidak terlalu cerdas, tapi dia juga bukan golongan orang bodoh. Namun, sepertinya apa yang dipikirkan Cindra, lagi dan lagi sangat bertentangan dengan apa yang ada di dalam kepala Rheo. "Kamu seneng ada di tengah kaya gitu? Dasar otak pendek." Cindra hanya dapat menganga kecil karena kehabisan kata-kata pada hinaan yang mendadak tadi. "Saya lebih respect sama orang yang pintar atau orang yang gagal. Mereka penghuni angka paling atas dan paling bawah. Di mata saya, kamu gak bisa lebih dari angka dua, tapi kamu bahkan lebih buruk dari angka sepuluh." Inilah perbedaan antara orang berotak jenius dengan orang yang memiliki IQ pas-pasan. Cindra tidak bisa memahami maksud dari perkataan Rheo yang barusan. "Kamu gak bisa terbang di atas orang pintar dengan otak kaya gitu. Tapi kamu juga gak berani mundur buat cicipin kegagalan biar bisa bangkit dan maju. Itu maksud saya." Rheo menjelaskan secara singkat. Seolah tahu mahasiswa cantik itu tidak mengerti kalimat yang sebelumnya. Mendengar hal ini, Cindra hanya bisa menahan napas yang mulai memburu. Hinaan seperti tadi harusnya bisa ia tahan. Semua demi masa depan! "Dan orang kaya kamu ini pengen dapat bimbingan dari saya?" Rheo tertawa meremehkan. "Keluar. Mending kamu cari orang lain aja sana." Demi Tuhan! Kalau bukan karena sedang menanggung beban 'itu', Cindra pasti sudah berdiri lalu melompat ke atas meja Rheo dan menendang wajah sok tampan dosennya ini. *** "AAARRGGHHHHH!!! Dosen kurang ajar! Dasar nggak berperi kemahasiswaan! Dosen sialan! Dasar binatang!" Cindra memaki-maki di tengah taman kampus dengan sesuka hati. Ia meluapkan seluruh isi emosi di jiwanya yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Amarah Cindra begitu meluap-luap sampai membuat wajah berkulit putih mulus bersinar itu jadi tampak memerah. "Kan, udah kami bilang, Cin!" Kesya hanya dapat menggeleng-geleng setelah mendengar cerita dari sahabatnya itu. Untung saja pada jam seperti ini fakultas mereka tengah sepi. "Jadi gak sempet nyogok, ya?" Gadis bergumam dengan mulut yang penuh oleh roti. "Nggak! Kalo iya pun, itu uang udah gue sumpelin ke mulut dia sampe mati biar tenggorokannya sesak dan gak bisa napas!" Cindra merasakan gejolak jiwa-jiwa psikopatnya mulai bangkit. Kesya dan Gadis langsung tertawa. Mereka berdua malah menganggap ocehan Cindra tadi sebagai lelucon. "Gue serius, anjir!" desis Cindra sambil duduk lagi dan memijat kepalanya frustrasi. Tepat sebelum perempuan itu kembali mengamuk lagi, ada sebuah panggilan pada benda pipih yang tengah ia genggam. "Mama!" seru suara kecil dari seberang sana terdengar sangat menggemaskan. Rasanya seluruh amarah Cindra tadi menguap ke udara dan menjadi awan. Perempuan itu dengan cepat tersenyum manis. "Nanaa!! Lagi apa? Lapar, ya? Nanti mau dibawain apa? Ini Mama udah mau pulang." "Maa ... ngen!" "Hehe, Mama juga kangen sama Nana. Tunggu bentar lagi ya, sayang Mama. Bentar lagi Mama juga lulus dan punya banyak waktu buat main sama Nana!" Terdengar suara tawa bahagia dari balita berusia dua tahun di seberang telepon sana. Kesya dan Gadis yang melihat pemandangan hangat itu jadi ikut tersenyum simpul. Meski mereka bertiga tidak sadar, bahwa potongan percakapan tadi ternyata telah didengar oleh orang yang barusan Cindra caci maki. "Ah, jadi dia udah punya anak?”

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook