"Nanaa!!" Cindra menghamburkan pelukan ketika kakinya baru saja menginjak lantai depan selasar dari rumah tetangga di samping kediamannya.
Lantas, seonggok tubuh kecil yang sudah mulai lancar berjalan itu melangkah lucu menuju ke dalam pelukan Cindra. Si balita yang memakai dress kuning motif bunga matahari dengan rambut dikepang dua itu tampak sangat bahagia. Ia juga tertawa menggemaskan dengan gigi-gigi susunya yang mulai bermunculan rapi.
"Mama ... Nana angen!" seru balita yang dipanggil Nana tadi dengan riang.
"Mama juga kangen! Kangeennn banget!" Cindra mengendong balita itu sambil mengusapkan wajahnya ke pipi Nana, merasa gemas.
"Aduh-aduh, lucu banget sih, anaknya Mama ini. Imut banget!"
Bu Minah, selaku tetangga yang membantu Cindra dalam menjaga Nana, selama perempuan itu kuliah pun tersenyum hangat. "Nana hari ini makannya lahap. Tadi main sama Boy lebih akur dari biasanya," lapor Bu Minah. Boy sendiri adalah nama anak laki-lakinya yang kebetulan satu tahun lebih tua dari Nana.
"Oh, ya? Wahh, Nana makin pinter aja!" Cindra mencubit sekilas hidung mungil Nana. Ia lalu merogoh selembar uang biru dan menyerahkannya kepada Bu Minah. "Ini ya Bu, untuk hari ini."
"Oh iya. Makasih, Dek Cindra." Bu Minah menerima uang tadi dengan senyuman cerah. "Tapi ... anu, besok Ibu kayanya gak bisa jaga Nana."
Cindra hanya diam saja, menunggu kalimat selanjutnya dari sang tetangga baik hati ini.
"Ibu mau jenguk mertua besok. Sakit parah katanya."
"Ohh.” Mulut Cindra membentuk huruf O besar. "Gak papa, Bu. Makasih udah mau jaga Nana sebulan terakhir ini, ya."
"Aduh, gak papa. Nanti kalo Ibu balik, titip aja Nana sama Ibu lagi. Kasian kamu sambil kuliah gini."
"Ahaha. Makasih banget, Bu!" Cindra menunduk untuk pamit. Ia membawa Nana kembali masuk ke rumah mereka yang memang cukup sederhana. Setidaknya di sini, Cindra bisa menghabiskan banyak waktu dengan balita menggemaskan itu.
"Nana mandi dulu, okay?"
"Okeyy!"
Cindra dengan telaten melepas pakaian Nana, meletakkan pakaian itu di mesin cuci, sembari menyiapkan air untuk Nana mandi.
"Ini bebeknya!"
"Bek! Ana uning! Bek!"
"Iyaa, bebeknya warna kuning."
Meski baru menginjak usia 2 tahun, Nana memang terhitung sangat pintar. Dia sudah mengenal banyak hewan dan warna, karena Cindra juga rutin mengajarinya.
Cindra lalu meletakkan Nana di dalam bak mandi. Ia mengusap wajah Nana dengan air tadi. "Baaa!"
"Kyahaha! Maa ... baa!" Terdengar gelak tawa lucu dari balita itu. Nana bahkan sudah bisa menirukan Cindra.
Setelah membasahi seluruh tubuh Nana, Cindra mulai menyabuni sambil bernyanyi lagu untuk anak-anak kecil. Nana begitu menyukai suara merdu Cindra.
Kebersamaan keduanya terasa sangat hangat, sampai dering telepon membuat Cindra cemberut ketika melihat nama yang tertera pada layar ponselnya.
"Nana tunggu di situ bentar, ya. Main sama bebeknya aja. Jangan keluar dari bak mandi, okay?"
"Ciap, Ma!"
Cindra tersenyum sebelum melangkah keluar dari kamar mandi untuk mengangkat panggilan telepon tadi.
"Halo, Bunda!" sapa Cindra sebisa mungkin terdengar baik-baik saja meski jiwa dan raganya sudah kelelahan.
"Halo Cin, tadi Ayah kamu udah transfer uang buat kuliah dan makan bulan ini."
"Ohh, ya? Maaf Cindra belum cek, jadi gak tau. Makasih banyak, Bunda."
"Gimana kuliah kamu?"
"Baik, kok. Lancar aman sentosa aja." Itu pun, kalau Cindra mengesampingkan satu manusia bernama Rheo.
"Kamu sehat-sehat aja, kan?"
"Iya, Bunda. Ini juga aku lagi mulai nyusun skripsian." Semua target Cindra akan lancar andai saja si dosen galak nan menyebalkan itu tidak menghambatnya.
"Ingat ya, Bunda sama Ayah di sini cuman mau kamu fokus ke kuliah kamu aja. Gak usah mikirin anak hasil dari luar nikah itu!"
Cindra tidak langsung menjawab. Ada tusukan tak kasat mana yang mencengkeram uluh hatinya. Ia pun memutar badan ke arah kamar mandi.
Masih terlihat sosok mungil bagai malaikat kecil yang tengah tertawa polos bermain dengan bebek-bebek karetnya di sana.
Bagaimana mungkin Cindra bisa membenci anak selucu itu? Memangnya apa salah Nana? Dia hanya terlahir ke dunia ini karena sebuah kejadian tidak terduga yang dianggap kotor.
"Cindra! Kamu denger Bunda, kan?"
"Iya-iya. Aku denger, kok. Udah ya, Bunda tenang aja. Aku bakal fokus sama studiku."
"Bagus. Uang yang kami kirim juga jangan sampai ada sepersen pun kamu pake buat anak haram itu! Ngerti?"
"Iyaa, paham."
Setelah itu, Cindra langsung memutuskan sambungan telepon. Mata hazelnutnya menghadap ke langit-langit rumah. Terdengar helaan napas lelah yang menimbulkan pertanyaan, kenapa segala sesuatunya menjadi susah?
"Harus gimana supaya bikin Bunda sama Ayah nerima Nana sebagai cucu mereka?"
Baru beberapa detik saja rasanya pikiran Cindra melambung tinggi ke semesta. Sebuah suara seperti benda jatuh disusul dengan tangisan nyaring segera menyerang gendang telinga perempuan manis itu.
"Ya ampun, Nana!"
Wajah Cindra berubah pias, ia bahkan nyaris melempar ponselnya hanya untuk mendekap seorang balita yang baru saja terjembab ke lantai kamar mandi.
"Huaaa!! Mamaaa! Atit, Ma! Pala Nana atit!" rengek Nana dengan wajah memerah dan tampak sebuah benjolan besar di keningnya bagai bunga yang baru saja mekar.
Cindra tentu saja panik. Ia langsung membalut Nana dengan handuk dan membawanya masuk ke dalam kamar. Cindra berusaha menenangkan Nana yang masih meraung-raung kesakitan.
Perempuan itu juga membasahi handuk kecil untuk mengompres kening Nana yang membiru.
Pasti balita ini jatuh saat berusaha mengambil bebek karetnya di lantai. Begitulah dugaan kasar Cindra.
Kurang lebih sekitar tiga puluh menit, akhirnya Nana bisa tenang. Bahkan balita imut itu sudah terlelap di alam mimpi, masih dengan keningnya yang membola besar dan membiru.
"Maaf ya, Nana. Maaf ...." Suara Cindra terdengar begitu lirih, pilu, dan dipenuhi akan penyesalan.
Harusnya dia tidak membiarkan balita berumur dua tahun bermain di bak mandi sendirian terlalu lama. Cindra lengah dan ia merasa sudah begitu lalai serta merasa amat bersalah.
"Ini semua terlalu mendadak. Jadi Mama masih belum terbiasa, Nana. Maaf, ya."
Cindra menatap pantulan dirinya sendiri pada cermin di lemari samping kasur. Seketika wajahnya berubah sendu saat teringat dengan tekadnya untuk menjaga Nana pada seseorang.
"Aku akan selalu menjaga Nana. Tak peduli seberapa berat yang harus aku lalui, aku berjanji akan selalu menyayanginya," batin Cindra sambil mengusap air mata yang tanpa sengaja jatuh membasahi pipinya.
***
Keesokan paginya, ketika Cindra baru saja membuka mata, ia mendapat pesan sangat membahagiakan dari orang yang paling tidak terduga. Pesan itu isinya sangat singkat, tapi mampu membuat Cindra menjerit kegirangan.
Sebuah pesan dari dosen tergalak di kampusnya yang berbunyi, "Saya ACC. Siang nanti ke cafe kampus untuk kita diskusi."
"Terima kasih, Tuhan. Kau telah mengabulkan do’aku!"
Namun pada detik berikutnya, senyuman Cindra seketika langsung sirna. Ia baru ingat jika hari ini Bu Minah tidak bisa dititipi Nana. Meski jadwal kuliah Cindra tidak ada, tapi dia malah disuruh bertemu dengan dosen galak itu.
"Aduh, gimana, nih?" Cindra menggigit jarinya kebingungan. Ia pun mulai melirik Nana yang masih asyik bermain bersama sarapan paginya dengan wajah belepotan pula. Untung kening Nana sudah tidak bengkak lagi.
"Sepertinya gak ada pilihan selain membawa Nana buat ketemu dosen galak itu. Semoga Pak Rheo paham."
Walaupun ragu, Cindra pun akhirnya memutuskan dengan sangat terpaksa.